HAKIM-hakim bagai tak henti-hentinya terkena isu suap. Kali ini aib itu menimpa hakim-hakim di Pengadilan Negeri Cirebon. Majelis hakim yang diketuai Soerpadjoe kini dituduh telah melakukan permainan "kumuh" dalam perkara penyelewengan Rp 16 milyar di Pertamina Cirebon dengan terdakwa Utama Luki dan Hari Gunawan. Berkat uang suap Rp 13 juta -- untuk hakim, jaksa dan pejabat LP -- konon kedua terdakwa dihukum pas masa tahanan 4 dan 3 bulan penjara. "Kami punya data kuat, vonis itu memang sudah diatur sehingga klop dengan masa tahanan," kata Rachmat Hasyim, salah seorang anggota Angkatan 45 Cirebon, yang melaporkan permainan itu ke DPR Sesdalopbang Solihin G.P., dan Tromol Pos 5000. Akibat pengaduan Angkatan 45 Cirebon itu, akhir bulan lalu lima orang anggota FKP DPR, yang dipimpin Taufik Hidayat, turun ke Cirebon mengusut kasus tersebut. Kasus penyelewengan di Pertamina Unit Eksplorasi dan Produksi (UEP) III Cirebon itu sejak semula memang telah menimbulkan kecurigaan. Perkara yang sudah lima tahun disidik polisi itu baru bisa sampai ke pengadilan setelah Angkatan 45 Cirebon mengadu ke Tromol Pos 5000, yang dibuka Wakil Presiden Sudharmono. Di persidangan Juni lalu, kedua pengusaha itu terbukti, antara tahun 1981 dan 1983, menadah alat-alat berat hasil curian, bekerja sama dengan oknum Pertamina UEP III Cirebon. Peralatan hasil curian itu, setelah diperbaiki, mereka jual kembali ke Pertamina dengan harga yang tinggi. Akibat permainan kotor itu, perusahaan negara itu dirugikan sekitar Rp 16 milyar. (TEMPO, 21 Mei 1988). Kendati kedua terdakwa sudah diadili, rupanya Angkatan 45 Cirebon masih tak puas. Sebab, sampai Utama dan Hari divonis, rekan mereka dua pengusaha lainnya, yang diduga ikut terlibat bisnis barang curian tadi, tak kunjung diadili. Selain itu, pihak penegak hukum tak pula mengadili karyawan Pertamina yang dianggap bekerja sama dengan para penadah itu. Kekecewaan Angkatan 45 itu semakin memuncak setelah majelis hakim hanya memvonis kedua terdakwa dengan hukuman yang pas masa tahanan. Rachmat Hasyim, dari Angkatan 45 Cirebon, mengungkapkan beberapa hari menjelang vonis, berlangsung sebuah pertemuan yang diprakarsai seorang pengusaha, Ulfana Muradi -- wakil dari Utama Luki, di Hotel Kharisma, Cirebon. Pada pertemuan yang juga dihadiri tiga wartawan itu, konon Ulfana berucap, "Pemberian uang untuk jaksa, hakim, dan LP sudah saya atur agar vonisnya sesuai dengan permintaan kita." Untuk jaksa dan hakim, kata sumber yang enggan disebut namanya ini, diberi Ulfana masing-masing Rp 6 juta dan Rp 5 juta. Sementara itu, pihak LP yang ikut mengurusi penangguhan penahanan kebagian Rp 2 juta. Tuduhan itu tentu saja belum tentu benar. Anggota FKP DPR, Taufik Hidayat, yang meneliti tuduhan itu, ketika dihubungi TEMPO pekan ini, mengajukan teka-teki menarik. "Sebagai BUMN vital, seharusnya Pertamina mencegah terulangnya peristiwa seperti itu." kata Taufik, yang meminta agar kalimatnya itu ditafsirkan sendiri. Rekannya, Maska Ridwan, lebih tegas membantah tuduhan itu. "Tuntutan jaksa dan vonis hakim sudah wajar. Apalagi barang buktinya hanya bernilai Rp 7 juta," katanya. Hakim Soepardjoe juga membantah tuduhan tersebut. "Itu fitnah. Saya tak kenal Ulfana," kata Soepardjoe, yang juga menjabat Ketua Pengadilan Negeri Cirebon. Vonisnya terasa ringan, katanya, karena barang-barang yang ditadah kedua pengusaha itu hanya bernilai Rp 5 juta. "Kami tidak memeriksa perkara korupsi Rp 16 milyar seperti yang diributkan di luar sidang," katanya. Kepala Pertamina UEP III Cirebon Wongkaren E.M., tak terlalu peduli dengan isu suap itu. "Biarlah yang berwenang yang membuktikan ada-tidaknya suap. Buat kami, yang penting persoalan itu sudah selesai. Karyawan yang terlibat juga sudah ditindak, ada yang dipecat, ada yang terkena sanksi indisipliner," kata nya. Hp. S. dan Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini