PRESIDEN Abdurrahman Wahid akhirnya menyamai rekor presiden-presiden sebelumnya, yakni menjadi tergugat. Gugatan perdana terhadap presiden itu pekan-pekan ini ditangani Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Perkaranya menyangkut keputusan bawahan presiden, yaitu menteri penerangan, dalam soal izin penyiaran televisi swasta.
Mungkin karena gugatan perdana, perkara itu menjadi bolak-bolik antara PTUN dan penggugat, Teuku Syahrul. Penggugat adalah Direktur Utama PT Dian Gema Mitra Guna, pemilik televisi swasta Mitra-TV. Tentu saja proses bolak-balik itu bukan lantaran Mitra-TV takut menggugat presiden, melainkan lebih karena sulit menentukan siapa tergugatnya.
Soalnya, yang digugat adalah keputusan menteri penerangan, ketika dijabat oleh Mohammad Yunus Yosfiah, pada 12 Oktober 1999, tentang izin lima televisi swasta. Sebagaimana diketahui, jabatan menteri penerangan berikut instansinya, yaitu Departemen Penerangan, sudah ditiadakan alias dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ini berarti tertutup peluang untuk mencantumkan menteri penerangan selaku tergugat.
Kalau demikian, tergugatnya, ya, pemerintah Republik Indonesia. Tapi opsi itu tak diterima PTUN. Alasannya, berbeda dengan perkara perdata, perkara PTUN mengharuskan adanya pejabat atau badan TUN selaku tergugat. Kalau begitu, mengapa bukan presiden selaku atasan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah saja yang digugat?
Sebelum terlalu jauh, baiklah duduk perkaranya ditelusuri lebih dulu. Semasa Presiden B.J. Habibie berkuasa, pemerintah membuka keran perizinan televisi swasta. Namun, karena saluran atau frekuensinya mesti dibatasi, hanya lima televisi swasta yang akan diberi izin. Dan sebelum itu, sudah pula beroperasi lima stasiun televisi swasta, yakni RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan AN-Teve.
Sewaktu keran dibuka, ada 15 calon stasiun televisi swasta yang bersaing memperebutkan jatah lima izin tersebut. Agar bisa lolos seleksi, 15 calon itu diuji berdasarkan tiga kriteria, yaitu modal dan rencana usaha, teknik dan program, serta organisasi dan manajemen. Berdasarkan tiga kriteria itu, dilakukanlah analisis kuantitatif untuk menentukan lima calon peraih skor tertinggi.
Hasilnya, muncul lima stasiun televisi swasta penerima izin. Mereka adalah PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans-TV, milik Chaerul Tanjung), Mitra-TV, PT Pasaraya Mediakarya (PR-TV, milik Abdul Latief), PT Duta Visual Nusantara (DVN-TV, milik Sukoyo), dan PT Global Informasi Bermutu (Global-TV, milik Nasir Tamara).
Belakangan, formasi lima besar itu dikaji kembali oleh tim evaluasi, yang beranggotakan 13 orang, masing-masing dari Departemen Penerangan dan Departemen Perhubungan. Ternyata, urutan lima besar tadi berubah. Posisi Mitra-TV, yang semula di urutan kedua, menjadi berada di urutan ketujuh. Ia tergusur oleh PT Media Televisi Indonesia (Metro-TV, milik Surya Paloh), yang pada evaluasi pertama berada di urutan kesepuluh.
Kabarnya, perubahan urutan lima besar itu lantaran adanya protes dari Surya Paloh. Bos koran Media Indonesia itu menyatakan keberatan dengan proses evaluasi pertama, yang dianggapnya tidak fair.
Yang jelas, Mitra-TV sempat mengajukan keberatan atas perubahan formasi yang amat merugikannya itu. Namun, sikap pemerintah tak berubah. Buktinya, pada 12 Oktober 1999, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengeluarkan keputusan izin prinsip bagi Trans-TV, Metro-TV, PR-TV, DVN-TV, dan Global-TV.
Mitra-TV tentu saja tak bisa menerima. Ia menganggap keputusan itu mengandung unsur kesewenang-wenangan karena bernuansa kolusi dan intervensi. Karena itu, Mitra menuntut agar PTUN membatalkan keputusan tersebut. Mitra juga meminta pemerintah menerbitkan izin baru dengan mencantumkan namanya.
Diperkirakan, tuntutan serupa akan dilayangkan oleh beberapa calon lain yang juga merasa dirugikan oleh keputusan tadi. Calon lain itu di antaranya PT MBM Telesindo Prima Lestari (MBM-TV, milik Zainal Mustaqiem Burhan) dan PT Cakrawala Tiara Kencana (Cakrawala-TV, milik M.S. Ralli Siregar).
Namun, mantan Menteri Penerangan Mohammad Yunus Yosfiah menyatakan bahwa proses seleksi itu sudah adil dan obyektif. "Tidak ada kolusi, apalagi karena kehendak saya, dalam membuat keputusan izin itu," katanya. Menurut Yunus, pengambilan keputusan itu berdasarkan pertimbangan dari tim evaluasi dan Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan—waktu itu I.G.K. Manila.
Hal senada diutarakan Pemimpin Proyek Metro-TV, Sumita Tobing. Menurut dia, proses pengambilan keputusan izin tersebut sudah fair. Dia juga menganggap tuduhan Metro-TV berkolusi terhitung fitnah. "Kami sudah mengikuti semua prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku," katanya.
Karena itu, Metro-TV tak sedikit pun merasa khawatir dengan gugatan Mitra-TV. "Kami berani menantang: siapa sebetulnya yang paling siap menyediakan modal Rp 400 miliar? Juga kesiapan personel, program, dan lainnya?" ujar Sumita.
Sejak awal, Juli 1998, kata Sumita, Metro-TV-lah satu-satunya calon televisi yang ada. Setelah Metro-TV mengajukan permohonan izin, kemudian melakukan survei dan memperoleh jatah frekuensi dari Departemen Perhubungan, pada Oktober 1998, baru terdengar ada beberapa calon televisi swasta yang lain. Toh, dari hasil seleksi tim evaluasi, tutur Sumita, akhirnya Metro-TV yang berada pada urutan pertama.
Itu sebabnya Nasir Tamara dari Global-TV tidak setuju bila keputusan itu sampai dibatalkan PTUN. "Kalau sampai dibatalkan, itu bisa membuat investor asing semakin tidak memercayai iklim bisnis di Indonesia," kata Nasir. Kasus Bank Bali sudah berdampak buruk bagi investasi asing, apalagi bila itu terjadi pada bisnis media massa.
Persoalannya: tepatkah presiden dicantumkan sebagai tergugat dalam perkara itu? Pengacara Teuku Syahrul dari Mitra TV, Sidartha Pratidina, berpendapat bahwa hal itu sudah tepat. Alasannya, dari segi hukum tata negara, dalam hal ini sistem pemerintahan, bila pejabat TUN (menteri penerangan) yang digugat sudah tak ada, tentu tanggung jawab pejabat itu beralih kembali kepada presiden selaku atasan pejabat itu.
Lagi pula, kata Sidartha, presiden pula yang berwenang membentuk ataupun membubarkan instansi TUN pejabat tersebut. Dan presiden sebagai kepala pemerintahan, karena jabatannya (ex officio), sudah sewajarnya bertanggung jawab terhadap keputusan pemerintah sebelumnya.
Ternyata, setelah melampaui prosedur dismissal (penentuan layak-tidaknya suatu perkara menjadi obyek gugatan PTUN), majelis hakim yang diketuai Yulius di PTUN Jakarta bisa menerima dalil penggugat. "Secara administratif, karena menteri penerangan sudah tidak ada, tanggung jawabnya ke atas, ke presiden," kata Yulius.
Dan Yulius menambahkan bahwa pemerintahan bersifat satu kesatuan, yakni presiden berikut para menteri selaku pembantu presiden. Berdasarkan hal itu, proses gugatan tersebut kini sudah memasuki tahap pemeriksaan persiapan untuk disidangkan di PTUN.
Namun, menurut mantan hakim tinggi di PTUN, Benjamin Mangkoedilaga, tanggung jawab seorang menteri, yang jabatan dan instansinya dilikuidasi, tak bisa mengalir kembali ke presiden. Sebab, presidenlah yang awalnya mewariskan tugas dan tanggung jawab kepada menteri dimaksud. Jadi, "Gugatan itu tak bisa ditujukan kepada presiden," kata Benjamin, yang santer disebut-sebut menjadi calon ketua Mahkamah Agung.
Mungkin argumentasi Benjamin berangkat dari teori yang menyatakan bahwa begitu seorang pejabat TUN telah diberi wewenang hukum publik untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan, berdasarkan peraturan perundang-undangannya, pejabat itu juga bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang dilakukannya dalam melaksanakan wewenang tersebut.
Karena itu, mestinya gugatan Mitra-TV dialamatkan kepada pihak yang mewarisi, pengganti, ataupun pelaksana tugas Departemen Penerangan sekarang. Itu berarti Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) sebagai pengganti Departemen Penerangan yang mestinya menjadi tergugat. Lembaga yang bertugas di bidang pelayanan informasi dan komunikasi nasional itu dibentuk presiden setelah melikuidasi Departemen Penerangan.
Kali ini, mantan Direktur Jenderal Penerangan Umum Departemen Penerangan, Soedarjanto, yang tak sependapat. Sebab, katanya, kedudukan dan wewenang BIKN berbeda dengan Departemen Penerangan. "BIKN tidak mengurusi tata usaha perizinan televisi swasta," ujarnya.
Bahkan, kini birokrasi perizinan televisi swasta sudah ditiadakan—tapi Undang-Undang Penyiaran Tahun 1997 yang mengatur perizinan belum dicabut. Yang ada tinggal urusan pengaturan frekuensi—dan ini menjadi wewenang Departemen Perhubungan. Kalau benar begitu, bisa timbul masalah lagi bila gugatan Mitra-TV berhasil: siapa yang berwenang membatalkan keputusan itu dan kemudian memberikan izin televisi swasta yang baru?
Agaknya, problem hukum serupa bisa muncul pula akibat keputusan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial, yang juga dibubarkan presiden. Demikian jua pada Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Transmigrasi, yang pejabatnya sekarang berstatus menteri negara. Haruskah semua risiko hukum itu kembali ditanggung presiden?
Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, Edy Budiyarso, Upik Supriyatun, dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini