Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Silakan Asal Uang Itu Kembali kisah sorta dan elon

Kasus penyelewengan pemberian kredit di Bank Rakyat Indonesia Tanjungpinang, Riau, terbongkar dilakukan oleh oknum kepala kas, dan seorang perwira yang instansinya memiliki simpanan di BRI. (krim)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIMPINAN BRI (Bank Rakyat Indonesia) Tanjungpinang merasa kecolongan. Lantas mengeluh: "Saya betul-betul merasa terpukul!" Sebab sebagai pimpinan, drs. Yoyo Sunaryo, tak tahu menahu ada bawahannya bermain dengan orang luar untuk menggaet uang yang ada dalam kekuasaannya. Apa boleh buat. Sebagai pimpinan Yoyo hanya tahu, semua administrasi beres, "tak ada sesuatu yang mencurigakan," katanya. Tapi nyatanya kas banknya telah kebobolan sekitar Rp 30 juta. Hari-hari ini kejaksaan tengah mengusut kebobolan itu. Berbagai pihak yang tersangkut panik. Pimpinan BRI sendiri, Yoyo, tengah berusaha sekuat tenaga untuk menutup ketekoran. Dan sedikit menyerah: "Pokoknya asal uang dapat kembali, saya sudah puas." Untuk keteledoran yang diakuinya sendiri, Yoyo juga menyerah, "mau dipindahkan juga silakan." Bagi masyarakat Tanjungpinang, terbongkarnya kasus BRI bukan berita baru. Sudah lama orang tahu ada praktek tak benar bank ini dalam menyelenggarakan kredit. Orang sana menyebutnya sebagai kredit melalui jalan belakang. Seorang terdakwa bernama A Kok pernah mengakui hal itu di muka suatu peradilan. Misalnya, dia bilang, pernah memperoleh kredit Rp 5 juta dari BRI tanpa melalui prosedur yang semestinya. Dan kali ini pun cerita itu serupa. Ada sebuah instansi pemerintah penting di Tanjungpinang punya simpanan di BRI lebih dari Rp 100 juta. Yaitu simpanan untuk dana non budgeter. Tapi, berhubung tak ada pengeluaran yang cukup besar, maka uang simpanan itu lama juga mengendap di BRI. ND & ZM Rupanya, melihat ada uang nganggur, ada oknum instansi yang menyimpan uang itu hendak ikut memanfaatkannya. Oknum itu seorang perwira pemegang kas bernama ND. Ia bekerja sama dengan kepala kas BRI, ZM. Dengan kerja sama yang rapi uang simpanan instansi militer tersebut berhasil mereka keluarkan tanpa diketahui pimpinan yang berwenang. Sebab dalam pembukuan tetap saja tertera: uang yang Rp 100 juta masih tetap berada dalam kas BRI dengan aman. Uang itu kemudian dipinjamkan kepada beberapa pengusaha dengan bunga 6% sebulan. Abba, seorang kontraktor, mendapat pinjaman Rp 30 juta, CV Rahayu Rp 20 juta A Hie, anak muda pemilik toko Rp 30 juta. Dan masih beberapa pengusaha lagi yang memperoleh pinjaman di atas sejuta rupiah. Hampir setahun praktek perwira ND dan ZM berlangsung lancar. Keruwetan dimulai ketika perwira keuangan, yang menjabat kepala keuangan instansi tempat ND bekerja, pindah tugas. Beberapa pinjaman dapat ditarik kembali. Tapi yang ada di tangan A Hie, Rp 30 juta, ternyata macet. Betapapun ND dan ZM berusaha, dengan halus maupun ancaman kekerasan, A Hie tetap saja ogah membayar hutangnya. A Hie memang cukup cerdik. Ia tahu betul dari mana ND dan ZM memperoleh uang yang mereka kreditkan. Jadi, bagaimanapun, hutangnya tak dapat ditagih secara terang-terangan. Mau menuntut? Boleh saja, begitu tentu fikir A Hie, "kalau mau semuanya masuk lubang!" Paling-paling yang dapat diberikan A Hie sebagai pembayar hutang hanyalah 6 lembar cek kosong @ Rp 5 juta. Letih mengejar A Hie dengan berbagai cara, ND dan ZM mencoba minta bantuan seorang pejabat kejaksaan. Barangkali saja A Hie takut melihat tangan jaksa ikut campur. Paling tidak, ia diharapkan mau meneken surat pengakuan hutang. Tapi ternyata kejaksaan tidak hanya mempelototkan matanya ke arah A Hie. Hidung jaksa cepat mencium bau tidak beres dalam urusan ND dan ZM. Pengusutan pun meluas. Dan akhirnya instansi tempat ND pun tak dapat berbuat lain, kecuali menyerahkan pengusutan sebaik-baiknya kepada jaksa. Di tengah kesibukan di instansi ND, BRI dan Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, muncullah surat kaleng di meja Yoyo, pimpinan BRI itu. Isinya mengungkapkan secara mendetail cara-cara permainan curang di BRI. Jelas surat itu menunjukkan, penulisnya seorang yang tahu persis seluk-beluk perbankan. Dan lengkap menyebutkan pejabat-pejabat yang terlibat. Tembusannya diteruskan ke berbagai instansi pemerintah di tingkat pusat Yoyo pusing. Yang sedikit melegakan Yoyo ialah ketika A Hie belakangan mau mengakui hutangnya. Empat buah pintu tokonya yang baru selesai 40% pembangunannya, dijadikan jaminan seharga Rp 28 juta. Apa kalau sudah begitu urusan jadi selesai? Kisah Sorta dan Elon Penduduk Kabupaten Asahan di Sumatera Utara heboh. Juara nyanyi daerah mereka, Sorta boru napitupulu, seorang siswi perawat Rumah Sakit Umum (RSU) Kisaran dan mewakili daerah itu pada festival Pop Singer 1978 se Sumatera Utara di Medan, dilarikan seorang narapidana yang buron dari penjara. Polisi, bulan lalu, berhasil mengirim Sorta kembali ke rumah keluarga Napitupulu, dua hari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Hanya narapidana yang membawanya kabur, A. Anwari alias Elon (31), hingga kini masih buron. Bukan hanya dara Sorta saja yang dikenal penduduk Kisaran. Nama Elon, narapidana yang tengah menjalani hukuman sekitar 6 bulan lagi itu, juga pernah menjadi buah bibir. Dia adalah bekas pegawai Bank Bumi Daya (BBD), dihukum 2 tahun penjara karena menggerogoti uang bank sekitar Rp 17 juta (30 Juli 1977). Waktu itu Elon dan teman sekerjanya, Zainal Abidin Nasution (28), berniat menggasak uang BBD tempat mereka bekerja. Mula-mula mereka menghubungi Ramli Khatib, pengusaha toko buku, nasabah BBD yang mempunyai aktivitas perbankan baik. Ramli dibujuk agar memperbolehkan mereka ikut mempergunakan rekening koran banknya. Alasannya, baik kata Elon maupun Zainal, ada seorang kontraktor perkebunan yang mempunyai banyak uang namun enggan membuka rekening sendiri. Tentu saja belakangan diketahui kontraktor perkebunan itu hanya nama kosong. Ramli sendiri, karena merasa tak mungkin diperdaya kedua pegawai bank yang cukup punya nama di Kisaran, tak keberatan rekening korannya digunakan. Hingga sejak Maret 1974, Elon dan Zainal mulai menggerogoti uang BBD. Pertama kali Zainal, petugas yang dekat dengan urusan rekening koran nasabah menuliskan angka Rp 1 juta dalam rekening Ramli sebagai setoran. Tentu saja itu setoran fiktif. Agar setoran itu tercatat dalam buku besar giro dan seolah-olah ada setoran uang yang sebenarnya. Tugas Elon: mengotak-atik angka-angha pada buku besar giro, dengan cara mengurangi uang komisi atau bunga sedemikian rupa, sehingga kloplah pembukuannya dengan rekening koran yang telah digarap Zainal sebelumnya. Setelah beres dengan setoran kosongnya, keduanya berhasil juga mengeluarkannya kembali dalam bentuk uang tunai dengan menggunakan lembaran cek yang diminta dari Ramli. Begitu terjadi berulang kali, antara Maret 1974 s/d Nopember 1976, sampai 50 kali, sehingga uang BBD sebanyak Rp 16.839.808 tersedot. Pekerjaan Elon dan Zainal akhirnya terbongkar ketika salah seorang pegawai BBD menggantikan jabatan Elon dan mengetahui ketidakberesan pembukuannya. Sebenarnya telah ada usaha pihak BBD untuk menutup penyelewengan Elon dan Zainal. Asal kedua oknum tersebut mau mengembalikan uang yang pernah mereka sikat -- bagaimanapun caranya. Namun Elon, yang sebelumnya menyanggupi syarat itu, ternyata menggunakan kesempatan yang diberikan atasannya untuk kabur dari Kisaran. Rumahnya, yang ternyata telah dianggunkan untuk memperoleh pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia, ditinggalkan kosong. Kejaksaan pun bertindak. Zainal tak sulit diurus jaksa. Pun Elon sendiri akhirnya dapat dibekuk, ketika dalam pelariannya ia mencoba menghubungi pimpinan BBD Kisaran, I Gusti Ngurah Anaya, untuk membujuk jalan damai. Untungnya Anaya tak mau diperdaya. Elon ditangkap. Jaksa akhirnya membawa Elon, Zainal dan Arsyad Nasution ke pengadilan. Yang belakangan ini diseret oleh jaksa dengan tuduhan mendalangi kegiatan kedua rekannya. Kedua tertuduh pertama mengakui semua perbuatan mereka. Tapi Arsyad tak mau dituduh mendalangi. Penyelewengan Elon dan Zainal, menurut Arsyad, bisa terjadi karena kelalaian petugas bank lainnya. Bukankah untuk 50 kali setoran kosong yang dibuat Elon dan Arsyad itu setidaknya telah diketahui dan diteken oleh 18 petugas BBD selain Arsyad Arsyad juga mengungkapkan ketidakberesan administrasi BBD Kisaran dan kelalaian pimpinan mengontrol bawahan. Dikatakannya, Anaya sendiri selalu sibuk main golf keluar kota tanpa seizin atasan di Jakarta sebagaimana mustinya. "Saya hanya tumbal saja," begitu ujar Arsyad kepada hakim. Tapi keterangan Elon dan Zainal cukup melibatkan Arsyad. Katanya, mereka sengaja menarik Arsyad sebagai pelindung, untuk menghadapi kemungkinan terbongkarnya kegiatan mereka. Hal itu mereka lakukan, katanya, hanya mencontoh seperti apa yang dilakukan petugas BBD bernama Ali Amran yang dituduh pernah menggaet uang BBD Rp 20 juta. Tapi perkaranya berhasil ditutup, kata Elon maupun Zainal, "karena pak Arsyad yang mengurus." Arsyad membantah. Siapa yang benar dalam hal itu, tak jelas. Yang pasti kasus Ali Amran memang tak muncul di tengah masyarakat. Yang bersangkutan hanya terkena tindakan administratif: dipecat! Majelis hakim yang dipimpin oleh Tambunan, 27 Juli lalu tetap menganggap ketiganya terbukti bersalah. Mereka masing-masing dihukum penjara 2 tahun. Sebagai Pasien Belum selesai. Sebagai narapidana Elon diperlakukan sangat istimewa. Bahkan ketika masih berstatus tahananpun ia sudah diperlakukan berlebihan. Mulamula ia memang ditahan di penjara. Tapi entah bagaimana caranya, ia dipindahkan dari penjara Pulau Simardan di Tanjung Balai ke Rumah Sakit Umum Kisaran. Sakit apa? Entahlah. Tapi banyak orang melihat tahanan alias pasien istimewa ini berkeliaran di kota dan pulang ke rumah di malam hari. Di RSU pun Elon membuat skandal. Dia (telah beristeri dan beranak, yang semuanya diungsikan ke Tasikmalaya Jawa Barat pernah digerebek dan tertangkap basah oleh sejumlah pemuda, ketika bermesraan dengan siswi perawat Sorta Napitupulu di belukar samping rumahsakit. Itulah yang menyebabkan Elon harus kembali ke penjara Pulau Simardan. Tapi Elon rupanya tak jera. Pagi itu, 21 Agustus jam 06.00 pagi, ia sudah meninggalkan penjara bersama pengawalnya, Sianturi. Alasannya hendak kembali berobat ke ISU. Sampai di Kisaran pegawai penjara yang mengawalnya dan seharusnya tetap mengawal Elon berobat, ternyata melepasnya begitu saja. Sianturi sibuk mengurus bibit cengkeh. Sorenya, dekat maghrib, barulah Sianturi sadar akan kekeliruannya. Elon tak muncul di tempat pertemuan yang telah disepakati untuk kembali ke Pulau Simardan. Padahal polisi Kisaran sejak jam 11 siang sudah mulai memburu Elon. Yaitu atas laporan keluarga Napitupulu yang kehilangan anak perawannya. Untungnya polisi tak sukar menjejaki. Dari keterangan orang di pangkalan taksi Kisaran jejak Elon ketahuan. Polisi berhasil menemukan Sorta di sebuah rumah di Jalan Singamangaraja Kisaran. Tapi Elon lolos. Sorta Napitupulu ternyata memang secara sukarelahendak mengikuti pelarian Elon. Setidaknya ia merasa terbujuk oleh janji manis sang pacar Elon hendak mengorbitkannya menjadi penyanyi top di Jakarta kelak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus