DUNIA dibagi tiga, menurut Peking. Bersenjatakan strategi ini
RRC pun membuat serentetan gebrakan di forum internasional.
Pendekatan dengan Amerika bertambah penting, walau masalah
Taiwan sebagai ganjelan utama belum ada jalan keluarnya. Dengan
'jurus-jurus belut," Hua Kuo-feng berhasil menyusup di
sela-sela kangkangan Uni Soviet di Fropa Timur. Baru-baru ini
Hua datang berkunjung ke Rumania, Yugoslavia dan Iran. Di
Rumania dan Yugo Hua menyerukan kedua negara itu buat
menjalankan politik yang lebih bebas lagi dari apa yang
didiktekan Moskow.
Gebrakan lain yang membuat Peking berada di atas angin adalah
penanda-tanganan perjanjian persahabatan Cina-Jepang. Setelah
sekian lama mandeg, akhirllya perjanjian itu gol juga. Berhasil
ditanda-tanganinya perjanjian itulah, menurut para pengulas,
yang jadi dorongan utama kepada Hua untuk mengadakan perjalanan
muhibah ke Eropa Timur dan Iran itu.
Yang jadi rintangan utama pada mulanya adalah pasal "anti
hegemoni" yang dipaksakan oleh Cina untuk dimasukkan sebagai
salah satu bagian dari perjanjian itu. Jepang dengan alasan tak
mau mencari setori dengan negara lain -- maksudnya Uni Soviet --
menolak usul Cina. Tokyo sangat takut kalau kata-kata tabu itu
menyinggung perasaan beliau-beliau yang berada di Moskow. Dan
memang Rusia pun sudah lama curiga kalau Jepang dan Cina akan
bersekutu secara militer melawan dia. Karena buat Moskow pun
sudah gamblang apa yang dimaksudkan Cina dengan "kaum hegemonis"
itu.
Tapi buat Jepang bukan itu saja soalnya. Beberapa kalangan di
Tokyo punya perasaan tak senang pula akan istilah hegemoni itu.
Menurut perasaan mereka istilah itu bisa juga diterapkan kepada
Jepang. Karena sudah jadi rallasia umu bahwa buat Asia Jepang
adalah kaum hegemonis ekonomi.
Namun akhirnya ternyata halangan itu berkat kemauan kedua belah
pihak berhasil juga dikompromikan. Disebutkan bahwa perjanjian
itu tidak berpengaruh terhadap hubungan antara Jepang dan Cina
dengan negara ketiga lain. Untuk Jepang ini penting karena tidak
secara khusus dihubungkan dengan Uni Soviet. Cina pun puas.
Karena semua orang pun tahu bahwa buat Peking perjanjian
persahabatan Peking-Jepang adalah untuk menghadapi Moskow.
Di bidang diplomasi Peking berhasil membuat kejutan kejutan yang
cukup mengesankan. Tapi bagaimana keadaan dalam rumah tangganya
sendiri?
Kepada dunia luar, Peking selalu menunjukkan betapa akurnya
triumvirat yang berkuasa sekarang: Hua Kuo-feng, Teng Hsiao-ping
dan Yeh Chien-ying. Ketiganya sudah seia-sekata buat melejitkan
RRC sebagai negara modern di tahun 2000 nanti.
Namun, dari pembacaan dokumen-dokumen partai, pidato para
pemirnpin dan berita yang diterima dari daratan Cina, ada
indikasi yang menunjukkan adanya garis pemisah antara para
pemimpin RRC sekarang. Khususnya antara para pemimpin yang
pernah jadi korban Revolusi Kebudayaan 13 tahun yang silam
dengan mereka yang selarnat dari gerakan massa besar-besaran
itu.
Tegasnya, kalau mau menyebut nama, ada pertentangan cukup tajam
antara Hua Kuo-feng, sebagai ahli waris Mao, dengan Teng
Hsiao-ping, sebagai pemuka orang-orang yang pernah jadi korban.
Isyu penting tidaknya Revolusi Kebudayaan merupakan masalah
utama yang dipertentangkan, sampai sekarang ini. Dtwasl ini,
menurut berbagai berita yang didapat dari daratan Cina, kampanye
mengganyang "Komplotan Empat" masih berjalan terus dengan
gencar. Dan ini malahan diperhebat lagi dosa Chiang Ching cs.
dihubungkan dengan tokoh Lin Piao dan Revolusi Kebudayaan.
Dihubungkannya nama Lin Piao dengan Revolusi Kebudayaan dan
"Komplotan Empat" ini, katanya dijalankan oleh Teng Hsiao-ping
dan para pengikutnya. Ini untuk menunjukkan betapa salahnya
Revolusi Kebudayaan itu. Karena ka1au bukan kesalahan, kenapa
sekarang Teng bisa berkuasa kembali? Itulah kira-kira
argumentasi Teng untuk mencuci diri, dan menerangkan bahwa
kejatuhannya di masa lalu hanyalah karena kekeliruan. Teng
bahkan merehabilitir banyak orang dan kader terkemuka yang dulu
dipecat karena "kekeliruan" Revolusi Kebudayaan.
Bual Hua, sebagai orang yang dipilih oleh Ketua Mao pribadi
untuk meneruskan "semangat Yenan" dan kepemimpinannya, hal itu
tentu saja tak bisa diterima. Hua berkali-kali mengingatkan,
keadaan Cina yang lebih baik seperti sekarang ini tak lain dari
hasil Revolusi Kebudayaan. Bagi Hua, biarlah Chiang Ching
dengan "Komplotan Empat"-nya dan Lin Piao dengan
pengkhianatannya dilupakan dan ditelan sejarah.
Sebaiiknya, buat Teng menunjukkan betapa kelirunya masa lalu
sangat penting. Ia ingin namanya bersih kembali. Dua kali ia
dihinakan, dan ini tak bisa dilupakan begitu saja.
Walau bagaimana pun orang-orang yang mengendalikan pemerintahan
di RRC itu bukanlah semata-mata mesin politik belaka. Mereka
pun, seperti halnya kita yang ada di luar Tembok Besar, adalah
manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging dengan segala
emosi-emosinya.
Sementara itu ada lagi serentetan masalah lain yang jadi bahan
pertentangan Hua dengan Teng. Itu berkisar di sekitar politik
luar negeri, kepemimpinan partai, politik ekonomi, bagaimana
sikap terhadap ajaran-ajaran Mao dan macam-macam lagi. Para
pengamat daratan Cina beranggapan hal-hal yang dipertentangkan
di atas suatu saat bisa saja meledak. Apalagi kalau beleid yang
dijalankan sekarang oleh Teng dan lawan-lawannya yang memegang
batang kemudi, mengalami 1 kegagalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini