Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Terbunuhnya Anak

Anak brigjen (purn) bedjo, mati terbunuh, sesaat dibebaskan dari tahanan polisi karena dituduh terlibat dalam penggunaan obat bius. (krim)

4 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG tengah malam, pukul 24.00, telepon di rumah Nyonya Djarwo di Jalan Cisadane, dekat Cikini, Jakarta, berdering. Si penelepon tak lain Coki Hadisurya, anak lelakinya hasil perkawinan dengan Brigadir Jenderal (pur) Bedjo - yang di zaman revolusi dijuluki "macan perang". Coki, 33, melapor: ia ditahan di pos polisi Pecenongan, Jakarta Pusat. "Tolong bawakan kartu keluarga, biar polisi percaya saya anak Pak Bedjo," kata Coki. Nyonya Sevihara Soedjarwo, pemilik Citra Indah Film, produser film Karmila, 1974 segera menyuruh Lily, adik Coki, menuju pos polisi Pecenongan. Ketika itu sudah dinihari, sekitar pukul 01.00, Minggu 15 Januari. Lily lega karena, ketika tiba di pos polisi, ia mendapat penjelasan bahwa Coki sudah dibebaskan lantaran tidak ditemukan barang bukti pada dirinya. Yang masih ditahan Abdulah, teman Coki. Padanya ditemukan spit (alat suntik), yang biasa digunakan untuk menyuntikkan morfin. Tapi, Senin paginya, pihak keluarga melihat foto Coki di surat kabar Pos Kota sudah menjadi mayat. Ketika dicek ke Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo, ternyata benar, itu mayat Coki. Ayah lima anak, yang menurut Bedjo memang pernah ketagihan obat bius, itu terluka di dada kiri dan di ketiak - tembus sampai ke punggung. Pada tengkuk, leher, dan kepala juga ada bekas pukulan. Sampai pekan lalu, penyebab kematiannya masih belum jelas. Tapi bisa dipastikan, ia mati akibat pembunuhan, seperti tertera dalam surat visum luar yang dibuat Dokter Agus Purwadianto. Begitu dibebaskan, kata polisi di pos Pecenongan, Coki berjalan seorang diri, entah hendak ke mana. Ternyata, sekitar dua setengah jam setelah ia bebas, seorang penjual bakmi melihatnya sudah tergeletak di tepi Jalan Juanda 1. Brigadir Jenderal (pur) Bedjo - terakhir menjabat asisten sekretaris militer presiden (1969) - sudah pasrah terhadap kematian anaknya itu. "Saya tidak mengizinkan mayatnya diautopsi. Sudahlah, itu sudah kehendak Tuhan," katanya di rumahnya yang baru di Condet, Jakarta Timur. Ia menyerahkan sepenuhnya pengusutan kasus itu kepada polisi. Meski begitu, ia agak masygul juga. Apalagi, ia pernah mengirim Coki ke Pesantren Suryalaya, Ciamis, Ja-Bar. Sepulang dari sana, Coki rajin bersembahyang dan mengaji, "bahkan sudah bisa khotbah." Ketika duduk di SMA, Coki, yang tinggal bersama Nyonya Djarwo, agak nakal dan sulit diatur. Bahkan belakangan ia suka bergadang di sekitar Jalan Juanda 1 dan, kata sumber TEMPO, "Coki dicurigai memeras dan mengedarkan morfin." Tapi, kata Nyonya Djarwo - yang sudah lama berpisah dengan Pak Bedjo Coki setelah berkeluarga mulai berubah. Ia sering membantu membenahi administrasi di Citra Indah Film. "Kami semua menangisi kepergiannya yang tak terduga-duga itu," tutur Nyonya Djarwo, menghapus air matanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus