GAGASAN untuk mengubah Departemen Kehakiman menjadi Departemen
Hukum dan Perundang-undangan sudah ada sejak Mudjono masih
menjadi Menteri Kehakiman. Namun gagasan itu tidak pernah bisa
terwujud, karena banyak pihak yang tidak menyetujuinya baik di
Departemen Kehakiman maupun dari luar instansi itu.
Minggu yang lalu, gagasan itu menjadi hangat kembali setelah
Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, memberikan ceramah di Pusdika,
Cibubur, Jakarta Timur.
Ceramah Mudjono pada Minggu pekan lalu itu, sebenarnya hanya
sepintas lalu menyinggung perubahan Departemen Kehakiman menjadi
Departemen Hukum dan Perundang-undangan. "Itu maksud saya hanya
sekedar bunga-bunga dari ceramah saya," ujar Mudjono kepada
TEMPO akhir pekan lalu. Ia kaget ketika tahu ceramahnya dimuat
di harian Kompas. Sebab, "sebagai Ketua Mahkamah Agung, tidak
patut saya mengucapkan gagasan itu," katanya. Apalagi setelah
itu berbagai pihak menanggapinya.
Belum Matang
Seperti dituturkannya, Mudjono segera mencari Menteri Kehakiman
Ali Said untuk minta maaf. "Kalau ada istilah minta maaf
tertulis, hari ini juga saya akan minta maaf tertulis," katanya
mengulangi ucapannya kepada Menteri Ali Said. Menteri Ali Said
yang selalu disebut Mudjono dengan "adinda" itu, cepat memahami
persoalannya.
Gagasan mengubah nama Departemen Kehakiman itu menurut Mudjono,
dilontarkannya ketika ia baru saja menerima jabatan Menteri
Kehakiman beberapa tahun yang lalu. Waktu itu ia merasa,
hubungan antara Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung
kurang serasi. "Jadi, saya kasihan pada hakim-hakim," ujarnya.
Selain itu, ia melihat suatu produk hukum perlu dibuat lebih
intensif oleh satu tangan. Untuk itu harus ada satu menteri yang
membantu presiden dalam masalah-masalah perundang-undangan.
Namun banyak pihak tidak menyetujui gagasan itu. Sebab, menurut
Mudjono, dengan perubahan itu berarti departemen Kehakiman tidak
punya kekuasaan lagi, "mungkin dianggap lucu, ada Menteri Hukum
dan Undang-undang. "
Tetapi jika gagasan itu terlaksana, berarti Departemen Kehakiman
harus rela melepaskan beberapa tangannya. Ditjen Peradilan
misalnya, harus diserahkan ke Mahkamah Agung, Ditjen Imigrasi ke
Departemen Luar Negeri atau Dalam Negeri dan Lembaga
Pemasyarakatan kepada Departemen Sosial.
Dengan gagasan yang belum terlaksana itu, ketika Mudjono,
diberitahu Presiden Soeharto akan menjadi Ketua Mahkamah Agung
ia sudah bertekad: "semua urusan personil Mahkamah Agung
terserah kepada Menteri Kehakiman." Dan kenyataannya kemudian,
Menteri Kehakiman selalu mengajak Mahkamah Agung ikut serta
dalam segala persoalan, sehingga terbentuk lembaga konsultasi
rutin antara kedua lembaga itu dengan nama Mahdep (Mahkamah
Agung - Departemen Kehakiman). "Kan sebenarnya tidak perlu lagi
gagasan itu saya lontarkan sekarang," katanya.
Ali Said sendiri menilai konsep mengubah Departemen Kehakiman
menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan itu, "belumlah
matang". Sebab katanya, tidak mudah mewujudkan, gagasan itu.
Karena, "barangnya sudah mapan," ujar Ali Said. Namun ia
menambahkan, perubahan itu suatu hal yang mungkin. Karena
Kejaksaan Agung juga pernah dilepaskan dari Departemen Kehakiman
pada 1961.
Gagasan Mudjono itu, menurut Ali Said lagi, merupakan arah yang
akan dikembangkannya, agar nanti bisa diwujudkan satu departemen
yang menghasilkan hukum dan perundang-undangan tok. Sebaliknya,
Mahkamah Agung tidak lagi hanya mengurusi masalah justisiil,
namun juga masalah administrasi, personil dan keuangan hakim.
Artinya, hakim tidak lagi punya "dua bapak" seperti sekarang.
Gagasan agar produk hukum itu ditangani satu departemen agaknya
diharapkan banyak orang. "Agar dapat dihindarkan kesimpangsiuran
dan tumpang tindih, baik dalam materi perundangan maupun
pengaturannya," ujar Wakil Komisi III DPR RI V.B. Da Costa.
Sebab selama ini, katanya, semua departemen berhak mengajukan
RUU yang mereka butuhkan, tanpa bisa diatur mana yang lebih
diprioritaskan.
Namun adanya kemungkinan hakim tidak lagi diurus "dua bapak",
dan hanya diurus Mahkamah Agung dianggap Da Costa, lebih
berbahaya. "Sebab hakim yang lebih tinggi bisa mempengaruhi
hakim bawahannya," ujarnya. Begitu pula, kalau selama hi segi
administrasi dan keuangan di tangga eksekutif yaitu Departemen
Kehakiman, dapat menyebabkan hakim bisa dipengaruhi, akan lebih
buruk lagi kalau semua kekuasaan diserahkan ke satu tangan,
yaitu Mahkamah Agung. Dan itu tambah Da Costa, akan berarti
terjadi pergeseran pengaruh dari Menteri Kehakiman ke Mahkamah
Agung.
Kebebasan hakim yang diidam-idamkan itu, menurut Da Costa
bukanlah dengan cara menyerahkan semua kekuasaan itu kepada
Mahkamah Agung, karena yang dimaksudkan dengan kebebasan itu
hanyalah dalam rangka tugas teknis justisiil Cara yang diusulkan
Da Costa adalah memberikan perlindungan kepada hakim dalam
menjalankan tugasnya.
Tergantung Orangnya.
Bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji berpendapat:
Kekuasaan kehakiman yang bebas adalah dalam pengertian
fungsional dalam menjalankan tugas-tugas peradilan. "Jangan ada
keadaan yang menyebabkan hakim takut mengambil keputusan menurut
keyakinannya," kata Guru Besar Hukum Pidana UI itu.
Selama ini menurut Oemar Seno Adji, kita mengikuti jalan tengah
antara negara yang seluruh kekuasaan atas peradilan di tangan
lembaga yudikatif, dengan sistem seluruh masalah peradilan dan
administrasi peradilan di tangan eksekutif. Buktinya,
diikutsertakannya Mahkamah Agung. Dalam hal pengangkatan,
pemberhentian, kenaikan pangkat, mutasi, hukuman dan tindakan
administrasi terhadap hakim. Sistem ini, kata Oemar Seno Adji
dianut oleh negara-negara Eropa kontinental, seperti Belanda,
Belgia dan Italia.
Gagasan yang dilontarkan Mudjono, menurut Oemar Seno Adji, sama
seperti yang dilakukan Malaysia dan negaranegara bekas jajahan
Inggris. Seperti juga Da Costa, Seno Adji menilai berbahaya
kalau masalah administrasi hakim diserahkan ke satu tangan saja.
Ia lebih condong pada sistem yang ada sekarang, asal didukung
oleh batas-batas kewenangan dan perlindungan kepada hakim yang
terkena hukuman untuk bisa membela diri. "Sekarang hakim yang
harus dilindungi itu kurang dilindungi," katanya tanpa
menyebutkan contoh-contohnya.
Kekhawatiran terhadap kemungkinan monopoli kekuasaan oleh
Mahkamah Agung kalau gagasan Mudjono diwujudkan, disanggah oleh
Mudjono "Itu semua tergantung pada orangnya," ujarnya. Ia
menunjuk pada keadaan sekarang dengan adanya kerjasama erat
antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman, "Lha, kalau
saya dengan Pak Ali Said sudah sepakat mau apa? " tanyanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini