PUSAT hiburan Ancol tetap tenang seperti biasanya. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi di Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta Utara siang hari 30 April 1984 itu. Tahu-tahu, tamu yang barusan berkunjung ke kamar nomor 89-90 Pondok Kakap berlari dikejar seseorang dengan pistol siap tembak. Tamu ganteng seperti peragawan dan berkumis itu jatuh terjerembab kena sergap. Melihat gelagat tidak baik, dua rekannya yang sudah lama berdiri gelisah di bawah pohon kamboja mencoba mengambil langkah seribu. Tapi mereka dicegat dua orang berpistol lain, hingga tak berkutik. Tiga orang berpistol yang sudah tiga malam menginap di Pondok Kakap itu tak lain petugas polisi anti narkotik dari PoldaJakarta. Mereka telah mencapai sukses, yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan menangkap pengedar narkotik kelas kakap dan menyita satu kilogram heroin murni. Hasil ini lebih besar dibandingkan sukses serupa pada tahun 1974, yang berhasil menyita satu kilogram morfin dari seorang tersangka. Heroin mempunyai kekuatan 10 kali lipat dibandingkan morfin. Kepala Direktorat Reserse Polda Jakarta, Letnan Kolonel Bachar Moe'id, tampak gembira menyambut sukses anak buahnya itu. Tapi ia tetap prihatin. "Jakarta kemungkinan besar sudah menjadi sasaran jaringan pengedar narkotik internasional," katanya pekan lalu. Ia menduga demikian, karena empat hari sebelum penyergapan di Ancol Polda Jakarta menyita 1,5 kg candu murni dari seorang tersangka di wilayah Jakarta Barat. Keberhasilan operasi di Pondok Kakap, menurut KeDala Dinas Kriminil Narkotik dan Susila, Letnan Kolonel Nana Permana, merupakan cerita panjang yang cukup menegangkan, karena penuh risiko dan rahasia. Adanya pengedar narkotik kelas kakap, menurut Nana, diketahui sekitar tiga bulan lalu. Lewat operasi Gurita yang dilancarkan selama satu bulan Januari-Februari lalu, polisi antara lain membekuk seorang tersangka dengan bukti 0,25 cie di wilayah Jakarta Barat cie = 4 gram = 150cekak. Dari penangkapan ini, dan dihubunghubungkan dengan informasi dari sumber lain, akhirnya diketahui ada distributor besar yang beralamat di Medan. Nana bersama Mayor Gordon Siadari, Kepala Subdinas Narkotik, segera mengatur siasat, lalu berangkat ke Medan. Jaringan yang di Medan dikontak dan, setelah diamat-amati beberapa saat, sepak terjang pengedar kelas kakap itu kian jelas. Ia rupanya wajah baru, yang belum pernah tercatat dalam daftar polisi. Kabarnya, tokoh baru ini ber kewarga negaraan asing, tak jelas Muangthai atau Singapura. Baik Nana maupun Gordon tak hendak bercerita banyak tentang si wajah baru ltu. Hanya, sumber lain mengatakan kepada TEMPO bahwa orang asing tadi rupanya sedang berniat menjajaki pasaran di Indonesia. "la belum punya Jaringan seperti pengedar lain," katanya. Sebab itulah, narkotik yang dijualnya relatif lebih murah dibandingkan dari pengedar lain. Untuk satu kilogram heroin murni, yang di pasaran (gelap) berharga sekitar Rp 60 juta, pedagang baru itu mau menjual dengan harga bantingan: Rp 15 juta. Dalam partai kecil ukuran cekak, satu kilogram heroin sebenarnya bisa bernilai Rp 600 juta leblh. Di samping sedang mencari pasar, menurut analisa sumber itu, harga murah tadi bisa jadi karena barang itu hasil sabetan dari gang atau sindikat lain. Di kalangan mereka, perkara saling jegal dan saling sodok memang bukan hal aneh. Lewat seorang perantara, dua petugas polisi Jakarta yang menyamar itu akhirnya bisa mendapatkan satu kilogram heroin murni. Transaksi dengan perantara itu terjadi di sebuah hotel bertaraf internasional di Kota Medan. Yang ketika itu cukup mengundang tanda tanya, kata Nana, karena pihak pen jual mau menerima uang panjar sebesar Rp 2 juta itu - sisanya yang Rp 13 juta akan dibayarkan di Pondok Kakap, Jakarta - jangan- jangan heroin itu palsu. Setiba di Jakarta, heroin terbungkus plastik merk Golden Globe tadi diperiksakan ke Laboratorium Kriminil Markas Besar Polri, dan ternyata positif - artinya asli. Menurut Nana, heroin bergambar dua kepala singa berhadap-hadapan itu berasal dari Segitiga Emas. Daerah di perbatasan Burma- Laos-Muangthai yang memang dikenal sebagai penghasil narkotik di dunia. Proses membawa narkotik itu dari Medan ke Jakarta merupakan masalah tersendiri. Soalnya, kedua petugas dari Polda Jakarta ltu hanya mengantungi surat tugas lokal. Artinya, tak diketahui oleh Kapolda Jakarta, yang kemudian - mestinya - mengontak Polda Sumatera Utara. Tapi tak seorang pun polisi Polda Sumatera Utara yang tahu tugas ini. Prosedur resmi terpaksa agak dikesampingkan. Sebab, dalam urusan narkotik, makin sedikit orang yang mengetahui jalannya operasi akan semakin besar kemungkinan untuk berhasil. "Saya betul-betul mempertaruhkan jabatan, bahkan nyawa saya," tutur perwira menengah yang bertugas ke Medan itu. Risiko memang tidak kecil, terutama bila dalam perjalanan tertangkap tangan oleh pctugas lain dengan heroin dalam jumlah demikian besar. Tapi agaknya semua berjalan mulus. Untungnya pula, di pelabuhan udara Polonia, Medan, belum ada alat untuk mendeteksi narkotik. Dengan begitu, kasus polisi menangkap polisi tak terulang di kota itu (TEMPO,3 Maret 1984). Begitu tiba di Jakarta, pada 28 April mereka memesan Pondok Kakap kamar nomor 89-90, dengan nama Mamat. "Begitu masuk Pondok Kakap mereka hampir tidak pernah keluar kamar," kata seorang petugas di cottage itu. PENYENYERGAPAN itu sendiri kira-kira berjalan sebagai berikut: Menjelang pukul 13.00, Senin 30 April 1984, sebuah sedan merah berhenti di dekat lapangan tenis. Tiga penumpangnya turun. Yang seorang bertampang peragawan. Sedangkan rekannya, yang seorang WNI keturunan Cina bertubuh sedang dan satunya berkulit sawo matang. Si peragawan, yang hendak menagih kekurangan sebesar Rp 13 juta, mengetuk pintu dengan kode khusus. Sementara itu, dua rckannya menanti di luar, sekitar 25 meter dari pondok, berdiri di bawah pohon kamboja. Setelah yakin bahwa yang datang adalah orang yang sedang diincar, polisi antinarkotik pun bertindak. Ketiga tersangka dibekuk. Diduga, mereka hanya kaki tangan saja, sedangkan bosnya - warga negara asing itu yang dlharapkan waktu itu muncul, ternyata cukup waspada. Kini ia diburu. " Penyergapan berjalan cepat sekali, hanya beberapa menit. Tanpa teriakan atau kegaduhan sama sekali," kata S. Sumarno, Bagian Marketing Putri Duyung Cottage. Begitu cepatnya, sehingga petugas keamanan di situ pun tak ada yang tahu. Ketika si peragawan terjerembab, menurut beberapa saksi mata dua rekannya digiring, lalu digeledah. Setelah itu, barulah polisi meminjam dua buah borgol milik petugas keamanan di situ. Tak lama muncul dua buah mobil polisi membawa para tersangka. Akan halnya sedan merah yang ditumpangi orang yang ditangkap, sempat kabur saat penyergapan terjadi. Pengemudi mobil tadi diduga termasuk anggota komplotan. Tapi, konon, itu hanya taksi gelap yang sopirnya buru-buru kabur karena tak mau terlibat. Kini para tersangka itu tengah diperiksa secara intensif Siapa tahu pengedar kelas hiu atau paus kemudian bisa dijaring dari keterangan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini