Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersandera Perkara Pajak Permata

Direktorat Jenderal Pajak terancam membayar restitusi pajak plus denda ke Permata Hijau Sawit Group sedikitnya Rp 785 miliar. Akibat putusan praperadilan yang tak bisa dikoreksi.

2 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersandera Perkara Pajak Permata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH tiga tahun mengendap, kasus dugaan restitusi pajak menggunakan faktur fiktif oleh Permata Hijau Sawit Group memasuki babak baru. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kini menghadapi tagihan pembayaran restitusi pajak berikut bunga dua persen per bulan yang diajukan perusahaan itu pada 3 April lalu.

Tagihan ini buntut putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan Permata Hijau Sawit melawan kantor pajak. Putusan yang diketuk pada 29 Agustus 2014 itu memerintahkan penghentian penyidikan kasus faktur fiktif perusahaan tersebut. Direktorat Jenderal Pajak sempat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tapi ditolak. Belakangan, terbit Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur putusan praperadilan bersifat final dan tak bisa dikoreksi dengan banding, kasasi, ataupun PK.

Kendati upaya hukum mempersoalkan putusan praperadilan tertutup, kantor pajak tengah mencari celah lain agar negara tak membayar tagihan ke perusahaan yang berkantor pusat di Medan itu. Dari perhitungan Juni lalu saja, negara harus membayar pokok dan bunganya Rp 785,87 miliar. Rinciannya, Rp 530,996 untuk restitusi dan sisanya untuk bunga. "Terhadap wajib pajak yang terindikasi pidana, pembayarannya ditunda," ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar Mekar Satria Utama, Kamis pekan lalu.

Menurut seorang penegak hukum yang pernah menangani kasus ini, upaya hukum baru untuk membuktikan Permata Hijau Sawit Group mengajukan restitusi pajak menggunakan faktur fiktif harus segera ditempuh. Kantor pajak, kata dia, sejauh ini masih mencari langkah hukum yang pas untuk melawan putusan praperadilan tersebut. "Semakin lama, beban bunganya semakin bertambah besar," ujarnya.

Kasus ini bermula saat Kantor Pajak Medan menemukan kejanggalan dari surat pemberitahuan tahunan (SPT) PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, dan PT Nagamas Palmoil. Tiga perusahaan yang tergabung dalam Permata Hijau Sawit Group itu diduga menggunakan faktur fiktif dengan nilai lebih dari Rp 200 miliar.

Kantor Pajak menghapus predikat wajib pajak patuh dan menerbitkan surat perintah penyidikan pada 2009 untuk tiga perusahaan itu. Tindakan ini mengakibatkan klaim restitusi ketiga perusahaan untuk tahun pajak 2007-2008 tak bisa cair. Permata Hijau Sawit Group mengklaim total restitusi yang tak bisa cair Rp 530 miliar. Klaim ini berasal dari PT Permata Hijau Sawit sebesar Rp 185,5 juta, PT Nubika Jaya Rp 214,2 juta, dan PT Nagamas Palmoil Rp 131,137 juta.

Belakangan, Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan faktur Permata Hijau Group untuk mengajukan restitusi berasal dari sejumlah perusahaan fiktif. Ada temuan 14 perusahaan penerbit faktur fiktif yang diduga bekerja sama dengan PT Permata Hijau Group untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Petinggi tujuh perusahaan itu sudah bersalah pengadilan karena menerbitkan faktur fiktif.

Tak berselang lama, Direktorat Pajak menerbitkan 13 surat perintah penyidikan sejak 7 Oktober 2010 hingga 11 Mei 2012 untuk direksi dan karyawan Permata Hijau Sawit Group. Penyidik telah beberapa kali melimpahkan berkas perkara kepada jaksa. Tapi jaksa delapan kali mengembalikan berkas itu untuk dilengkapi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum belum bisa memastikan soal ini. "Masih kami cek," ucapnya.

Ketika berkas bolak-balik kantor pajak-kejaksaan, Direktur Keuangan Permata Hijau Sawit Toto Chandra, sebagai salah satu tersangka, mengajukan gugatan praperadilan. Dalil gugatannya Direktorat Jenderal Pajak dianggap berlarut-larut, yakni selama enam tahun, mengusut kasus itu sehingga merugikan perusahaannya. Ia meminta pengadilan menghentikan penyidikan kasus tersebut.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Razzad mengabulkan gugatan Toto. Inilah salah satu putusan praperadilan yang dianggap kontroversial ketika itu. Kontroversial karena putusan hakim tak sesuai dengan Kitab Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur obyek praperadilan hanya meliputi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penuntutan. Delapan bulan kemudian, baru penetapan sah atau tidaknya tersangka masuk obyek praperadilan seperti tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Atas kejanggalan putusan itu, Direktorat Jenderal Pajak mengadukan hakim Muhammad Razzad ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. Argumentasinya KUHAP tidak mengatur penghentian penyidikan yang berlarut-larut. Dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan masa kedaluwarsa perkara tindak pidana perpajakan adalah sepuluh tahun. Sedangkan kasus Permata Hijau Sawit baru diusut lima tahun.

Setelah melakukan pemeriksaan, MA melalui surat 1553/BP/Eks/II2014 menyatakan hakim Muhammad Razzad dalam memutus praperadilan itu telah menyimpang dari ketentuan hukum acara dan tidak profesional. Badan Pengawas MA memberikan hukuman disiplin kepada hakim tersebut.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, membenarkan soal hukuman disiplin untuk hakim Muhammad Razzad atas penanganan perkara Permata Hijau Sawit. Tapi Suhadi enggan mengungkapkan jenis sanksinya. "Yang jelas ada sanksinya," ucapnya. Beberapa bulan kemudian, Komisi Yudisial juga merekomendasikan pemberian sanksi nonpalu kepada Muhammad Razzad karena dianggap melanggar kode etik dan perilaku hakim.

Kendati hakim yang menangani perkara dianggap tak profesional dan melakukan penyimpangan, putusan itu tak bisa dikoreksi karena tak ada upaya hukum lain. Suhadi menyarankan Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kasus itu jika alat buktinya kuat. "Bisa disidik lagi," ujarnya.

Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat serupa. Ia mengatakan KUHAP tidak membatasi penegak hukum untuk menerbitkan surat perintah penyidikan lagi sepanjang dipenuhi minimal alat bukti. Bahkan penerbitan kembali surat perintah penyidikan itu diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi pada 28 April 2015. "Direktur Jenderal Pajak bisa melampirkan bukti (sebagai petunjuk) dari putusan Bawas MA," ujar Indriyanto.

Pihak Permata Hijau tak bisa dimintai konfirmasi soal pengajuan restitusi pajak dan perkembangan kasus perusahaan ini. Tempo mendatangi kantor pusat Permata Hijau Sawit di Jalan Sultan Iskandar Muda Nomor 107, Kota Medan, dua kali pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Tanti, salah seorang resepsionis di kantor itu, mengatakan bosnya sedang cuti. Hal yang sama disampaikan Yuki, anggota staf Bagian Umum Permata Hijau Sawit. Sampai akhir pekan lalu, permohonan wawancara Tempo juga belum direspons manajemen perusahaan tersebut.

Linda Trianita, Iil Azkar Mondza (medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus