SEORANG pasien meninggal di Puskesmas Wedarijaksa, Pati, Jawa
Tengah. Keluarganya menuntut dr. Setyaningrum, yang dianggap
gagal merawat pasiennya, ke pengadilan. Malang bagi Ibu Dokter.
Hakim memutuskan ia bersalah. Maka Setyaningrum -- dokter wanita
yang bertugas di sebuah kecamatan dengan fasilitas kesehatan
yang jauh dari memadai itu -- terpaksa meringkuk dalam penjara
selama 1 tahun lebih. Padahal ia sudah berusaha mengatasi
keadaan kritis pasiennya dengan sungguh-sungguh.
Pada tahun yang sama, 1980, dr. Anida juga diajukan ke
pengadilan. Ia dituduh menyebabkan kematian seorang anak yang
menjalani operasi amandel. Pasien kecil itu meninggal, meskipun
dokter ahli THT dari RS Persahabatan itu sudah berusaha
sungguh-sungguh menolongnya, dengan mengirimkannya ke rumah
sakit yang mempunyai fasilitas lebih baik. Tapi nasib Anida
rupanya lebih beruntung. Hakim memutus bebas.
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam kasus Anida itu
diambil setelah mendengarkan saksi-saksi Prof. Sigit, ahli
bedah, dan Prof. Tumbelaka, ketua Majelis Kehormatan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Mereka membenarkan tindakan terdakwa dari
segi medis, prosedur operasi, maupun dari segi etik kedokteran.
"Bila seorang dokter dianggap melakukan kesalahan, sebaiknya
lebih dulu diperiksa oleh majelis Kehormatan Kode Etik
Kedokteran. Bila ternyata perbuatannya melanggar kode etik,
barulah diajukan ke pengadilan," kata Soemarno P. Wirianto yang
ketika itu membela Anida. "Selama ini memang banyak hakim yang
tidak mempedulikan hukum profesi, dalam hal ini profesi
kedokteran," tambah pengacara tua tersebut.
Agar para hakim peduli, awal minggu lalu Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman menyelenggarakan simposium
hukum kedokteran, bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia.
Simposium selama dua hari dan menampilkan 7 pembicara itu
bermaksud menimba masukan untuk pengkajian hukum kedokteran,
sebagai bahan untuk menyusun rancangan peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan.
Apa yang dimaksud "hukum kedokteran" agaknya merupakan hal baru
bagi ahli-ahli hukum maupun para dokter sendiri. Baru 3 orang
sarjana Indonesia yang sempat mengikuti Kongres Hukum Kedokteran
se-Dunia: Prof Oetama (almarhum) dan Drs. Fred Ameln, S.H.,
dari Universitas Trisakti (Jakarta) pada kongres V di Belgia
(1979) serta Prof. Roekmono dari FK-UI pada kongres berikutnya.
Pulang dari kongres, Roekmono membentuk Kelompok Pengkajian
Hukum Kedokteran bersama bekas Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar
Seno Adji, Prof. Mahar Mardjono (UI), Brigjen Pol.
(Purnawirawan) Fred Ameln, dan Prof. Dr. Hermien Hadiati
Koeswadji (Unair). Sejak 5 bulan lalu mereka bergabung dengan
BPHN dan terbentuklah Tim Pengkajian Hukum Kedokteran BPHN
diketuai Fred Ameln.
Yang menarik dalam simposium ini, misalnya, Oemar Seno Adji.
Bekas Menteri Kehakiman ini mengungkapkan bahwa belum ada
keterpaduan antara hukum formal dengan kode etik kedokteran.
Kode etik yang mewajibkan dokter "melindungi hidup makhluk
insani," tidaklah mutlak sifatnya. Sebab dokter masih
dibenarkan, misalnya, menggugurkan kandungan -- bila hal itu
satu-satunya jalan menolong jiwa si ibu.
Tetapi dalam hal pasal 299 dan 346-349 KUHP abortus dinyatakan
ilegal. Dengan begitu, kata Oemar, sistem perundang-undangan
kita seolah-olah tidak mengenal perkecualian dalam hal abortus,
walaupun hal itu didasarkan atas pertimbangan medis. Sebaliknya
ada hal-hal yang kini menjadi tugas para dokter, dan belum
disebut dalam kode etik, namun masih dilarang oleh ketentuan
hukum yang berlaku.
Pasal 283 dan 534 KUHP, misalnya, menegaskan larangan
menawarkan, menyerahkan atau memperlihatkan alat pencegah
kehamilan. "Ketentuan hukum seperti ini jelas tidak sesuai lagi
dengan perkembangan masyarakat, apalagi setelah keluarga
berencana menjadi program pemerintah," kata Oemar yang juga
sependapat dengan Soemarno: lihat dulu adakah pelanggaran
terhadap kode etik di samping adanya kemungkinan Pak Dokter bisa
diseret ke pangadilan.
Dengan kata lain, seperti dikemukakan bekas Ketua Umum PB IDI
dr. H. Abdullah Cholil, MPH dalam makalahnya, kiranya perlu
memberi wewenang secara formal kepada Majelis Pertimbangan Kode
Etik Kedokteran, sebagai instansi pertama, untuk menangani
kasus-kasus yang berhubungan dengan profesi kedokteran. Tapi
Cholil juga melihat kemungkinan terjadinya pertentangan antara
hukum formal dan kode etik yang bersifat moral.
"Seharusnya hal itu tidak terjadi," katanya. Kalaupun hal itu
ada, disebabkan oleh satu di antara 3 kemungkinan: peraturan
hukumnya ketingalan zaman atau kode etiknya perlu diperbaharui
atau hukum formalnya kurang lengkap sehingga sulit
menafsirkannya. Jangan sampai terjadi lagi, kasus seperti cerita
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Undip): Ada dokter di Jawa
Tengah enggan mengobati hakim yang sakit perut sebelum mendapat
surat pernyataan kelak tidak akan dituntut ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini