Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bertarung di Mal Jakarta Barat

Di Mal Central Park, 33 seniman menampilkan karyanya. Sebuah cerita tentang kota yang sumpek.

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayi itu belum lahir. Masih berbentuk janin. Sehari-hari, melalui tali pusar, dia menyedot sari dari makanan yang dilahap ibunya. Perkembangan organ tubuhnya belum juga sempurna. Penglihatannya tak jelas. Kelopak matanya pun masih tertutup.

Namun bayi itu benar-benar ajaib. Ditopang sebuah tangan, dia menggenggam sebuah kotak kecil. Dengan mata terpejam, dia asyik mengamati aksi Mario, si tukang ledeng, yang tengah melompat-lompat di antara pipa-pipa air.

Dalam permainan Super Mario itu, dia harus membawa si Mario berlari keluar dari gorong-gorong, sambil mengambil berbagai bonus untuk menambah masa hidupnya, dan melangkah sejauh mungkin, bermain game selama mungkin.

Baby Game, nama patung ini, berukuran lumayan besar, hampir sebesar tangki penampungan air yang biasa diletakkan di atas rumah-rumah di Jakarta. Sekujur tubuhnya berwarna keperakan. Patung karya Dunadi ini langsung menonjok perhatian siapa pun yang melihatnya. Game sudah merampas hidup anak-anak bahkan sejak mereka masih berbentuk janin.

Patung ini diletakkan tak jauh dari pintu masuk Mal Central Park, Jakarta, menjadi sebuah pembuka dari petualangan 33 karya dalam pameran bertajuk "Survive or Escape?". Pameran ini merupakan bagian dari perhelatan Jakarta Biennale ke-14, yang berakhir pekan lalu.

Sesuai dengan judul yang diusung, pameran ini menampilkan berbagai seni patung dan instalasi dengan isu kota besar yang sumpek. Jakarta atau kota besar ini lama-lama menjadi semacam tong sampah raksasa yang diserbu berbagai gadget, fashion, dan industri hiburan. Apa pun gadget atau mode yang masuk ditelan penduduk kota ini. Soal berguna atau tidak, pantas atau tidak, menjadi persoalan lain. Yang penting, penduduk di kota ini membanggakan dirinya menjadi bagian dari gaya hidup global.

Tak pelak dengan tema yang tak lain berbicara tentang keseharian manusia di kota besar, tempat penyelenggaraan menjadi penting. Karya para seniman ini harus ditampilkan di ruang yang dapat diakses dengan mudah. Pilihannya adalah mal alias pusat belanja dan tempat rehat khas kota besar.

Ada kisah di balik pemilihan tempat pameran ini. Menurut pihak penyelenggara, untuk pertama kalinya sebuah mal di Jakarta Barat dijadikan tempat pameran. Berbeda dengan lokasi mal di belahan selatan, misalnya, yang lebih tersentuh kegiatan seni kontemporer (Pusat Kebudayaan Amerika bahkan memilih lokasi di sebuah mal di Jakarta Selatan), mal di bagian barat Jakarta agak kurang memberi perhatian terhadap kegiatan seni kontemporer. Walhasil, penyelenggara Jakarta Biennale ke-14 pun memilih mal di Jakarta Barat.

Di sini pula kemudian karya-karya para perupa yang diletakkan di berbagai titik mencoba bertarung memikat pengunjung. Mereka harus bersaing dengan berbagai atribut perayaan Natal dan tahun baru, antara lain dari sebuah foto studio, dan tentu saja berbagai gerai busana atau gadget terkemuka.

Sesungguhnya karya-karya ini tak lain cermin kaum urban. Mereka, para pengunjung, sambil menikmati yoghurt atau es krim, atau menenteng belanjaan, sesungguhnya tengah menyaksikan seluruh peristiwa yang terjadi di sekelilingnya.

Patung karya Andi Ramdani yang berjudul Wait for Next Fighting adalah salah satu yang berhasil menarik perhatian: patung kingkong dalam bentuk raksasa yang dibuat dari serpihan bambu.

Karya perupa lainnya mencibir masyarakat urban yang telanjur menikmati kemewahan hidup yang ada. Namun, di sisi lain, ketakutan menjadi bagian yang mengancam diri mereka. Deni Rahman menggambarkan ketakutan ini dalam karyanya, Total Survival.

Meminjam istilah totaalvoetbal, taktik sepak bola yang terkenal lewat Rinus Michels pada 1970-an, hidup di kota besar seperti Jakarta memerlukan cara bertahan hidup yang total. Bertahan hidup di kota metropolitan dimaknai sebagai perlindungan dari segala aral bencana yang bisa datang dari mana dan kapan saja. Pertahanan yang baik adalah menyerang lebih dulu. Siapa yang coba-coba, dor!

Di bagian lain, sebuah karya Entang Wiharso menghadirkan suguhan yang detail tentang sebuah fanatisme yang hidup di masa kini. Ibarat memilih pertunjukan, Entang membuat kotak-kotak pilihan, yakni "Art Museum, War, Kemanusiaan, Teroris", dan "Surga", yang dijejerkan di atas meja.

Di kotak tersebut terdapat video yang menggambarkan masing-masing pilihannya. Tiap kotak itu dijaga dua orang yang berpenampilan kuyu dan lelah. Sebuah karya yang detail dan gelap, seperti karya-karya Entang sebelumnya.

Tak semua serius dan kelam. Di antara karya-karya itu terselip semangat bermain-main. Tiga buah patung berwarna biru, yang mirip karakter dalam film Shrek, hadir. Karya Humanoid Android, yang dibuat Ayu Arista Murti, ini merupakan sindiran terhadap perilaku manusia kota besar yang tak bedanya dengan mesin. Kini manusia bisa mengubah bagian tubuh mereka sesuai dengan keinginan demi penampilan yang lebih baik menurut ukuran dunia modern. Bak kendaraan, onderdil bisa diganti sesuka hati.

Namun yang paling dekat dengan mereka, para pengunjung mal, adalah karya Dona Prawita Arissuta, yang menuangkan ide melalui karyanya, A Fable about Brands and Logos. Dari bahan keramik, dia membuat kantong-kantong kertas yang ditempeli stiker berbagai merek busana terkemuka.

Di pusat belanja, kantong kertas berwarna cokelat muda dengan logo dan merek tertentu memiliki kadar kualitas yang berlipat ketimbang tentengan tas plastik. Bagi masyarakat kota besar, melenggang di mal dengan menenteng tas bertulisan merek terkenal adalah sebuah perlambang status mereka. Kantong yang dilahirkan oleh perselingkuhan industri dan manipulasi media telah melahirkan masyarakat konsumerisme.

Cerita kesumpekan di kota besar, tak dinyana, ternyata membuat pengunjung antusias. Mereka tidak hanya takjub, tapi juga gemas. Tangan mereka pun meraih setiap karya yang dianggap menarik. Sampai-sampai sebuah karya yang dipamerkan mendapat musibah. Ada beberapa karya yang terjatuh dan patah.

Pada hari yang lain, beberapa remaja memilih berfoto dengan patung-patung karya perupa yang mereka anggap menarik. Dengan gaya narsis (sebutan anak muda saat ini untuk membuat foto diri), mereka berfoto dengan kamera telepon seluler.

Mereka berpindah-pindah dari satu patung ke karya yang lain. Mungkin mereka masih mencari obyek yang paling menarik untuk diunggah ke jejaring sosial. Sejatinya, mereka tengah memamerkan kekinian wajah kaum urban.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus