Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Riki Fernandez Simanjuntak selaku Wakil Kepala P2P Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk dihadirkan sebagai saksi perkara korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada hari ini. Dalam kesaksiannya, Riki menyebut harga pasar timah menjadi dasar pembayaran sewa smelter oleh perusahaan milik negara ini kepada para mitra kerja sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Faktualnya memang lebih kepada harga pasar. Jadi, terkait harga pasar di lapangan berapa, itu PT Timah meng-judge ke sana," kata Riki di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riki diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa dugaan korupsi timah Helena Lim, eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi; eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra; dan Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) MB. Gunawan.
Riki menyebut kadar SN timah tidak menjadi dasar pembayaraan sewa smelter. "Kalau kadar SN sudah ada aturan, Pak, penerimaan itu di 60 ke atas," ujarnya.
Dia mengakui memang ada perbedaan harga sewa antara PT Refined Bangka Tin (RBT) dengan empat mitra kerja sama PT Timah lain. Namun, Riki tidak mengetahui alasan direksi membedakan harga sewa tersebut. Ia mengetahui ada perbedaan harga itu dari surat perjanjian (SP) yang ada.
Sebelumnya, Eko Zuniarto selaku Evaluator Kerja Sama Smelter PT Timah Tbk, menyebut perusahaan harus membayar PT Refined Bangka Tin (RBT) sebesar US$4.000 untuk melebur bijih timah per metrik ton. Harga ini lebih mahal jika dibanding dengan smelter lainnya.
Eko menyebut, PT Timah hanya membayar US$3.700 per metrik ton untuk kemitraan smelter lain. "Harga sewa smelter dengan RBT disebutkan US$2.000 per jam efektif. Jam efektifnya 1/2 ton per jam, intinya US$4.000 per metrik ton. Sedangkan dengan smelter lain, US$3.700 per metrik ton," kata dia di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Kamis, 19 September 2024.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum mendakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan MB. Gunawan ikut mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah. "Berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan," ujar ketua tim JPU Ardhito Murwadi.
Ketiganya juga didakwa ikut merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau Rp 300 triliun. Angka tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 28 Mei 2024.
Keempat terdakwa perkara korupsi timah itu didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (primair) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 (subsidair).