Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang isyarat

Pengadilan negeri ujungpandang menyidangkan kasus pembunuhan Yusuf, akibat perkelahian dengan sekelompok orang-orang bisu. Sidang dilakukan dengan bahasa isyarat.(hk)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pengadilan Negeri Ujungpandang, pekan-pekan ini, berlangsung "sidang bisu" - dalam arti sebenarnya: semua terdakwa dan sebagian saksi terdiri dari orang bisu. Sidang dengan bahasa isyarat terpaksa dilakukan, karena jaksa mengajukan dua orang pemuda tunarungu, Syafruddin Yunus dan Syamsul Kamar, dengan tuduhan membunuh. Semua pertanyaan majelis hakim, yang di ketuai A. Munir, diterjemahkan dulu ke bahasa isyarat oleh penerjemah, dan begitu pula sebaliknya. Tentu saja jalannya persidangan jadi tersendat-sendat. Ketika Jaksa A. Rakhim memperlihatkan barang bukti sebilah badik, misalnya, Syafruddin menganggukkan kepala. Tapi ia segera menambahkan keterangannya dengan menusuk-nusukkan jarinya ke telapak tangannya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Artinya, menurut penerjemah, Syafruddin mengakui sebagai pemilik badik yang diperlihatkan Jaksa, tapi membantah sebagai orang yang membunuh korban, Yusuf. Persidangan itu sempat terhenti, ketika penerjemah tidak berhasil memahami isyarat-isyarat yang disampaikan kedua terdakwa. Padahal, kedua orang penerjemah yang didatangkan ke sidang, H. Mardiana dan Syamsu, adalah, dua orang guru sekolah luar biasa yang pernah mengajar kedua terdakwa. Hakim terpaksa mengganti kedua pcnerjcmah itu dengan dua orang penerjemah lain. Salah scorang dari mereka masih ada hubungan keluarga dengan terdakwa, Syamsul. Syafruddin, 23, dan Syamsul, 20, bersama Lie Wie Kang - ketiganya tunarungu - dituduh mcmbunuh gara-gara seorang gadis, Ninik, yang juga tunarungu. Suatu hari, 20 Juli lalu, sekelompok anak muda, Yusuf, Nasruddin dan Muhammad Idris, lewat di depan rumah Ninik. Salah seorang dari mereka mcnggoda Ninik. Entah kenapa Ninik, pacar Syafruddin yang tunarungu itu, membalas teguran pemuda-pemuda itu dengan lambaian tangan. Celakanya, adegan itu terlihat kelompok Syafruddin. Dengan mengendarai sepeda motor, Syafruddin mendekati kelompok Yusuf. Untuk menjelaskan maksudnya, Yusuf mempermain-mainkan jarinya sebagai isyarat kepada Syafruddin. Tapi bahasa isyarat itu justru membuat Syafruddin jengkel. Apalagi Yusuf mematikan mesin motor Syafruddin. Perkelahian kedua kelompok pemuda itu tidak terelakkan lagi. Sampai akhirnya Yusuf terkapar, tertusuk badik, dan meninggal seketika. Siapa di antara ketiga tunarungu itu yang menusuk Yusuf? Itulah soalnya. Jaksa Rakhim menuduh Syafruddin sebagai pelakunya. Buktinya, badik itu milik Syafruddin. Tapi pemuda itu membantahnya. Lebih repot lagi, dengan bahasa isyarat, ketiga pemuda yang terlibat dalam perkelahian itu saling tuding. Sementara itu, penerjemah tidak menangkap keseluruhan isyarat yang diberikan mereka. Ninik, 18, yang membantah pembunuhan itu gara-gara dia, mengatakan bahwa kedua gurunya mengalami kesulitan menerjemahkan isyarat teman-temannya itu. "Mereka pusing," kata Ninik dengan bahasa isyarat pula. Sebab, kata Ninik, kode-kode yang dipakai para terdakwa yang tunarungu berbeda-beda. Bahkan, untuk menunjukkan identitas ketiga temannya itu, menurut Ninik, berbedabeda pula. Untuk Syafruddin, misalnya, dipakai kode tangan di belakang telinga guna menggambarkan pemuda itu bertelinga besar dan dua ujung jari di pundak yang berarti anak perwira. Tangan di ujung hidung, berarti Syamsul, sebab hidungnya mancung. Jika di antara kelompok tunarungu itu menunjuk ujung keningnya, berarti yang mereka maksud adalah Lie Wie Kang, karena orang itu bermata sipit. Ayah Ninik, Syamsuddin, malah membantah putrinya berpacaran dengan Syafruddin. Ia hanya mengakui kelompok anak tunarungu itu selalu "mangkal" di rumahnya. Syamsuddin juga membenarkan kesulitan-kesulitan menangkap bahasa isyarat anak-anak tunarungu itu. "Kode-kode antara mereka itu berbeda-beda. Kode mana yang dipakai, tergantung pada kebiasaan masing-masing," ujar Syamsuddin. Tinggal para hakim yang pusing tujuh keliling.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus