Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Manusia capung di bukit legadar

Bukit legadar tempat latihan olah raga terbang layang. di indonesia baru berkembang. lin-lipi bandung memproduksi alat alat terbang layang. olah raga ini lahir di as, penemunya fracis ragollo thn 1948. (ils)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Minggu siang pertengahan bulan ini, masyarakat desa Cibogo sudah berkumpul di kaki dan puncak bukit Legadar, Kecamatan Cimahi. Mereka menunggu mulainya satu tontonan - yang di Indonesia sebelumnya baru ditonton oleh segelintir penduduk Ibukota: manusia terbang dengan layanglayang peluncur (hang glider) Beruntunglah penduduk desa yang hanya « jam naik mobil dari jantung kota Bandung itu. Sebab di bukit Legadar, olahraga dirgantara ini sejak bulan Mei lalu sudah jadi acara tetap setiap hari Minggu siang, tatkala angin gunung berhembus dengan kencang. Sekelompok kecil mahasiswa teknik di Bandung, kini menjadikan bukit itu tempat latihan tetap sejak akhir tahun lalu. Menamakan kumpulannya 'Cantolle' - istilah bahasa Bugis untuk capung -- tiap Minggu siang meleka berangkat naik mobil pick-up dari Bandung membawa dua atau tiga layanglayang peluncur a 25 kilo, untuk menikmati hembusan angin di lereng bukit. Dua atau tiga layangan peluncur itu sudah cukup bagi sebelas anggota Gantolle itu. Sebab yang sungguh-sungguh sudah bisa melayang dengan aman dari puncak bukit, baru tiga orang: Ervan Ibrahim, 23 tahun, yang sudah melakukan 20 'penerjunan' yang sukses, Erwin Kurniadi, 26 tahun, dengan 7 kali penerjunan sukses (walaupun pernah menjalani 'cuti terpaksa' karena lengannya nyaris terkilir keluar dari mangkoknya) dan Achmad Kalla, 25 tahun dengan 4 penerjun yang sukses. Kawan-kawannya yang lain, kebanyakan baru berada pada taraf ground training -- latihan berlari-lari di darat membawa layangan peluncur itu, sampai feeling terhadap layangan tak bermesin itu betul-betul sudah terkuasai. Sebagian lain lagi, lebih banyak terlibat dalam produksi armada layang-layang peluncur bikinan Bandung yang lahir di bengkel Lembaga Instrumentasi Nasional (LIN)/LIPI. Maklumlah, perintis olahraga dirgantara yang baru mulai berkembang di Indonesia ini adalah ir Herudi Kartowisastro, direktur LIN. Baru setelah tekun mencari penggemar dan latihan bersama selama 3 tahun - ir Herudi sendiri belum pernah terbang - 'tercetak' tiga orang penerbang layang tanpa pesawat. Kisahnya begini. Rogallo Olahraga itu sebenarnya lahir di AS. Penemunya, Francis Rogallo, pada tahun 1948 menciptakan disain layangan ini bukan untuk olahraga. Melainkan untuk keperluan pendaratan kapsul antariksa ke bumi, sebab Rogallo sendiri -- namanya kini diabadikan dalam nama layangan itu Rogallo glider) adalah peneliti pada NASA, Badan Antariksa Aeronautika AS. Maunya, dengan layang-layang peluncur berukuran raksasa, kapsul antariksa itu tak perlu tercemplung ke laut, tapi bisa disasarkan ke daratan AS kembali. Prinsipnya memang sederhana, yakni pemindahan titik berat layang-layang itu. Namun hal itu lebih mudah dilakukan oleh benda hidup seperti manusia, dari pada satelit yang harus dibelokkan ke kiri dan ke kanan, maju dan mundur dengan tenaga roket. Jadi setelah 20 tahun bereksperimen dengan menghabiskan puluhan juta dollar, NASA akhirnya mendrop proyek riset itu. Segera setelah ditinggalkan NASA, para pencinta olahraga dirgantara mengambil alih gagasan itu. Tapi baru tahun 1971, berkembang jadi olahraga yang cepat populer karena murahnya - dibanding dengan olahraga terbang layang dengan pesawat, dan mudah. Kini, penggemarnya di AS sudah 25 ribu orang. Belum lagi di Australia, di mana banyak penggemarnya memanfaatkan angin pantai yang berhembus kencang ke arah darat di siang hari. Dan di pegunungan Alpen, Eropa Barat, di mana penerbang -- atau mungkin lebih tepat: pelayang - Swiss mahir memanfaatkan angin pegunungannya. Nah, pada saat Rogallo glider itu sedang berkembang pesat di AS, direktur utama PN Garuda, Wiweko Supeno sempat membawa pulang satu layangan buatan sana ke Indonesia. Dihadiahkannya pada ir Herudi, yang juga seorang penerbang pesawat layang. Dia mula-mula mencoba memperkenalkannya pada kelompok olahraga dirgantara Aviantara di Bandung. Namun tak berhasil, antara lain karena sang direktur LIN itu sendiri baru tahu teorinya dari buku-buku. Sedang anak-anak Aviantara lebih senang erbang dengan pesawat glidernya yang ditarik oleh pesawat bermotor, tanpa perlu berpayah-payah mendaki bukit. Baru setahun kemudian, Herudi sempat nengikuti latihan darat selama dua buIan di Denver, Colorado, AS. Pulangnya, sudah ada kelompok baru yang siap untuk menyadap ilmunya. Yakni anak-anak ITB itu, yang dipelopori oleh Achnad Kalla, plus seorang mahasiswa ATN Bandung, Ervan Ibrahim. Onderdil Tahap pertama, membuat layangannya dulu. "Pekerjaan itu saja menghabisan enam bulan pertama tahun lalu," tutur Erlangga Ibrahim, 25 tahun, juru bicara Gantolle. Rangkanya saja, harus dibuat dari pipa aluminium dengan campuran khusus yang belum ada di pasaran Indonesia. Untunglah dengan bantuan lahn dasar yang tersedia di PT Indo Extrusion di Cimahi, dan cetakan buatan PT Federal Motor di Jakarta, problim itu dapat diatasi di bengkel LIN Bandung. Kemudian kain layarnya. Masalah ini dipecahkan dengan kain plastik bahan dasar industri tas di Bandung, yang sedikit lebih tebal -- berarti juga lebih berat - daripada yang digunakan pada protoype milik ir Herudi. Akhir 1976, barulah latihan dpat dimulai dengan 3 ayangan bikinan mereka sendiri. Selama latihan, onderdil dua layangan komplit sudah pernah rusak dan diganti. Kata ketua Gantolle, Achmad Kalla pada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro: "menurut petunjuk dari buku, layangan yang sudah pernah ada bagiannya yang rusak tak boleh dipakai lagi. Supaya tak mengganggu ketepatannya. Tapi kami, kalau cuma bengkok saja pipanya, kami luruskan saja dengan tangan dan kaki, kemudian dipakai terbang lagi." Akibatnya memang kelihatan. Ketika pada hari latihan terakhir sebelum bulan puasa Ervan terbang dengan sebuah layangan 'bekas' dari puncak bukit Legadar, layangan itu meronta-ronta seperti kuda binal. Untunglah pemuda Makassar yang punya 'menit penerbangan' tertinggi di Indonesia itu cukup tenang dan tahu mengimbangi arah angin dan gerakan layangan dengan gerakan tubuhnya sendiri. Kalau tidak, salah-salah dia bisa mendarat tertancap di rumpun bambu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus