Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peluru itu menembus kulit Iren, kawan Trimurjo alias Kentus yang menjadi salah satu korban tewas penembakan misterius disingkat Petrus pada sekitar lewat tengah tahun 1982.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, Kentus yang terbiasa hidup di jalanan ditugaskan untuk mengawal Golkar berkampanye di Yogyakarta pada akhir 1982. Di Yogya, Petrus dikenal dengan OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan). Operasi tersebut memberondong kawan-kawan lainnya yang kala itu ditugaskan menjadi pengawal di jalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kentus, sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, dirinya tidak benar-benar mengetahui alasan kawan-kawannya mati ditembak. Namun yang jelas, kawan-kawannya semakin banyak ditembak secara misterius pada 1982.
Menyadari nyawanya terancam, Kentus meminta perlindungan Lembaga Hukum (LBH) di Jakarta pada awal 1983. Dirnya mengadu pada Adnan Buyung Nasution. Di LBH, Kentus mendapatkan surat jaminan hidup. Luntang-lantung hidup di kantor LBH Yogyakarta, Kentus kemudian diserahkan ke Kodim. Di sana, ia melakukan apel setiap Senin di kantor Koramil Gedongtengen selama enam tahun.
Enam tahun menjadi tahanan, Kentus lepas dari bui. Dirinya kemudian menjual nasi kecil-kecilan untuk menghidupi anak dan istrinya. Dalam liputan yang ditulis Tempo pada 2012, Kentus kini bekerja di sebuah perusahaan mebel.
Cerita Kentus bisa dibilang beruntung. Setidaknya ia tidak mati ditembak lalu ditelantarkan di jalan, hanya karena dirinya dituduh preman dan gali (gabungan anak liar) atau hanya sekadar memiliki tato di tubuhnya.
Jumlah Korban
Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah korban petrus mencapai 10.000 nyawa. Sementara itu, jumlah korban versi Komnas HAM mencapai 2.000 orang lebih.
Para korban Petrus biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yakni memiliki tiga luka tembak di tubuh, beberapa korban terdapat luka cekik, dan biasanya pelaku meninggalkan uang Rp10.000 untuk biaya penguburan kala itu.
Cerita salah satu penembak misterius
Salah satu orang yang meninggalkan duit Rp10.000 itu adalah M. Hasbi, bekas Komandan Kodim 0734 Yogyakarta. Dalam liputan yang ditulis Tempo pada 2012, M. Hasbi saat itu telah menjadi Ketua Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri Jawa Tengah.
Ia nampak tidak menyesali perbuatannya. Menurutnya, operasi (Operasi Pemberantasan Kejahatan) tersebut merupakan perintah dari atasan dan tidak melanggar aturan karena tidak ada reaksi penolakan dari masyarakat. “Gali-gali itu sudah sangat meresahkan masyarakat sehingga harus segera diberantas,” ujar M. Hasbi yang kala itu bertugas di Yogyakarta sebagai Dandim.
Operasi Petrus tersebut menurut pengakuannya dilakukan ketika terdapat situasi keamanan yang sedang terganggu. Selepas melapor ke Pangdam Diponegoro, dirinya berkoordinasi dengan polisi untuk melakukan operasi.
Koordinasi tersebut dilakukan untuk membuat daftar preman yang sumbernya dari laporan masyarakat. Sumber tersebut kemudian disaring di Badan koordinasi Intelijen yang berisi intel kodim, intel polisi, dan intel kejaksaan.
“Para preman yang masuk daftar diumumkan dan diminta lapor untuk diberi Kartu Tanda Lapor (KTL). Semua preman yang menunjukan KTL akan aman, jika tidak sesuai standar akan ada operasi,” ujarnya sebagaimana dalam liputan Tempo pada 31 Juli 2012.
Pengakuan M. Hasbi juga selaras dengan penelitian David Bourchier berjudul Crime, Law, and State Authority in Indonesia pada 1990. Dirinya melihat bahwa pelaku pembunuhan bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia, yang juga berada di bawah komando Presiden RI kala itu, yaitu Soeharto.
Soeharto: Yang Melawan, ya, Mau Tidak Mau Ditembak
Dalam buku otobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto secara gamblang mengungkapkan bahwa Petrus merupakan metode pembasmi kejahataan paling efektif karena dapat membawa efek jera.
“Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi bukan lantas dengan tembakan dor! dor! Begitu saja. Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,” ujar Soeharto dalam buku otobiografinya itu.
Dilansir dari Majalah Tempo, hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2008-2012 menyatakan bahwa operasi Petrus merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelakunya adalah para tentara dan polisi di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia dan Presiden Sohearto. Tetapi dokumen itu mandek di Kejaksaan Agung.
10 tahun berselang tepatnya pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi menerangkan bahwa peristiwa Petrus merupakan salah satu dari 12 peristiwa HAM berat yang terjadi di masa lalu. “Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban dan berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menyampingkan penyelesaian yudisial,” ucap Jokowi.
TIM TEMPO
Pilihan editor : Mahfud MD Ungkap Keluarga Korban Petrus Malu dan Enggan Diumumkan ke Publik