Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Detektif Holmes di Antara Asap dan Mesiu

Sekali lagi, sutradara Guy Ritchie menggunakan gaya steam-punk dalam dunia Sherlock Holmes dan Dokter Watson. Berhasilkah?

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHERLOCK HOLMES 2: A Game of Shadows
Sutradara: Guy Ritchie
Skenario: Kieran Mulroney dan Michele Mulroney (dari novel-novel karya Sir Arthur Conan Doyle)
Pemain: Robert Downey Jr., Jude Law, Jared Harris

Jauh sebelum Perang Dunia Pertama meledak, Sherlock Holmes sudah mencium bau mesiu yang mengancam. Beberapa kematian misterius terjadi. Dan detektif kesayangan kita, yang namanya seperti sekadar dipinjam dari dunia rekaan Sir Arthur Conan Doyle itu, memutuskan mencegah peperangan yang tujuannya hanya menguntungkan kantong seorang ilmuwan.

Sejak meluncurnya film Sherlock Holmes (2009) yang menggunakan interpretasi jungkir balik serta mengocok dinding sastra Inggris yang kaku dan rigid, kita harus bisa menikmati gaya detektif kesayangan kita dengan interpretasi generasi muda. Di balik kamera Guy Ritchie, aroma steam-punk adalah sebuah pilihan yang memang terbukti menarik bagi anak-anak muda. Kini Sherlock Holmes menjadi pahlawan generasi baru yang nyeleneh, lucu, cergas, dan setia pada ikatan bro-mance dengan Dr Watson, sohibnya (yang dalam film ini juga diwujudkan oleh Jude Law yang langsing dan ganteng, dan bukan sosok dokter yang gemuk dan berkumis seperti rekaan Conan Doyle).

Steam-punk adalah sebuah sub-genre dari fiksi ilmiah, fantasi, sejarah alternatif yang banyak diminati pada 1980-an dan 1990-an. Lazimnya kisah steam-punk mengambil setting di masa mesin uap masih digunakan di era Victoria (Inggris). Novel steam-punk (yang kini disemprotkan ke layar lebar) lazimnya menampilkan teknologi tinggi fiktif yang pada masanya sempat menjadi cita-cita atau fantasi para inovator—seperti yang digambarkan dalam novel karya H.G. Wells atau Jules Verne atau film The Three Musketeers dan Sherlock Holmes.

Jika Anda bukan penggemar film atau novel steam-punk atau tak bisa menerima sub-genre yang mengobrak-abrik bayangan Anda tentang Sherlock Holmes klasik, lupakan film ini. Steam-punk memang memaksa Anda membuang semua interpretasi ketat kita tentang karya sastra yang menjadi inspirasi film ini.

Misalnya, "sejarah alternatif" hasil fantasi Guy Ritchie dalam film ini adalah ancaman meledaknya Perang Dunia yang dirancang oleh psikopat berbaju ilmuwan bernama Moriarty (tokoh yang memang tampil dalam novel Sir Arthur Conan Doyle). Moriarty, seorang jenius dalam bidang matematika dan fisika, juga menguasai bisnis persenjataan militer. Dengan pecahnya perang dunia, bisnisnya akan menggembungkan dompetnya. Seluruh film adalah permainan kucing dan tikus, di mana duo Holmes dan Watson harus mencegah nafsu angkara murka Moriarty. Sialnya, si jenius yang keji itu selalu satu langkah lebih maju daripada mereka.

Sama seperti Sherlock Holmes pertama yang beredar dua tahun lalu, cara yang paling asyik menikmati film seperti ini adalah dengan melempar novel asli Conan Doyle dan menikmati Robert Downey Jr. dan Jude Law yang sesekali seperti duo cendekia, tapi di kesempatan lain mereka seperti lelaki dungu. Sementara Holmes kreasi Conan Doyle memiliki sepasang mata yang teliti dalam mengulik jejak yang ditinggal penjahat, sutradara Ritchie menampilkan mata Holmes yang sigap memindai seluruh ruang dan gerak-gerik orang di sekelilingnya untuk mendeteksi kejahatan yang akan terselenggara.

Munculnya tokoh peramal Madame Simza (Noomi Rapace, yang kita kenal melalui penampilannya yang dahsyat dalam trilogi The Girl with a Dragon Tattoo versi asli Swedia) seharusnya bisa dikembangkan lebih baik. Rapace adalah salah satu aktris paling bersinar yang pasti akan menonjol jika skenarionya mengizinkan dia untuk tampil lebih dari sekadar peran yang hanya memberikan "aroma internasional".

Ambisi Holmes menghentikan nafsu Moriarty diaduk dengan subplot perkawinan dan bulan madu James Watson dan istrinya yang diganggu oleh kehadiran Holmes. Ritme bergerak dengan cepat, meski dalam beberapa adegan, Ritchie malah menggunakan adegan slow motion, yang justru menjadi salah satu adegan terbaik dan unik dari seluruh film: Holmes, Watson, dan Simza yang berlari di tengah hutan dikejar oleh rentetan peluru seperti sebuah rangkaian gambar yang digerakkan oleh nyawa yang siap keluar dari tubuh para aktornya. Luar biasa! Adegan lain yang tak terlupakan—yang tak cocok untuk disaksikan anak-anak di bawah 17 tahun—adalah penyiksaan Holmes yang dilakukan oleh Moriarty sembari mendengarkan musik klasik di atas piringan hitam. Semakin Holmes terlihat mengerang kesakitan, semakin Moriarty mencapai ekstase.

Dengan sukses meraih penonton pada film pertama (dan film barunya ini), sudah pasti Guy Ritchie berhasil menampilkan sebuah nama detektif yang dikenal oleh penggemar sastra dan novel kriminal menjadi kosakata Hollywood. Yang tak kita ketahui adalah berapa lama gaya steam-punk akan digemari oleh generasi penonton masa kini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus