Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Aceh, referendum adalah kelaziman. Seperti datangnya siang dan malam yang alamiah, referendum dibicarakan di surau, di masjid-masjid, di pasar, di warung-warung kopi sebagai sesuatu yang lazim. Tak ada tempat yang alpa dari kata referendum.
Sejarah panjang Aceh terdiri dari serangkaian perlawanan massal masyarakat Aceh terhadap dominasi kekuasaan ''pusat". Belasan tahun bukan masa yang pendek untuk sebuah penderitaan Acehuntuk sebuah obyek kesewenang-wenangan militer atau kebijakan politik Indonesia yang menaklukkan, jika tidak merendahkan.
Wujud kemarahan itu adalah tuntutan kemerdekaan. Mungkin ini bukan pilihan yang sempurna. Tapi Aceh tak punya pilihan. Secara tiba-tiba, masyarakat yang pernah disebut Anthony Reid sebagai Atjeh moorden atau ''Aceh gila" atau ''Aceh yang keras kepala" karena keberaniannya melawan Belanda itu seperti menemukan identitas baru. Mereka mendapatkan idola: bendera-bendera Gerakan Aceh Merdeka berkibar di mana-mana, foto-foto Panglima GAM Abdullah Sjafii ditempel di kamar-kamar anak mudaseperti gambar Rolling Stones di kamar remaja Indonesia pada 1970-an.
Identitas semu? Entahlah. Yang pasti, sejak perang kolonial dimulai pada 1873, identitas Aceh adalah identitas perlawanan.
Jika di masa lampau mereka melawan kape' Belanda, kini mereka melawan tentara dari republik sendiri. Ironis. Dan kita semua telah membiarkan kekejaman itu terjadi di Aceh; kekejaman yang menyumbang hadirnya ironi itu.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo