Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Artis Sisca Dewi mengaku sulit mendapatkan pembebasan bersyarat. Narapidana yang dihukum atas kasus pemerasan terhadap seorang jenderal polisi ini juga mengaku mengalami diskriminasi selama menjalani hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya merasa kepulangan saya terus dihalangi," kata Sisca kepada Tempo dalam beberapa kali komunikasi dengan Tempo sejak akhir Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sisca sebelumnya divonis empat tahun penjara subsider tiga bulan kurungan, berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada Agustus 2019 atas kasasi yang dia ajukan. Hukuman ini lebih berat ketimbang putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonisnya tiga tahun penjara subsider tiga bulan kurungan, dan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukumnya 3,5 tahun penjara.
Pengadilan menilai Sisca terbukti memeras petinggi Kepolisian Republik Indonesia, Bambang Sunarwibawa, yang ketika itu berpangkat Inspektur Jenderal. Bambang kini berpangkat sebagai Komisaris Jenderal dan bertugas sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara.
Kasus bermula ketika Sisca menyampaikan kepada publik bahwa ia telah menikah dengan Bambang secara siri. Sisca mengklaim pernikahan digelar di Ancol, Jakarta Utara pada 17 Mei 2017. Sisca sempat mengunggah kedekatannya dengan Bambang di akun Instagramnya.
Bambang Sunarwibowo membantah pernah menikah siri dengan Sisca. Dia lantas melaporkan Sisca ke polisi atas pencemaran nama baik. Sisca ditangkap berdasarkan surat perintah penangkapan dari Direktorat Tindak Pidana Siber yang berlaku 10-11 Agustus 2018.
Awalnya, sejak Agustus 2018, Sisca ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Agustus 2019, dia dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas II, Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Setahun kemudian atau Agustus 2020, dia dioper ke Lapas Perempuan Klas IIA, Semarang, Jawa Tengah.
Sisca bercerita, ia terus dikenakan "register F" alias masuk dalam daftar narapidana yang melakukan perbuatan pelanggaran. Menurut Sisca, dia dianggap menggunakan telepon seluler di dalam lembaga pemasyarakatan.
"Padahal tidak pernah ditemukan barang bukti dan tak pernah tertangkap tangan," ujarnya.
Status register F inilah yang mempersulit Sisca mendapatkan pembebasan bersyarat. Perempuan yang sebelumnya berprofesi sebagai penyanyi dangdut ini bercerita, dia sempat mengurus pembebasan bersyarat saat ditahan di Lapas Sukamiskin. Apalagi pemerintah menggelar program remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat demi mengurangi jumlah tahanan di masa pandemi Covid-19.
Jika permohonan itu lolos, ia sedianya sudah bisa bebas bersyarat pada Januari 2021. "Sampai sidang tinggal tunggu SK, tapi saya dihambat lagi dengan register F sampai Agustus 2021. Saya dioper ke Semarang," kata Sisca.
Sisca merasa dirinya mengalami diskriminasi dalam menjalani hukuman. Selain ihwal pembebasan bersyarat dan status register F, Sisca mengatakan pemindahan dirinya secara terus-menerus cukup menyusahkan. "Bagi seorang napi itu enggak enak, harus adaptasi dengan tempat baru. Itu tekanan psikis buat saya," ujarnya.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Syafar Pudji mengaku mendapat laporan ihwal permasalahan Sisca. Namun Syafar yang baru menjabat pada awal Januari 2021 ini membantah pihaknya mempersulit pengajuan pembebasan bersyarat.
"Pada dasarnya kami enggak pernah mempersulit dengan masalah pembebasan bersyarat, selama mengikuti ketentuan yang ada," kata Syafar kepada Tempo, Rabu, 27 Januari 2021.
Syafar mengklaim Kanwil Kemenkumham Jawa Barat tengah menelusuri pengaduan tersebut. Kata dia, hasil penelusuran itu akan menjadi bahan masukan bagi Lapas Perempuan Semarang, Jawa Tengah. Meski begitu di sisi lain dia menilai pengaduan Sisca itu bentuk ketidakpuasan saja.
Baca juga: Fakta-fakta Soal Kasus Sisca Dewi
Sisca mengaku telah melapor ke sejumlah lembaga terkait dugaan dipersulitnya pembebasan bersyarat yang dia ajukan. Seperti ke Ombudsman RI, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Kepala Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana mengatakan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas pengaduantelah rampung dan dikirimkan kepada Sisca dan ayahnya melalui surat pada 22 Januari 2021. Namun Dan tak mau merinci isi LAHP tersebut.
"Saat ini saya pribadi baru bisa mengatakan, bahwa kami menyampaikan rincian hasil pemeriksaan kepada pelapor dan terlapor," kata Dan melalui pesan singkat, Rabu, 27 Januari 2021.
Komnas Perempuan mengakui menerima pengaduan Sisca pada Januari 2020. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, lembaganya menerbitkan surat rekomendasi pada 22 Januari 2020 untuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat.
Rekomendasi itu pada intinya meminta Kepala Lapas mencegah terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam proses pembinaan. Komnas juga meminta tak ada sanksi terhadap Sisca, mengingat penyampaian keluhan itu dilindungi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasayrakatan.
Siti mengatakan Komnas belum mendapatkan jawaban atas rekomendasi itu. Justru pada Desember 2020, keluarga Sisca kembali mengadukan kesulitan memperoleh pembebasan bersyarat. Komnas pun mengirimkan surat permintaan klarifikasi dan informasi pada 20 Januari 2021 kepada Kalapas Sukamiskin dan Kalapas Semarang.
"Kami mengharapkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Jawa Barat dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Semarang dapat segera memberikan informasi dan klarifikasi agar tidak terjadi pelanggaran hak WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan)," kata Siti soal pengaduan Sisca Dewi kepada Tempo, Selasa, 26 Januari 2021.