Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Departemen Hukum, Lama Tapi Hangat

Gagasan untuk mengubah Dep. Kehakiman menjadi Dep. Hukum & Perundang-undangan dilontarkan oleh Mujono beberapa tahun yang lalu. Da Costa dan Oemar Seno Aji condong pada sistem yang sudah ada.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGASAN untuk mengubah Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan sudah ada sejak Mudjono masih menjadi Menteri Kehakiman. Namun gagasan itu tidak pernah bisa terwujud, karena banyak pihak yang tidak menyetujuinya baik di Departemen Kehakiman maupun dari luar instansi itu. Minggu yang lalu, gagasan itu menjadi hangat kembali setelah Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, memberikan ceramah di Pusdika, Cibubur, Jakarta Timur. Ceramah Mudjono pada Minggu pekan lalu itu, sebenarnya hanya sepintas lalu menyinggung perubahan Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. "Itu maksud saya hanya sekedar bunga-bunga dari ceramah saya," ujar Mudjono kepada TEMPO akhir pekan lalu. Ia kaget ketika tahu ceramahnya dimuat di harian Kompas. Sebab, "sebagai Ketua Mahkamah Agung, tidak patut saya mengucapkan gagasan itu," katanya. Apalagi setelah itu berbagai pihak menanggapinya. Belum Matang Seperti dituturkannya, Mudjono segera mencari Menteri Kehakiman Ali Said untuk minta maaf. "Kalau ada istilah minta maaf tertulis, hari ini juga saya akan minta maaf tertulis," katanya mengulangi ucapannya kepada Menteri Ali Said. Menteri Ali Said yang selalu disebut Mudjono dengan "adinda" itu, cepat memahami persoalannya. Gagasan mengubah nama Departemen Kehakiman itu menurut Mudjono, dilontarkannya ketika ia baru saja menerima jabatan Menteri Kehakiman beberapa tahun yang lalu. Waktu itu ia merasa, hubungan antara Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung kurang serasi. "Jadi, saya kasihan pada hakim-hakim," ujarnya. Selain itu, ia melihat suatu produk hukum perlu dibuat lebih intensif oleh satu tangan. Untuk itu harus ada satu menteri yang membantu presiden dalam masalah-masalah perundang-undangan. Namun banyak pihak tidak menyetujui gagasan itu. Sebab, menurut Mudjono, dengan perubahan itu berarti departemen Kehakiman tidak punya kekuasaan lagi, "mungkin dianggap lucu, ada Menteri Hukum dan Undang-undang. " Tetapi jika gagasan itu terlaksana, berarti Departemen Kehakiman harus rela melepaskan beberapa tangannya. Ditjen Peradilan misalnya, harus diserahkan ke Mahkamah Agung, Ditjen Imigrasi ke Departemen Luar Negeri atau Dalam Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan kepada Departemen Sosial. Dengan gagasan yang belum terlaksana itu, ketika Mudjono, diberitahu Presiden Soeharto akan menjadi Ketua Mahkamah Agung ia sudah bertekad: "semua urusan personil Mahkamah Agung terserah kepada Menteri Kehakiman." Dan kenyataannya kemudian, Menteri Kehakiman selalu mengajak Mahkamah Agung ikut serta dalam segala persoalan, sehingga terbentuk lembaga konsultasi rutin antara kedua lembaga itu dengan nama Mahdep (Mahkamah Agung - Departemen Kehakiman). "Kan sebenarnya tidak perlu lagi gagasan itu saya lontarkan sekarang," katanya. Ali Said sendiri menilai konsep mengubah Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan itu, "belumlah matang". Sebab katanya, tidak mudah mewujudkan, gagasan itu. Karena, "barangnya sudah mapan," ujar Ali Said. Namun ia menambahkan, perubahan itu suatu hal yang mungkin. Karena Kejaksaan Agung juga pernah dilepaskan dari Departemen Kehakiman pada 1961. Gagasan Mudjono itu, menurut Ali Said lagi, merupakan arah yang akan dikembangkannya, agar nanti bisa diwujudkan satu departemen yang menghasilkan hukum dan perundang-undangan tok. Sebaliknya, Mahkamah Agung tidak lagi hanya mengurusi masalah justisiil, namun juga masalah administrasi, personil dan keuangan hakim. Artinya, hakim tidak lagi punya "dua bapak" seperti sekarang. Gagasan agar produk hukum itu ditangani satu departemen agaknya diharapkan banyak orang. "Agar dapat dihindarkan kesimpangsiuran dan tumpang tindih, baik dalam materi perundangan maupun pengaturannya," ujar Wakil Komisi III DPR RI V.B. Da Costa. Sebab selama ini, katanya, semua departemen berhak mengajukan RUU yang mereka butuhkan, tanpa bisa diatur mana yang lebih diprioritaskan. Namun adanya kemungkinan hakim tidak lagi diurus "dua bapak", dan hanya diurus Mahkamah Agung dianggap Da Costa, lebih berbahaya. "Sebab hakim yang lebih tinggi bisa mempengaruhi hakim bawahannya," ujarnya. Begitu pula, kalau selama hi segi administrasi dan keuangan di tangga eksekutif yaitu Departemen Kehakiman, dapat menyebabkan hakim bisa dipengaruhi, akan lebih buruk lagi kalau semua kekuasaan diserahkan ke satu tangan, yaitu Mahkamah Agung. Dan itu tambah Da Costa, akan berarti terjadi pergeseran pengaruh dari Menteri Kehakiman ke Mahkamah Agung. Kebebasan hakim yang diidam-idamkan itu, menurut Da Costa bukanlah dengan cara menyerahkan semua kekuasaan itu kepada Mahkamah Agung, karena yang dimaksudkan dengan kebebasan itu hanyalah dalam rangka tugas teknis justisiil Cara yang diusulkan Da Costa adalah memberikan perlindungan kepada hakim dalam menjalankan tugasnya. Tergantung Orangnya. Bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji berpendapat: Kekuasaan kehakiman yang bebas adalah dalam pengertian fungsional dalam menjalankan tugas-tugas peradilan. "Jangan ada keadaan yang menyebabkan hakim takut mengambil keputusan menurut keyakinannya," kata Guru Besar Hukum Pidana UI itu. Selama ini menurut Oemar Seno Adji, kita mengikuti jalan tengah antara negara yang seluruh kekuasaan atas peradilan di tangan lembaga yudikatif, dengan sistem seluruh masalah peradilan dan administrasi peradilan di tangan eksekutif. Buktinya, diikutsertakannya Mahkamah Agung. Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, kenaikan pangkat, mutasi, hukuman dan tindakan administrasi terhadap hakim. Sistem ini, kata Oemar Seno Adji dianut oleh negara-negara Eropa kontinental, seperti Belanda, Belgia dan Italia. Gagasan yang dilontarkan Mudjono, menurut Oemar Seno Adji, sama seperti yang dilakukan Malaysia dan negaranegara bekas jajahan Inggris. Seperti juga Da Costa, Seno Adji menilai berbahaya kalau masalah administrasi hakim diserahkan ke satu tangan saja. Ia lebih condong pada sistem yang ada sekarang, asal didukung oleh batas-batas kewenangan dan perlindungan kepada hakim yang terkena hukuman untuk bisa membela diri. "Sekarang hakim yang harus dilindungi itu kurang dilindungi," katanya tanpa menyebutkan contoh-contohnya. Kekhawatiran terhadap kemungkinan monopoli kekuasaan oleh Mahkamah Agung kalau gagasan Mudjono diwujudkan, disanggah oleh Mudjono "Itu semua tergantung pada orangnya," ujarnya. Ia menunjuk pada keadaan sekarang dengan adanya kerjasama erat antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman, "Lha, kalau saya dengan Pak Ali Said sudah sepakat mau apa? " tanyanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus