HAKIM-HAKIM Pengadilan Negeri Surabaya semakin "kreatif" menyudutkan pengacara. Majelis hakim yang diketuai Soeradi, baru-baru ini, mengeluarkan sebuah vonis yang belum pernah ada duanya di dunia peradilan: mencantumkan sikap pembela - yang dianggapnya tercela - untuk mempertimbangkan kesalahan terhukum. Vonis itu dibuat Soeradi bersama-sama para hakim anggotanya, Nyonya Rahajoe Santoso dan R. Moetojo, dalam perkara penggelapan. Bulan lalu, dua orang pesakitan, Tjoa Kim Kam dan Tjioe Bin Hwat, dihukum masing-masing 3 tahun penjara karena dianggap terbukti menggelapkan uang milik perusahaan tempatnya bekerja sebesar Rp 20 juta. Dalam salah satu pertimbangannya, Hakim menyebutkan, "Penasihat hukum di dalam persidangan sering kali menunjukkan sikap yang tidak sopan dan sangat tercela, melanggar kode etik, dan kurang hormat kepada Majelis." Sebuah pertimbangan hukum yang tidak berhubungan dengan kesalahan para pelaku tentu saja mengundang reaksi keras. "Cara seperti itu tidak pernah saya dengar di peradilan mana pun - baik di Indonesia maupun di luar negeri," ujar guru besar hukum pidana FH Airlangga, J.E. Sahetapy. Bahkan para hakim sendiri ikut menyesali putusan itu. "Hakim tidak perlu mencampuradukkan kesalahan terdakwa dengan hal-hal di luar itu. Penasihat hukum 'kan bukan terdakwa," ujar seorang hakim yang tidak mau disebut namanya di Surabaya. Pengacara Ernanto Sudarno, ketua cabang Peradin Jawa Timur, yang menjadi pembela kedua terhukum itu, tidak saja terkejut tapi juga bingung mendapat putusan semacam itu. "Saya merasa divonis bersama klien saya. Tapi, anehnya, saya kok tidak dihukum penjara saja sekalian. Yang lebih membingungkan, saya sendiri tidak tahu kesalahan yang saya perbuat," ujar Ernanto, yang juga dituduh Majelis memperlambat jalannya sidang. Ernanto boleh saja mengatakan tidak tahu. Tapi, yang jelas, akibat perkara yang ditanganinya itu konflik antara pengacara dan para hakim di Surabaya memuncak. Awalnya adalah permintaan Ernanto kepada Majelis, agar membuka kembali pemeriksaan saksi setelah jaksa selesai menuntut Kim Kam dan Bin Hwat. Alasan Ernanto, ia mendapatkan bukti-bukti baru yang meringankan kliennya. Tapi permintaannya itu, yang dibenarkan KUHAP, ditolak Majelis Hakim. Penolakan itu diprotes Ernanto melalui koran. Ketua DPC Peradin Jawa Timur itu mendapat dukungan dari rekan-rekannya sesama pengacara, Trimoelya D. Soerjadi Nyonya Soesanti Winarto, dan pengacara kawakan, Pamudji, yang belum lama ini meninggal dunia. Keempat pengacara itu sependapat bahwa Soeradi melanggar ketentuan hukum acara pldana. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soejoedi, segera menjawab kritik terhadap bawahannya itu dengan memanggil keempat pengacara tersebut. Tapi pihak yang dipanggil malah mempertanyakan wewenang Soejoedi untuk memanggil mereka. Pamudji bahkan meminta rekan rekannya tidak mengindahkan panggilan itu. Buntutnya, Pamudji diskors sementara sebagai pengacara. (Lihat: Setelah Pamudji Pergi). Ernanto, juga dua pengacara lainnya, memang tidak terkena skorsing seperti Pamudji. Tapi ia mendapat pukulan berupa vonis Soeradi di atas. Ganjaran semacam itulah yang tidak dapat diterimanya. Sebab, kata Ernanto, di persidangan ia tidak pernah mendapat teguran apa-apa dari Soeradi. "Jangankan diusir, ditegur pun saya tidak pernah. Tapi kenapa semua keberatan Hakim atas sikap saya itu dicantumkan di vonis?" ujar Ernanto. Pengacara itu pun mempertanyakan tolok ukur yang dipakai Soeradi untuk memvonis bahwa sikapnya tercela tidak sopan, dan tidak etis. Soeradi sendiri tak hendak menjelaskan apa-apa. Ia merasa, tindakannya mencantumkan sikap pengacara di dalam vonis untuk terhukum itu sudah benar. "Sebab, tidak ada ketentuan yang melarang itu," ujar Soeradi. Atasannya, Soejoedi, mendukung keputusan anak buashnya itu. Pencantuman sikap pengacara di dalam vonis itu, "Mungkin karena dianggap perlu oleh Majelis Hakim. Kalau tidak perlu, 'kan tidak mungkin dicantumkan," ujar Soejoedi. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya itu membenarkan bahwa pencantuman sikap pengacara tidak termasuk di dalam 11 macam syarat sebuah vonis sebagainana ditentukan pasal 197 KUHAP. "Tapi, seandainya yang tidak ada itu dimasukkan, toh tidak ada larangan," kata Soejoedi. Alumnus Gadjah Mada itu hanya menyarankan agar benar tidaknya keputusan itu biar dinilal pengadilaA tinggi. "Ernanto 'kan naik banding - kita lihat saja putusan peradilan banding," u)ar Soe)oedi. Tapi Ernanto tak sependapat. "Yang saya tunggu dari keputusan banding adalah mengenai materi perkara," kata Ernanto. Tentang pencantuman sikapnya di vonis Soeradi itu, katanya, harus diluruskan kembali oleh Soejoedi sebagai atasan. "Kalau tidak, cara-cara seperti itu bisa menjadi preseden buruk bagi pengacara," kata Ernanto, yang berniat mengajukan keberatannya secara resmi ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pengacara Ernanto lebih khawatir lagi jika penyimpangan Hakim Soeradi itu diterima pula oleh pengadilan banding. Berarti jalan untuk mendapat pengukuhan di tingkat kasasi pun terbuka. "Kalau itu sampai terjadi, berarti profesi pengacara sudah digorok. Kapan kita bisa bicara soal keadilan?" ujar Ernanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini