Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA buah papan pengumuman terpancang tegak di depan Gedung Sampoerna Strategic Square di Jalan Jenderal Sudirman, salah satu kawasan paling elite di Ibu Kota. Tertulis, ”Tanah ini luas 9.457 meter persegi disita Penyidik Bareskrim Polri berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: 24/Pen.Pid/2007 Tanggal 24 Juli 2007.”
Pada Jumat dua pekan lalu, beberapa polisi memang memancangkan papan yang isinya membuat pejalan kaki di depan gedung itu mengernyitkan dahi. Inilah buntut gugatan Yayasan Kesuma Abdi Nusa yang mengklaim tanah tersebut milik mereka sejak 1954. Menurut Kurniawan, Ketua Yayasan Kesuma, pihaknya sudah memperjuangkan lahan itu sejak berbelas tahun silam. ”Kami tak pernah menjualnya,” ujarnya tentang tanah yang kini nilainya sekitar Rp 200 miliar itu.
Pada November 2006 Yayasan Kesuma membawa kasus ini ke Markas Besar Polri. Mereka menuding Direktur PT Sami Karya Buana, Harun Sebastian, dan bekas pemilik Bank Danamon, Usman Admadjaja, sebagai pihak yang pertama kali menguasai tanah mereka secara tak sah.
Sebelum menjadi gedung Sampoerna, di atas kaveling 26 itu memang berdiri megah gedung Danamon. Berdasar gugatan Yayasan Kesuma, pengadilan kemudian mengeluarkan penetapan untuk menyita tanah itu. ”Untuk pengamanan bukti,” ujar Direktur Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Brigadir Jenderal Wenny Warouw, tentang papan yang dipasang pasukannya itu.
Tapi, ”papan penyitaan” tersebut tak berumur panjang. Pekan lalu sudah raib. Sejumlah pekerja dan petugas keamanan gedung mengaku tak tahu ke mana perginya papan tersebut. ”Tiga hari setelah dipasang, ada yang mencabut,” ujar seorang tukang ojek sepeda motor yang mangkal di dekat gedung yang kini dikelola PT Buana Sakti, salah satu anak perusahaan Sampoerna.
AWALNYA, menurut Kurniawan, tanah itu milik Tan Eng Gie. Tan mendapat tanah tersebut berdasar eigendom verponding nomor 1962 (tanah hak milik Barat atau asing) dengan akta nomor 358 pada 7 Mei 1933. Pada 1954, oleh Tan, lahan itu dijualnya ke Yayasan Seng Bin Hak Hauw, yayasan pendidikan untuk warga Tionghoa.
Yang dilakukan Tan sebenarnya menjual ke yayasannya sendiri. Soalnya, di Yayasan Seng Bin Hak Hauw itu, Tan ketuanya. Tiga pengurus yayasan, Souw Tjong Ong, Tjia Hoay Soe, dan Lie Lian Kun, membeli tanah itu dua tahap. Pertama, Februari 1954, dengan luas 8.080 meter persegi; dan kedua, 20 Desember pada tahun yang sama, 1.247 meter persegi. Pembelian tercatat dalam akta jual beli nomor 254 dan 138. Di atas tanah itu lalu dibangun sekolah.
Setelah peristiwa G30S, tanah itu diambil negara. Saat itu sejumlah aset warga Tionghoa yang diduga PKI memang dirampas negara. Beberapa pengurus Yayasan Seng diduga terlibat peristiwa itu.
Setelah pengambilalihan itu, susunan yayasan berubah. Dua anggotanya, Pek King Tjong alias Kusumah Priatna dan Tjia Tjay He alias Sianna Susanti Saputra, diberi mandat mengelola yayasan. Kusumah ditunjuk sebagai ketuanya. Belakangan, 4 September 1990, berdirilah Yayasan Kesuma Abdi Nusa yang diketuai Kusumah. Pada Juni 1991, Yayasan Seng Bin Hak Hauw dibubarkan. Semua kewajiban yayasan ini diteruskan Yayasan Kesuma.
Menurut Djunaedi Tjandra, anggota pembina Yayasan Kesuma Abdi Nusa, tanah yang disita negara itu seharusnya, menurut aturan, kembali ke pemilik awal, Yayasan Seng Bin Hak Hauw. Namun ternyata tidak. Pada 1989 tanah itu tiba-tiba diklaim sebagai milik persatuan pengusaha batik warga Tionghoa daerah Karet, atau dikenal dengan nama Perteksi Pembatikan.
Perteksi punya dasar untuk itu. Menurut Perteksi, Yayasan Seng Bin Hak Hauw telah menyerahkan tanah 9.327 meter persegi itu melalui surat pengoperan hak (cessie) pada 20 Agustus 1967. Isi surat menyatakan, yayasan menyerahkan tanah karena tak bisa mengembalikan uang Rp 2,5 juta yang dipinjam.
Di sini pangkal kisruh itu. Ahli waris yang kemudian menjadi pengurus yayasan menduga cessie itu palsu. ”Kami yakin tak ada pengoperan hak itu,” ujar Kurniawan. Alasannya, cessie itu janggal karena Perteksi baru berdiri pada 1970. Pada 1989, Perteksi meminta penetapan hak atas tanah itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berbekal penetapan dari pengadilan ini, Perteksi menjual lahan itu ke PT Sami Karya Buana.
Tak terima tanahnya dijual, Yayasan Kesuma membawa kasus ini ke Mahkamah Agung. Pada 1991, Mahkamah pun mengeluarkan fatwa, membatalkan penetapan tersebut.
Ternyata Mahkamah kalah cepat. Setahun sebelum fatwa keluar, Sami Karya Buana mengajukan permohonan hak atas tanah, yang sebelumnya dikuasai negara, ke pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan. Hak itu pun akhirnya dikantongi PT Sami.
Menurut Djunaedi, PT Sami pernah meminta surat izin peruntukan penggunaan tanah (SIPPT) atas lahan itu, tapi ditolak Pemda DKI Jakarta. ”Karena ada fatwa MA yang membatalkan penetapan pengadilan,” ujarnya. Namun, belakangan, perusahaan ini, pada 1992, justru mendapat sertifikat HGB bernomor 196. ”Ada dugaan di sini terjadi penyerobotan tanah dan penyalahgunaan wewenang,” kata Djunaedi.
Pada 1997, sertifikat nomor 196 atas nama PT Sami berubah jadi nomor 279 atas nama PT Danamon Land atau PT Bentala Lestari. Perubahan itu terjadi setelah kedua perusahaan, Sami Karya dan Bentala, ”bersinergi” membangun gedung Danamon. Belakangan, sertifikat itu berubah lagi menjadi nomor 341 atas nama PT Buana Sakti. Salah satu perusahaan milik kelompok Sampoerna itulah, kini, pemilik sekaligus pengelola kompleks gedung 32 lantai yang berdiri mentereng itu.
Untuk merebut lagi lahan tersebut, Yayasan Kesuma pernah membawa kasus ini ke jalur pidana. Saat itu, pada 1997, Kusumah Priatna melaporkan tiga pengurus Perteksi Pembatikan ke polisi dengan tuduhan pemalsuan cessie. Ketiganya, Muasan Ali, Hermawan Sadikin, dan Purnama Tanuwijaya, diseret ke pengadilan. Kasus ini bergulir hingga ke Mahkamah Agung, yang di tingkat kasasi menghukum ketiganya dua tahun penjara. Namun di tingkat peninjauan kembali, pada 2006, Mahkamah Agung membebaskan ketiganya.
HANAN Soeharto, pengacara Harun Sebastian, membantah kliennya melanggar hukum. Kejadian itu, kata dia, sudah lebih dari 12 tahun lalu. ”Menurut hukum sudah kedaluwarsa,” ujarnya. Kliennya, menurut Hanan, juga sudah diperiksa polisi. ”Sebatas saksi.” Menurut dia, Sami Karya mendapat hak tanah itu dari pemerintah, setelah membayar ganti rugi Rp 12 miliar. ”Syaratnya, sekolah negeri yang berada di atasnya dipindahkan.”
Menurut Hanan, kliennya mengajukan permohonan hak ke pemerintah setelah semua dokumen yang mereka peroleh dari yayasan tak cukup kuat untuk mendapat hak tanah tersebut. ”Sami Karya justru ditipu Yayasan Seng Bin,” kata Hanan. Adapun pemilik tanah sekarang, PT Buana Sakti, tak ada kaitannya dengan PT Sami.
Menurut Brigadir Jenderal Wenny Warouw, selain sudah memeriksa Harun, polisi juga sudah beberapa kali memanggil Usman Admadjaja. ”Tapi dia belum datang,” ujarnya. Usman Admadjaja tercatat sebagai salah satu ”penilap” dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kini menghilang entah ke mana.
Kendati polisi sudah menyita sebagian kaveling bernomor 46 itu, toh Buana Sakti tampak tenang-tenang saja. Menurut juru bicara Buana Sakti, Yulianti Kartika Sari, perusahaannya yakin mereka pemilih sah tanah itu. ”Kami punya sertifikat HGB nomor 341 tahun 2004, resmi dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional,” katanya. Tanah yang diklaim Yayasan Kesuma kini menjadi bagian dari areal Sampoerna Strategic Square yang total luasnya 2,1 hektare.
Kasus ini memang akan bergulir panjang. Apalagi Mabes Polri berencana segera memanggil sejumlah karyawan Badan Pertanahan Nasional yang terkait dengan keluarnya dokumen-dokumen atas tanah ini.
Dimas Adityo, Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo