Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peter Cianata, staf PT Fortuna Tunas Mulia (FTM), mengaku diperintah Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta untuk membeli timah milik PT Timah Tbk. Pembelian timah ini dilakukan pada akhir 2018. FTM merupakan perusahaan cangkang RBT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keterangannya, Peter mengaku diperintah Suparta untuk membeli timah menggunakan identitas pribadinya meskipun saat itu ia bekerja sebagai purchasing PT FTM. "Menggunakan nama pribadi saya untuk pembelian timah," kata Peter di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Senin, 30 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, Fortuna Tunas Mulia merupakan pemilik izin usaha penambangan (IUP) untuk wilayah Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. "Pak Suparta direkturnya RBT, kalau FTM ini kan IUP-nya yang di Belitung. IUP-nya PT FTM di bawahnya RBT, untuk IUP," kata Peter di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Selatan, Senin, 30 September 2024.
Dalam prosesnya, Peter diperintahkan untuk mencari kolektor-kolektor penambang. Setelah mendapat penambang, barulah dia membayar para penambang dan hasil tambangnya.
Untuk mendapatkan kolektor-kolektor penambang ini, Peter harus 'nongkrong' di warung kopi yang berada di sekitar wilayah IUP PT Timah. Apabila sudah menemukan kolektor tambang dan kemudian mengajukannya ke PT Timah, dan PT RBT yang menentukan titik koordinatnya.
Selain itu, Peter menyebut PT RBT mengeluarkan sekitar Rp 5 miliar dalam kurun waktu empat bulan, tepatnya terhitung sejak September hingga Desember 2018 untuk pembelian timah milik PT Timah Tbk. Setelah proses pembelian rampung, bijih timah akan dikirim ke gudang FTM terlebih dulu untuk disimpan dan pengambilan sampel. Apabila proses tersebut selesai, bijih timah akan diambil oleh PT Timah untuk dikirim ke Bangka, tepatnya ke gudang PT RBT untuk diolah sampai menjadi logam.
Peter menjadi saksi mahkota sidang dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun anggaran 2015-2022, yang menyeret Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah. Kasus ini menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp 420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun itu. Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.