Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mencari Perlindungan Bagi Dokter

Simposium hukum kedokteran, membahas pengkajian hukum kedokteran sebagai bahan untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan. (hk)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pasien meninggal di Puskesmas Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah. Keluarganya menuntut dr. Setyaningrum, yang dianggap gagal merawat pasiennya, ke pengadilan. Malang bagi Ibu Dokter. Hakim memutuskan ia bersalah. Maka Setyaningrum -- dokter wanita yang bertugas di sebuah kecamatan dengan fasilitas kesehatan yang jauh dari memadai itu -- terpaksa meringkuk dalam penjara selama 1 tahun lebih. Padahal ia sudah berusaha mengatasi keadaan kritis pasiennya dengan sungguh-sungguh. Pada tahun yang sama, 1980, dr. Anida juga diajukan ke pengadilan. Ia dituduh menyebabkan kematian seorang anak yang menjalani operasi amandel. Pasien kecil itu meninggal, meskipun dokter ahli THT dari RS Persahabatan itu sudah berusaha sungguh-sungguh menolongnya, dengan mengirimkannya ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lebih baik. Tapi nasib Anida rupanya lebih beruntung. Hakim memutus bebas. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam kasus Anida itu diambil setelah mendengarkan saksi-saksi Prof. Sigit, ahli bedah, dan Prof. Tumbelaka, ketua Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Mereka membenarkan tindakan terdakwa dari segi medis, prosedur operasi, maupun dari segi etik kedokteran. "Bila seorang dokter dianggap melakukan kesalahan, sebaiknya lebih dulu diperiksa oleh majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran. Bila ternyata perbuatannya melanggar kode etik, barulah diajukan ke pengadilan," kata Soemarno P. Wirianto yang ketika itu membela Anida. "Selama ini memang banyak hakim yang tidak mempedulikan hukum profesi, dalam hal ini profesi kedokteran," tambah pengacara tua tersebut. Agar para hakim peduli, awal minggu lalu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman menyelenggarakan simposium hukum kedokteran, bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia. Simposium selama dua hari dan menampilkan 7 pembicara itu bermaksud menimba masukan untuk pengkajian hukum kedokteran, sebagai bahan untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan. Apa yang dimaksud "hukum kedokteran" agaknya merupakan hal baru bagi ahli-ahli hukum maupun para dokter sendiri. Baru 3 orang sarjana Indonesia yang sempat mengikuti Kongres Hukum Kedokteran se-Dunia: Prof Oetama (almarhum) dan Drs. Fred Ameln, S.H., dari Universitas Trisakti (Jakarta) pada kongres V di Belgia (1979) serta Prof. Roekmono dari FK-UI pada kongres berikutnya. Pulang dari kongres, Roekmono membentuk Kelompok Pengkajian Hukum Kedokteran bersama bekas Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar Seno Adji, Prof. Mahar Mardjono (UI), Brigjen Pol. (Purnawirawan) Fred Ameln, dan Prof. Dr. Hermien Hadiati Koeswadji (Unair). Sejak 5 bulan lalu mereka bergabung dengan BPHN dan terbentuklah Tim Pengkajian Hukum Kedokteran BPHN diketuai Fred Ameln. Yang menarik dalam simposium ini, misalnya, Oemar Seno Adji. Bekas Menteri Kehakiman ini mengungkapkan bahwa belum ada keterpaduan antara hukum formal dengan kode etik kedokteran. Kode etik yang mewajibkan dokter "melindungi hidup makhluk insani," tidaklah mutlak sifatnya. Sebab dokter masih dibenarkan, misalnya, menggugurkan kandungan -- bila hal itu satu-satunya jalan menolong jiwa si ibu. Tetapi dalam hal pasal 299 dan 346-349 KUHP abortus dinyatakan ilegal. Dengan begitu, kata Oemar, sistem perundang-undangan kita seolah-olah tidak mengenal perkecualian dalam hal abortus, walaupun hal itu didasarkan atas pertimbangan medis. Sebaliknya ada hal-hal yang kini menjadi tugas para dokter, dan belum disebut dalam kode etik, namun masih dilarang oleh ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 283 dan 534 KUHP, misalnya, menegaskan larangan menawarkan, menyerahkan atau memperlihatkan alat pencegah kehamilan. "Ketentuan hukum seperti ini jelas tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, apalagi setelah keluarga berencana menjadi program pemerintah," kata Oemar yang juga sependapat dengan Soemarno: lihat dulu adakah pelanggaran terhadap kode etik di samping adanya kemungkinan Pak Dokter bisa diseret ke pangadilan. Dengan kata lain, seperti dikemukakan bekas Ketua Umum PB IDI dr. H. Abdullah Cholil, MPH dalam makalahnya, kiranya perlu memberi wewenang secara formal kepada Majelis Pertimbangan Kode Etik Kedokteran, sebagai instansi pertama, untuk menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan profesi kedokteran. Tapi Cholil juga melihat kemungkinan terjadinya pertentangan antara hukum formal dan kode etik yang bersifat moral. "Seharusnya hal itu tidak terjadi," katanya. Kalaupun hal itu ada, disebabkan oleh satu di antara 3 kemungkinan: peraturan hukumnya ketingalan zaman atau kode etiknya perlu diperbaharui atau hukum formalnya kurang lengkap sehingga sulit menafsirkannya. Jangan sampai terjadi lagi, kasus seperti cerita Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Undip): Ada dokter di Jawa Tengah enggan mengobati hakim yang sakit perut sebelum mendapat surat pernyataan kelak tidak akan dituntut ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus