WAJAH kedua pemuda Australia itu berubah pucat - kendati tetap tenang - ketika Ketua Mahkamah Agung Malaysia Tun Salleh Abbas membacakan keputusannya, Rabu pekan lalu. Begitu pula ibu, ayah, dan saudara Kevin John Barlow - salah satu dari mereka berdua - yang hadir di sidang. Mereka sepertinya tahu bahwa lembaga hukum tertinggi itu pasti memperkukuh putusan Pengadilan Tinggi Pulau Pinang 1 Agustus lalu: mati buat Barlow, 27, dan Brian Geoffrey Chambers, 28. Ternyata, benar. Ruang pengadilan yang sesak itu lalu ingar. Wartawan foto, wartawan berita, dan kerabat kerja TV Australia dan lokal segera mengerumuni terdakwa, keluarganya, pembela, dan para hakim. Barlow lalu menangis. Keluarganya yang tengah diwawancara menangis pula - sebelum kedua terdakwa digiring polisi dan petugas penjara memasuki mobil van tahanan. Pengacara Barlow, Karpal Singh, yang juga anggota parlemen dari Partai Aksi Demokratik yang beroposisi, menyebut "secepat mungkin" akan memohon Lembaga Pengampunan (pardons board) agar memperingan hukuman. Begitu pula pengacara Chambers, R. Rajasingam. "Kami tidak menemukan alasan apa pun dalam kasasi ini untuk bisa mengubah temuan hakim," kata Tun Salleh didampingi Hakim George Seah dan Hakim Eusoffe Abdoolcader. Keterangan para saksi, menurut Tun Salleh, membuktikan kedua orang itu berencana membawa narkotik ke luar Pulau Pinang, seperti ketika ditangkap di lapangan terbang Bayan Lepas, 9 November 1983. Waktu itu Barlow dan Chambers baru tiba di bandara menggunakan taksi. Barlow segera melapor ke bagian pendaftaran penumpang membawa tas tanpa melalui sinar-X. Hanya kopor Chambers yang melalui pemeriksaan itu. Polisi intel Shahariman segera mencurigai mereka dan memeriksanya, dan benar ... mendapatkan 179 gram heroin di kopor Barlow. Padahal, Malaysia baru memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang kedapatan membawa lebih dari 15 gram heroin, seperti tercantum dalam undang-undang 1983. Mereka tak bisa mengelak lagi, kendati Karpal Singh sempat menyoal kewenangan petugas intel itu menahan. Putusan mati ini - bila kelak lembaga pengampunan tak memperingannya - berarti untuk pertama kalinya dijalani warga Australia, karena heroin. Gelombang pendapat muncul dari berbagai pihak. Di antaranya adalah pengacara Chambers, Ronald William Cannon yang khusus datang dari Australia. Kasus ini, ucapnya, seharusnya menjadi peringatan pada pemerintah Australia agar negaranya mengingatkan pelancong muda tentang hukuman mati bagi pengedar atau pembawa narkotik di Malaysia. "Poster yang ada di Malaysia, yang menggambarkan orang yang menghadapi tali gantungan bagi pembawa atau pengedar narkotik, haruslah diimbangi dengan poster serupa di pintu-pintu keluar Australia," kata Cannon. Cannon sebenarnya juga tak mengeluh tentang proses peradilannya. Tapi ia tak puas dengan putusannya. Sebab, putusan itu tak mempertimbangkan bahwa terdakwa masih muda dan, lagi pula, di Australia, "kami asing dengan hukuman mati." Karena itu, ia berharap agar lembaga pengampunan menggunakan haknya, dan "tidak menggantung pemuda-pemuda tolol ini." Tentu saja, dan ini dikatakannya, permohonan keringanan ini tak mungkin dilakukannya lagi di masa mendatang. Cukup kali ini. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia Bill Hayden, seperti dilaporkan Reuter, merasa perlu ikut campur tangan terhadap putusan Malaysia terhadap warga negaranya. Bahkan ia berang. "Secara pribadi, saya selalu dan akan tetap menentang hukuman berat itu," kata Hayden, yang mengharap dengan sangat adanya belas kasih. Pernyataan pemerintah menyebutkan, tidak ada pembenaran untuk pengambilan nyawa sebagai suatu hukuman, betapapun berat suatu kesalahan. Lebih dari itu, Hayden juga mengatakan akan mengirim surat kepada Yang Dipertua Negeri Pulau Pinang - yang menjadi Ketua Lembaga Pengampunan - agar bermurah hati untuk tidak menghukum gantung Barlow dan Chambers. Karena hanya tinggal pada lembaga itulah nasib mereka digantungkan. Keluarga terhukum juga tak kurang berusaha. Dari London terbetik berita bahwa keluarga Barlow di Inggris telah menyurati Perdana Menteri Margaret Thatcher - yang hingga kini belum ada jawabannya - agar tidak berdiam diri. "Kami berharap Nyonya Thatcher dan Kementerian Luar Negeri Inggris sekarang akan campur tangan," tukas Christine Austin, bibi Barlow, pada wartawan di London. Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Musa Hitam menanggapi ketidak-percayaan Bill Hayden bahwa Malaysia tega menghukum mati kedua terdakwa, dengan hanya berkata, "Saya menghargai pandangan itu." Namun, ia mengingatkan bahwa sistem perundang-undangan di Malaysia tak pandang bulu: apakah terhukum warga negara Malaysia ataupun asing. Kenyataan itu, kata Datuk Musa, perlu dihormati. "Lain negara, lain pula sistem perundang-undangan yang diamalkannya." Dan Malaysia masih percaya, hukuman berat penting untuk memberantas soal dadah atau narkotik. Tapi Musa menolak, dan mengaku tak punya posisii untuk, mengomentari bagaimana putusan lembaga pengampunan nanti. Akankah Barlow, si tukang las dari Perth kelahiran Inggris, dan Chambers, si kontraktor bangunan di Sydney, itu menjadi orang Barat pertama yang dihukum mati karena narkotik? Kita tunggu. Zaim Uchrowi Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini