Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Terjebak Di Deposito Palsu

Gaya "perampokan" baru. polisi dan satpam bbd ratu plaza menggulung komplotan "perampok", nany tambuan, dkk. mereka mencairkan deposito palsu Rp 750 juta. sebagian tersangka masih buron.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI cara bandit zaman sekarang "merampok" bank. Salah satu di antaranya dengan sertifikat deposito palsu. Pada Jumat dua pekan lalu, petugas satpam BBD Cabang Ratu Plaza dan petugas Polri berhasil memerangkap seorang wanita dan dua laki-laki yang hendak mencairkan deposito palsu senilai Rp 750 juta dibank tersebut. Sampai Kamis pekan lalu, Mabes Polri menggulung sekitar 10 orang yang diduga terlibat komplotan tersebut. "Mereka betul-betul komplotan sindikat pembobol bank yang dipersiapkan rapi," ujar sumber TEMPO di Mabes Polri. Sebab, dari hasil pemeriksaan sementara, polisi memperoleh pengakuan bahwa komplotan itu telah mempersiapkan diri sejak setahun lalu. Rencana membobol bank dengan sertifikat palsu itu semula dirancang oleh seorang pedagang tembaga, A. Ariyanto, bersama temannya, Arifin dan Suwignyo. Rencana semakin matang setelah mereka bertemu Darmazi, bekas karyawan swasta di bidang jasa keuangan. Darmazi bertindak sebagai konsultan operasional. Sementara itu, Suwignyo bertugas mencari sertifikat deposito palsu. Dari Suparman, seorang pensiunan Bank Indonesia yang pernah bertugas di bagian kliring Suwignyo berhasil mendapatkan sertifikat deposito yang seratus persen palsu. Berbekal dua buah sertifikat deposito palsu senilai Rp 500 juta, komplotan itu mencoba mengelabui petugas BBD Imam Bonjol untuk mencairkan sebuah deposito milik orang lain. Tapi gagal. Sebab, ketika kurir komplotan itu Dedi Krisna, menghubungi BBD, ternyata deposito itu sudah dicairkan pemiliknya. Tapi mereka rupanya terus mematangkan rencana itu. Bahkan anggota komplotan semakin bertambah dengan bergabungnya H. Manulang, oknum Departemen Keuangan, dan Suwardiman, oknum Departemen Agama. H. Manulang berjasa menyediakan fotokopi sertifikat deposito asli. Dari fotokopi itu, kemudian Suwardiman mencetak 40 buah sertifikat deposito mirip aslinya -- dengan nilai masing-masing Rp 750 juta, di sebuah percetakan kaki lima di Jakarta Selatan. Salah sebuah di antara sertifikat itu, ya, yang dipakai membobol BBD Ratu Plaza. "Sertifikat lainnya jelas akan dipakai membobol bank-bank lainnya," kata sumber TEMPO. Untuk membobolkan bank tentu perlu kerja sama dengan orang dalam. Maka Suparman ditunjuk untuk "menggarap" orang dalam agar mau bergabung. Tergaetlah L. Sariwating, 42 tahun, staf Biro Direksi BBD Pusat, dan Siswanto, karyawan Bagian Tabanas BBD Cabang Kebon Sirih. Sasaran ditetapkan BBD Ratu Plaza. Seminggu sebelum operasi, Sariwating, Suwignyo, dan Ariyanto mengadakan pertemuan di Hotel Mandarin. Dalam pertemuan itu Sariwating mendapat tugas menjawab telepon dari BBD Ratu Plaza, dan mengatakan, "Ya, benar," bila ada konfirmasi masuk. Untuk tugas ini ia menerima uang Rp 6,7 juta dari Rp 7 juta yang dijanjikan. Enteng, 'kan? Begitulah. Pada Kamis pagi 14 Juli, seorang wanita, mengaku bernama Nanny Tambunan, menelepon ke BBD Ratu Plaza. Maksudnya hendak mencairkan sertifikat depositonya yang dikeluarkan BBD Cabang Kebon Sirih senilai Rp 750 juta, bernomor D.869322/008116-07233, atas nama Alex Manibuy. "Melihat besarnya nilai deposito itu, kami curiga," kata sumber di BBD. Sebab itu, petugas BBD Ratu Plaza mengontak BBD Kebon Sirih -- bukan BBD Pusat, sebagaimana direncanakan komplotan itu. BBD Kebon Sirih menjawab bahwa nomor dan jumlah nominal deposito itu benar. Hanya saja, sertifikat itu bukan atas nama Alex Manibuy, melainkan PT Taspen. Karena sudah ketahuan si penelepon bukan orang yang berhak atas deposito itu, petugas BBD Ratu Plaza pun memasang perangkap. "Deposito bisa dicairkan," jawab petugas itu kepada Nanny. Sementara itu, petugas satpam BBD Pusat dan Reserse Mabes Polri dikontak. Sore itu juga petugas-petugas berpakaian preman telah menunggu komplotan itu di BBD Ratu Plaza. "Tapi hingga tutup kantor mereka tidak nongol," cerita pegawai BBD. Jumat paginya, 15 Juli, Nanny menelepon lagi, mengabarkan bahwa ia akan segera datang. Tiga puluh menit kemudian Nanny muncul bersama Alex Manibuy dan Darmazi. Dengan tenang mereka menandatangani kuitansi tanda pencairan deposito. Ketika itulah ketiganya ditangkap polisi tanpa perlawanan. Setelah itu, Mabes Polri menggulung Suwignyo, Ariyanto, Arifin, Siswanto, Sariwating, Suwardiman, dan Manulang di berbagai tempat. "Hingga pekan ini yang masih buron adalah Dedi Krisna," kata sumber di Mabes Polri. Dari hasil pelacakan polisi, ditemukan dokumen rencana pembobolan BBD Ratu Plaza tersebut. Tim disebutkan dibagi tiga bentuk: penanggung jawab operasi di bawah A. Ariyanto, tim pencairan, dan tim mediator. Diduga, tim penanggung Jawab operasi punya tugas menyuplai dana, kemudian tim pencairan membina orang dalam bank, sedang tim mediator menjadi penghubung di antara mereka. Dua tim terakhir ini kabarnya, dipimpin oleh Lasmono dan Wilhelm keduanya masih diusut Polri. Salah seorang tersangka, Sariwating, menyanggah keterlibatannya. Bapak dua anak yang telah mengabdi di BBD selama 22 tahun itu hanya mengaku bertemu Suwignyo dan Ariyanto di Hotel Mandarin. Tapi ia tak bersedia menjelaskan maksud pertemuan itu. "Saya ini tak pernah merugikan BBD, saya tak pernah di-black list BBD," sanggahnya. Menurut Sariwating, adalah sesuatu yang tak masuk akal bila ia, yang bekerja di Bagian Komunikasi Biro Direksi, dituduh terlibat urusan deposito. Namun, anehnya, ia mengaku menerima uang Rp 6,7 juta. "Tapi uang itu titipan dari Suparman," bantahnya berapi-api. Dan pengakuannya lagi, uangnya itu sebagian dirampok penjahat ketika ia sedang berada di BBD Cabang Tanah Abang. Adanya sertifikat deposito yang nyaris bobol dan disebut-sebut atas nama PT Taspen itu dibantah Direktur Utama PT Taspen Ida Bagus Putu Sarge. "Deposito dengan nomor itu bukan milik Taspen," katanya. Tapi sebuah sumber TEMPO di BBD membenarkan sertifikat deposito itu milik Taspen. Hanya saja, pihak Taspen, entah kenapa, tak ingin bila deposito itu dipublikasikan. Lho, ada apa? Widi Yaarmanto, Moebanoe Moera, dan Tri Budianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus