SUATU siang di Pasar Cempaka Putih, Jakarta Pusat, terjadi adegan begini: Seorang ibu bertubuh gemuk menawar pakaian wanita di sebuah toko. Ia menggendong seorang bocah berumur 8 bulan, dan menenteng tas plastik berisi kue kering. Tak lama muncul wanita lain yang agak lebih tua. Keduanya terlibat percakapan. Saat si ibu bertubuh gemuk hendak menyerahkan tas berisi kue, beberapa pria datang menghampiri. Kedua wanita itu ditangkap. "Mereka hendak melakukan transaksi jual beli ganja," tutur Mayor Gordon Siadari, Wakil Kepala Dinas Krimtiksila, Polda Jakarta, pekan lalu. Si ibu bertubuh gemuk memang tak mungkin mungkir. Tas plastik hitam yang dibawanya jelas berisi ganja. Jumlahnya cukup banyak, satu kg. Benda itu terbungkus koran, disembunyikan di bawah kue-kue kering. Gordon sempat terperanjat sewaktu ia mencocokkan foto dan sidik jari si ibu gemuk - yang mengaku bernama Lijah, 38 - dengan file yang ada: Lijah adalah Samaria, yang ditangkap polisi pada Juli 1982. Kasusnya sama: memiliki ganja. Bahkan dalam jumlah yang sangat banyak, 86 kilo. Ketika itu, oleh Hakim Wieke S. Kumawati dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Lijah alias Samaria divonis 4 tahun penjara. Dan saat ditangkap di Cempaka Putih, akhir November lalu, semestinya Lijah masih berada dalam penjara untuk menjalani hukuman. Nyatanya, dia berkeliaran di luar dan malah - lagi-lagi - menjual ganja. Kepada TEMPO, Samaria mengaku hanya beberapa bulan ditahan. "Saya bisa bebas karena ada yang mengurus. Keluarga saya 'ngasih Rp 3 juta, hasil menjual rumah," katanya sambil terisak. Siapa yang dikasih? Samaria enggan menyebutkan. "Pokoknya, ada," katanya. Berdasar catatan polisi, dalam soal ganja, ibu empat anak itu bukan orang baru. Pada Maret 1976, ia terjaring petugas Polda Sumatera Utara dengan bukti empat kilo ganja. Bulan Mei 1981, ia ditangkap lagi karena kedapatan menyimpan sekitar sekilo ganla. Kali itu, penangkapan terjadi di Palembang. Toh, Samaria tidak juga jera. Ia pindah ke Jakarta dan tetap melakukan bisnis lamanya, dengan omset yang kian besar. Buktinya, di rumahnya ditemukan ganja sampai 86 kilo, pada Juli 1982. Sekitar lima bulan kemudian, 20 Desember 1982, ia divonis 4 tahun penjara oleh Hakim Wieke - langsung minta grasi. Sepekan setelah vonis jatuh, menurut sumber TEMPO, T.B.R. Matondang - adik suami Samaria yang kemudian turun ranjang menjadi suami Samaria - dan Ujung Siahaan, famili, menghadap Hakim Wieke. Mereka meminta agar penahanan terhadap Samaria ditangguhkan. Permintaan itu dikabulkan dua hari kemudian, 29 Desember 1982. Hari itu, dengan penetapan No. 1459/Pid/ 1982. Ut, hakim memerintahkan agar terhukum dikeluarkan dari Rutan Salemba. Jaksa Barlian melaksanakan perintah itu pada 3 Januari 1983. Pertimbangan pengeluaran Samaria dari tahanan, antara lain, karena ada yang menjamin terpidana tak akan melarikan diri dan sewaktu-waktu bersedia menghadap-kannya bila diperlukan. Alasan lain: Samaria tampak menyesali dan menginsafi perbuatannya, di samping bahwa dialah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Dan itulah yang mengherankan polisi. "Baru kali itu ada penjahat narkotik yang hukumannya ditangguhkan," ujar sebuah sumber di Polda Jakarta. Padahal, jelas, saat mengajukan berita acara ke kejaksaan, polisi melampirkan data tentang pernah ditangkapnya Samaria di Medan dan Palembang. Wieke S. Kumawati, yang kini menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Semarang, menyatakan lupa-lupa ingat terhadap kasus Samaria. Seingatnya, ketika itu Samaria tidak meminta grasi, tapi naik banding ke Pengadilan Tinggi. Bebasnya Samaria, katanya, bisa jadi karena ia mendapat keringanan hukuman di tingkat banding atau tingkat kasasi. "Waktu diadili dia menangis terus sehingga pemeriksaan kurang lancar. Saya tak mengira bahwa dia kini melakukan hal serupa," ujarnya kepada TEMPO. Licin juga, itu wanita. Surasono Laporan Bunga S. (Jakarta) dan Yusro M.S. (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini