SEPERTI telah diduga, Pengadilan Negeri Semarang akhirnya mengesahkan kegiatan judi buntut sebagai kejahatan subversi. Majelis hakim yang diketuai Soehoedi, Kamis pekan lalu sesuai dengan tuntutan jaksa - memvonis tiga orang pengedar lotere buntut yang membonceng undian resmi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah), Nyonya Tjio Giok Nio, Koo Tek Djong, dan Ahmad Sogol, dengan hukuman antara 2 tahun 6 bulan dan 3 tahun penjara. Perbuatan ketiga pengedar judi buntut itu, menurut majelis hakim, terbukti me rongrong program pemerintah dalam mengumpulkan dana olahraga melalui SDSB. Gara-gara judi buntut, katanya, omset SDSB di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta awal tahun ini, misalnya, cuma mencapai 40o dari target. "Perbuatan mereka mengakibatkan omset SDSB menurun," kata Hakim Soehoedi. Vonis Soehoedi itu tercatat sebagai vonis hakim pertama yang menggolongkan kegiatan judi buntut sebagai pidana subversi, sesuai dengan Keppres 133/1965. Tapi, ketika itu, tak seorang pun pengedar lotere buntut yang benar-benar divonis subversi. Bahkan keppres itu seakanakan tak pernah ada, sampai Presiden Soeharto pada 8 Desember lalu menginstruksikan agar judi buntut ditindak tegas dengan undang-undang subversi. Sebab, selain mengganggu peredaran kupon SDSB resmi, perjudian itu sudah meresahkan masyarakat luas. Untuk melaksanakan Instruksi Presiden itulah Jaksa Agung membentuk tim pemberantas judi buntut dengan kode Tim Operasi 812. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono menganggap kegiatan judi buntut gelap sudah terhitung sabotase ekonomi yang merongrong perekonomian negara. "Titik berat pembangunan kan di bidang ekonomi. Siapa saja yang merongrong perekonomian negara, langsung ataupun tidak, bisa dikategorikan subversi," kata Sukarton (TEMPO, 3 Juni 1989). Tim yang melibatkan berbagai instansi itu segera menggulung bandar-bandar buntut di berbagai kota. Salah satu dari hasil operasi tim itu adalah tertangkapnya Nyonya Nio, 34 tahun, Djong, 31 tahun, dan Sogol, 45 tahun, pada awal Februari lalu. Dua dari ketiga orang itu sejak 1987 telah mengedarkan kupon buntut seharga Rp 50 sampai Rp l.000 - lebih murah ketimbang kupon SDSB, yang berharga Rp 1.000 sampai Rp 5.000. Padahal, lotere gelap itu diundi berdasarkan dua sampai empat angka terakhir dari nomor undian SDSB. Di persidangan, Nyonya Nio, yang hanya mengenakan sandal jepit, mengaku mengedarkan "bisnis" buntut itu hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Itu pun, katanya, baru dilakukan dalam empat kali undian, antara Januari dan Februari lalu. Sebab itu, pengacara Nyonya Nio, Saksono Yudhiantoro, menganggap tuduhan subversi tak tepat ditimpakan terhadap kliennya. Kalaupun harus diadili, katanya, kliennya itu paling banter didakwa dengan pasal judi dalam KUHP dan Undang-Undang Perjudian Tahun 1974. "Kegiatannya sama sekali tak punya latar belakang politik," ujar Saksono. Nyonya Nio dan kawan-kawan agaknya memang menjadi "kelinci percobaan" kejaksaan dalam rangka menguji undang-undang berat itu untuk judi buntut. Sebab, seorang bandar buntut di Banjarmasin, Sehat Sukandar Indra, Kamis dua pekan lalu hanya divonis 7 bulan penjara berdasarkan KUHP dan undang-undang judi. Begitu pula tiga pelaku judi buntut di rl asikmalaya, Jawa Barat, Ade bin Culiang, Ade Bongkok, dan Ocin, yang kini dituntut hukuman antara 6 dan 18 bulan penjara. Tapi, itu tadi, majelis hakim dalam kasus Nyonya Nio ternyata lebih sependapat dengan jaksa. Menurut majelis, delik subversi tidak harus berhubungan dengan politik praktis, tapi juga menyangkut poliical will pemerintah. Perbuatan para terdakwa, kata majelis, jelas-jelas merongrong kebijaksanaan pemerintah lewat SDSB. Selain itu, kata majelis, "bisnis" lotere buntut itu berdampak negatif terhadap kehidupan sosialekonomi-budaya masyarakat. Sebab, para pembeli kupon buntut, yang kebanyakan masyarakat ekonomi lemah, menjadi resah dan kecanduan karena terus-menerus mengharap tebakan buntutnya bakal cocok. Jaksa Agung Sukarton tentu saja menyambut gembira vonis subversi itu. "Berarti ada kesamaanpersepsi antara jaksa dan hakim," ujarnya. Adapun soal tidak semua pelaku judi buntut dijaring dengan tuduhan subversi, menurut Sukarton, itu harus dilihat kasus per kasus dan tergantung besar-kecilhya omset "bisnis" para terdakwa. Kendati begitu, Pengacara Saksono tetap keberatan atas vonis Soehoedi itu. "Kalau dianggap meresahkan masyarakat, SDSB kan juga judi. Sekarang tukang becak pun kecanduan SDSB," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini