SEJAK Minggu siang pertengahan bulan ini, masyarakat desa Cibogo
sudah berkumpul di kaki dan puncak bukit Legadar, Kecamatan
Cimahi. Mereka menunggu mulainya satu tontonan - yang di
Indonesia sebelumnya baru ditonton oleh segelintir penduduk
Ibukota: manusia terbang dengan layanglayang peluncur (hang
glider) Beruntunglah penduduk desa yang hanya « jam naik mobil
dari jantung kota Bandung itu. Sebab di bukit Legadar, olahraga
dirgantara ini sejak bulan Mei lalu sudah jadi acara tetap
setiap hari Minggu siang, tatkala angin gunung berhembus dengan
kencang.
Sekelompok kecil mahasiswa teknik di Bandung, kini menjadikan
bukit itu tempat latihan tetap sejak akhir tahun lalu. Menamakan
kumpulannya 'Cantolle' - istilah bahasa Bugis untuk capung --
tiap Minggu siang meleka berangkat naik mobil pick-up dari
Bandung membawa dua atau tiga layanglayang peluncur a 25 kilo,
untuk menikmati hembusan angin di lereng bukit. Dua atau tiga
layangan peluncur itu sudah cukup bagi sebelas anggota Gantolle
itu. Sebab yang sungguh-sungguh sudah bisa melayang dengan aman
dari puncak bukit, baru tiga orang: Ervan Ibrahim, 23 tahun,
yang sudah melakukan 20 'penerjunan' yang sukses, Erwin
Kurniadi, 26 tahun, dengan 7 kali penerjunan sukses (walaupun
pernah menjalani 'cuti terpaksa' karena lengannya nyaris
terkilir keluar dari mangkoknya) dan Achmad Kalla, 25 tahun
dengan 4 penerjun yang sukses.
Kawan-kawannya yang lain, kebanyakan baru berada pada taraf
ground training -- latihan berlari-lari di darat membawa
layangan peluncur itu, sampai feeling terhadap layangan tak
bermesin itu betul-betul sudah terkuasai. Sebagian lain lagi,
lebih banyak terlibat dalam produksi armada layang-layang
peluncur bikinan Bandung yang lahir di bengkel Lembaga
Instrumentasi Nasional (LIN)/LIPI. Maklumlah, perintis olahraga
dirgantara yang baru mulai berkembang di Indonesia ini adalah ir
Herudi Kartowisastro, direktur LIN. Baru setelah tekun mencari
penggemar dan latihan bersama selama 3 tahun - ir Herudi sendiri
belum pernah terbang - 'tercetak' tiga orang penerbang layang
tanpa pesawat. Kisahnya begini.
Rogallo
Olahraga itu sebenarnya lahir di AS. Penemunya, Francis Rogallo,
pada tahun 1948 menciptakan disain layangan ini bukan untuk
olahraga. Melainkan untuk keperluan pendaratan kapsul antariksa
ke bumi, sebab Rogallo sendiri -- namanya kini diabadikan dalam
nama layangan itu Rogallo glider) adalah peneliti pada NASA,
Badan Antariksa Aeronautika AS. Maunya, dengan layang-layang
peluncur berukuran raksasa, kapsul antariksa itu tak perlu
tercemplung ke laut, tapi bisa disasarkan ke daratan AS kembali.
Prinsipnya memang sederhana, yakni pemindahan titik berat
layang-layang itu. Namun hal itu lebih mudah dilakukan oleh
benda hidup seperti manusia, dari pada satelit yang harus
dibelokkan ke kiri dan ke kanan, maju dan mundur dengan tenaga
roket. Jadi setelah 20 tahun bereksperimen dengan menghabiskan
puluhan juta dollar, NASA akhirnya mendrop proyek riset itu.
Segera setelah ditinggalkan NASA, para pencinta olahraga
dirgantara mengambil alih gagasan itu. Tapi baru tahun 1971,
berkembang jadi olahraga yang cepat populer karena murahnya -
dibanding dengan olahraga terbang layang dengan pesawat, dan
mudah. Kini, penggemarnya di AS sudah 25 ribu orang. Belum lagi
di Australia, di mana banyak penggemarnya memanfaatkan angin
pantai yang berhembus kencang ke arah darat di siang hari. Dan
di pegunungan Alpen, Eropa Barat, di mana penerbang -- atau
mungkin lebih tepat: pelayang - Swiss mahir memanfaatkan angin
pegunungannya.
Nah, pada saat Rogallo glider itu sedang berkembang pesat di AS,
direktur utama PN Garuda, Wiweko Supeno sempat membawa pulang
satu layangan buatan sana ke Indonesia. Dihadiahkannya pada ir
Herudi, yang juga seorang penerbang pesawat layang. Dia
mula-mula mencoba memperkenalkannya pada kelompok olahraga
dirgantara Aviantara di Bandung. Namun tak berhasil, antara lain
karena sang direktur LIN itu sendiri baru tahu teorinya dari
buku-buku. Sedang anak-anak Aviantara lebih senang erbang dengan
pesawat glidernya yang ditarik oleh pesawat bermotor, tanpa
perlu berpayah-payah mendaki bukit. Baru setahun kemudian,
Herudi sempat nengikuti latihan darat selama dua buIan di
Denver, Colorado, AS. Pulangnya, sudah ada kelompok baru yang
siap untuk menyadap ilmunya. Yakni anak-anak ITB itu, yang
dipelopori oleh Achnad Kalla, plus seorang mahasiswa ATN
Bandung, Ervan Ibrahim.
Onderdil
Tahap pertama, membuat layangannya dulu. "Pekerjaan itu saja
menghabisan enam bulan pertama tahun lalu," tutur Erlangga
Ibrahim, 25 tahun, juru bicara Gantolle. Rangkanya saja, harus
dibuat dari pipa aluminium dengan campuran khusus yang belum
ada di pasaran Indonesia. Untunglah dengan bantuan lahn dasar
yang tersedia di PT Indo Extrusion di Cimahi, dan cetakan buatan
PT Federal Motor di Jakarta, problim itu dapat diatasi di
bengkel LIN Bandung. Kemudian kain layarnya. Masalah ini
dipecahkan dengan kain plastik bahan dasar industri tas di
Bandung, yang sedikit lebih tebal -- berarti juga lebih berat -
daripada yang digunakan pada protoype milik ir Herudi. Akhir
1976, barulah latihan dpat dimulai dengan 3 ayangan bikinan
mereka sendiri.
Selama latihan, onderdil dua layangan komplit sudah pernah rusak
dan diganti. Kata ketua Gantolle, Achmad Kalla pada wartawan
TEMPO G.Y. Adicondro: "menurut petunjuk dari buku, layangan yang
sudah pernah ada bagiannya yang rusak tak boleh dipakai lagi.
Supaya tak mengganggu ketepatannya. Tapi kami, kalau cuma
bengkok saja pipanya, kami luruskan saja dengan tangan dan kaki,
kemudian dipakai terbang lagi." Akibatnya memang kelihatan.
Ketika pada hari latihan terakhir sebelum bulan puasa Ervan
terbang dengan sebuah layangan 'bekas' dari puncak bukit
Legadar, layangan itu meronta-ronta seperti kuda binal.
Untunglah pemuda Makassar yang punya 'menit penerbangan'
tertinggi di Indonesia itu cukup tenang dan tahu mengimbangi
arah angin dan gerakan layangan dengan gerakan tubuhnya sendiri.
Kalau tidak, salah-salah dia bisa mendarat tertancap di rumpun
bambu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini