KISAH bagi harta ini mirip film India. Tokohnya, sang ayah, Mangaraja Tagor Lubis. Ia "raja bioskop" di Tapanuli Selatan. Tetapi, Tagor juga dikenal beristri tiga, yang melahirkan 12 anak laki-laki ditambah enam perempuan. Mengingat buntut itu panjang (empat dari 18 anaknya meninggal), lalu Tagor pasang kuda-kuda, sebelum mereka berkelahi berebut pusaka nanti. Ia kemudian membikin surat wasiat. Inti testamen Tagor: harta yang terdiri dari enam bioskop, 16 rumah, sawah, dan kebun karet tak boleh dibagi-bagi. Kalau ia meninggal, ketiga istri dan semua anaknya hanya boleh menerima penghasilan dari harta yang diusahakan. Sebagai pelaksana, direktur, ditunjuknya Amir Hasan, putra sulungnya dari istri pertama. Pada 4 Maret 1955, ketua Pengadilan Negeri Sibolga, Abdul Raak, mengesahkan surat wasiat itu. Setelah Mangaraja Tagor Lubis meninggal, 1962, suasana dalam keluarga besar ini bertahan damai-damai saja. Tetapi, 13 Juli 1984, Amir Hasan, 66, mempersoalkan surat wasiat sang ayah. Ia memohon kepada Pengadilan Agama Sibolga untuk menetapkan ahli waris Tagor yang sah. Sementara itu, adiknya seibu, Das Tagor, 53, pada 7 Desember 1984 memohon pula ke pengadilan yang sama untuk membatalkan testamen ayahnya itu. Menurut Das, bunyi wasiat selain aneh juga tak beres. Katanya, ada ahli waris yang lain, tetapi berhak, tak dicantumkan dalam surat wasiat tadi. Yaitu Amir Husin, 43, adik Das hasil perkawinan ayahnya dengan Batiyah, istri keempat. Setelah pelakonnya bertambah, urutan istri Tagor begini: Masniari (ibu Amir dan Das) dinikahinya 1912. Ia meninggal 1978. Istri kedua, Siti Agor Lubis, masih hidup. Mereka menikah 1944. Istri ketiga, Emma Pasaribu, masih hidup. Mereka menikah 1948, cerai 1961. Tagor menikahi Batiyah pada 1941, lahir Amir Husin. Mereka bercerai 1943. Perempuan itu meninggal 1948. Sampai sidang ketiga, awal Januari lalu, Pengadilan Agama Sibolga baru membahas susunan ahli waris. Akhir bulan ini, didengar empat saksi dari Tanjung Mulia, Medan. Mereka, katanya, tahu liku-liku pernikahan Tagor dengan Batiyah. "Kalau istri keempat punya bukti kuat, tentu Amir Husin berhak sebagai ahli waris Tagor," kata ketua pengadilan, Marah Sutan Harahap. Tetapi, Hasnah Lubis, 35, putri sulung Tagor dengan Siti Agor, di sidang lalu meminta pengadilan menolak permohonan Amir dan Das. "Jika ada istri keempat, kenapa Ayah tak mencantumkan dalam wasiatnya?" tanya Hasnah. Menurut Das, karena terlupa dicantumkan (walau dicerainya), maka Batiyah disebut "istri keempat" sang ayah. Kalau menurut urutan tahun di nikahinya, Batiyah seharusnya istri kedua. Amir Husin, menurut Das, anak sah ayahnya. Kata Harahap, testamen tersebut bertentangan dengan hukum Islam. "Tak ada wasiat bagi ahli waris," katanya. Wasiat mestinya ditujukan kepada orang lain, "Dan itu tak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan. Sebab, warisan merupakan urusan ahli waris dan Tuhan," tambahnya. Harahap menafsirkan bahwa maksud Tagor dengan testamennya adalah amanat sebagai keinginan terakhirnya sebelum memnggal. Tetapl Isinya bertentangan dengan hak-hak ahli waris. Pencantuman klausul "tak boleh di bagi-bagikan", kata Harahap, tak menjiwai hak ahli waris yang dibenarkan hukum Islam. "Setelah Tagor almarhum, berarti ia sudah putus hubungannya dengan hartanya," kata Harahap. Tetapi, testamen Tagor tak boleh dibatalkan pengadilan agama. "Itu hak instansional pengadilan negeri," kata Tonggo Tua Sihite. Menurut ketua Pengadilan Negeri Sibolga itu, pengesahan testamen adalah wewenang pengadilan negeri, khusus untuk mereka yang tunduk sukarela kepada hukum Barat (BW atau KUH Perdata). Batasan 1/3, seperti diatur dalam hukum Islam, juga ada dalam hukum perdata. Dan eksekusi pembagian warisan, kata Tonggo, adalah hak pengadilan negeri. "Tentu, setelah ada ketetapan pengadilan agama, berapa persentasenya dan siapa ahli waris yang berhak," kata Tonggo. Ini dibenarkan Harahap. Kalau wasiat Tagor minta dibatalkan, kata Tonggo, maka harus diperiksa di pengadilan negeri. Yang menentukan pilihan adalah suara mayoritas. Tetapi, Haji A. Muthalib Sembiring, 43, menilai bahwa wasiat Tagor itu wajib dipatuhi menurut hukum Islam. Surat wasiat itu boleh diubah, jika bermanfaat. Tapi kalau menimbulkan dakwa-dakwi, kembalilah ke wasiat itu lagi, kata pengacara beken dan dosen hukum perdata internasional FH USU, Medan, itu. Dan ternyata memang ada dakwa-dakwi. Amir Hasan, menurut Hasnah, tak pernah mempertanggungjawabkan jalannya usaha warisan, sejak 1962 sampai 1984. Tapi, "Soal itu tak ada dicantumkan dalam testamen Ayah," kata Amir, yang menolak menjelaskan omset usaha warisan bersama itu. Jika permohonan Amir dan Das ke pengadilan agama tak segera dicabut, kata Hasnah lagi, ia akan menggugat soal pertanggungjawaban itu ke pengadilan negeri. "Boleh saja. Asalkan tak berakibat habis arang besi binasa," balas Bang Amir, kalem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini