Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU kali itu Ganda Saputra tak tenang memancing di laut Ujung Kulon, Banten. Bayangan hewan loreng dan auman kerasnya yang ia lihat sebelum tiba di bibir pantai membuatnya buru-buru menggulung kail yang baru ia lempar sepuluh menit. Jagawana 31 tahun ini kembali ke tenda di dekat padang penggembalaan Cidaon, bergabung dengan tiga temannya.
Siang hari pada 25 Agustus 2017 itu adalah hari kedua mereka melakukan ekspedisi mendata banteng yang menghuni taman nasional di ujung barat Pulau Jawa itu. Ganda melaporkan apa yang ia lihat dan dengar di sisi utara padang rumput. "Dia melihat hewan yang diduga harimau Jawa," kata Mumu Muawalah, Kepala Resor Pulau Peucang, yang memimpin tim ekspedisi itu, pekan lalu.
Mendengar laporan Ganda, Mumu meminta anak buahnya berbenah dan kembali ke padang rumput. Pendataan hewan di padang penggembalaan itu dilakukan sehari dua kali, pukul 06.00-09.00 dan pukul 15.00-18.00. Ini waktu makan dan minum hewan-hewan di taman nasional ini.
Dua orang naik ke menara pengintai setinggi 12 meter. Dua yang lain mengamati burung dan hewan-hewan yang mulai berdatangan ke padang rumput seluas 9 hektare itu. Di padang itu, pada sore hari, hanya ada sepuluh banteng, tiga anaknya, dan lima burung merak hijau.
Jam di tangan Mumu menunjukkan pukul 17.20 ketika tiba-tiba saja sekawanan banteng berlarian. Suara auman harimau menggelegar dari arah bangkai banteng di tengah padang. Mumu dan timnya segera mendekat dan berlindung di balik pohon. Kamera telepon seluler di tangan Ganda telah on siap membidik peristiwa paling bersejarah hari itu.
Dari jarak sekitar 150 meter, Mumu dan Ganda melihat seekor kucing besar tengah duduk memakan jeroan banteng dewasa. Hanya 30 detik kamera Ganda merekam makan sore kucing besar ini. Ekornya yang lentik terlihat mengibas. "Tim saya memindahkan mode ke kamera foto karena takut kehilangan momen," ujar Mumu.
Beberapa detik setelah itu, kucing besar ini bangkit dan berjalan gontai ke arah hutan di sisi barat daya yang bersisian dengan Selat Sunda. Tiga merak dan satu banteng tertegun menatap langkah-langkah kucing ini hingga ia menghilang di balik semak dan pohon-pohon.
Hari redup, padang rumput mulai gelap, Mumu dan timnya kembali ke tenda. Mereka balik ke padang Cidaon keesokan paginya, berharap kucing besar itu kembali untuk sarapan. "Dia tak kembali dan sama sekali tak ditemukan jejaknya," ucap Mumu.
HANYA tiga foto plus satu video yang ada di kamera Ganda. Foto-foto itu kemudian dikirim ke Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat. Foto tersebut bikin heboh karena kucing besar itu diduga harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), yang dinyatakan punah oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan International Union of Conservation for Nature pada 1994 dan 1996.
Dalam laporan 13 halaman temuan itu ke Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Mumu menyebutkan kulit kucing besar tersebut "loreng Kopassus paduan kuning, cokelat, putih, dan hitam". Untuk membuktikannya, satu tim Balai Taman Nasional Ujung Kulon bersama World Wide Fund for Nature kembali ke Cidaon mencari jejak, mangsa, kotoran, bulu, dan cakaran untuk diteliti asal-usulnya. Temuan-temuan itu kini masih diteliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ganda mengatakan, dalam pertemuan pertama sebelum memancing, ia melihat loreng di pantat kucing besar itu. Sebagai jagawana Ujung Kulon, Ganda tahu bedanya dengan macan tutul (Panthera pardus melas) yang masih hidup liar di hutan itu dan acap terekam kamera. "Sewaktu melihat yang kedua, ada loreng di perutnya," katanya kepada Vindry Florentin dari Tempo.
Dalam dua bulan terakhir, menurut Mumu, para jagawana acap menemukan bangkai binatang dalam jumlah masif. Ia menduga pemangsa daging turun gunung akibat kemarau dengan panas berkepanjangan ini. "Salah satunya banteng yang terluka lehernya, itu salah satu ciri serangan harimau," kata Mamat Rahmat.
Bangkai banteng di Cidaon yang disantap kucing besar itu, ujar Mumu, terbujur dengan luka menganga di ketiak kaki kanan-depan. Dari luka-luka cakar di kaki belakang, Mumu menduga terjadi kejar-kejaran dengan pemangsanya sebelum banteng itu roboh lalu mati. Sepekan kemudian, ketika Tempo berkunjung ke sana, sisa bangkai banteng itu masih ada.
Foto "harimau" itu memicu kontroversi di kalangan ilmuwan dan komunitas pencinta harimau. Profesor Gono Semiadi, ahli mamalia dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menduga kucing besar itu macan tutul. "Dari foto dan video itu, ukuran tubuh hewan yang diduga harimau ini lebih mendekati macan tutul," kata Gono kepada M. Sidik Permana dari Tempo.
Kesimpulan Gono itu diperoleh setelah menganalisis foto dan video Ganda Saputra. Ada dua metode analisis yang ia pakai: morphometry atau analisis ukuran tubuh kucing besar itu dan debluring + contrast enhancement atau mempertajam foto.
Metode pertama membandingkan ukuran kucing besar itu dengan merak hijau yang tertegun di depannya. Data umum panjang ekor hingga kepala merak betina Ujung Kulon yang sedang berdiri adalah 100-110 sentimeter. Dari foto pembanding itu, Gono memperoleh ukuran tinggi pundak harimau 59,8-65,7 sentimeter.
Masalahnya, menurut Gono, tak ada data tinggi pundak harimau Jawa yang valid. Foto terakhir Panthera tigris dipublikasikan dalam buku Ujung Kulon: The Land of The Last Javan Rhinoceros karya Andries Hoogerwerf pada 1938. Itu pun tak ada data morfologi. Dari foto itu, hanya bisa dibandingkan tinggi dan panjang badannya, yakni 49/100. Sedangkan dari foto Ganda Saputra, rasio tinggi-panjang badan kucing besar ini 59/100.
Ekor "harimau" Cidaon dari foto itu diduga sepanjang 75,1-82,7 sentimeter dan panjang badannya 100,9-111,0 sentimeter sehingga rasionya 74/100. Sedangkan panjang ekor dan badan harimau Jawa dari foto Hoogerwerf sebesar 48/100. Ini sesuai dengan data umum rasio ekor dan panjang badan harimau sebesar 0,38-0,49.
Gono menyimpulkan kucing besar Cidaon sebagai macan tutul karena ukuran umum karnivora Ujung Kulon ini 0,52-0,70. Metode mempertajam foto juga kian menguatkan dugaan itu, meskipun tetap buram karena hanya berukuran 780 x 439 pixel. Setelah foto itu dipertajam, corak loreng terlihat mendekati totol-totol ketimbang garis tegas seperti kulit Panthera tigris pada foto Hoogerwerf.
Gono menyatakan, di dunia ilmiah, jarang atau nyaris tak ada referensi tentang harimau Jawa. "Tapi, berdasarkan penelitian, ukurannya lebih kecil daripada harimau Sumatera dan lebih besar dibanding harimau Bali."
Mumu Muawalah dan timnya tak ingin tenggelam dalam debat itu. Ia menyerahkan temuannya kepada para ilmuwan untuk memastikan keberadaan harimau yang dipanggil "Si Mbah" oleh orang Banten. "Soalnya tim lain menemukan kucing loreng yang lebih besar pada pagi di hari yang sama," tuturnya.
Bagja Hidayat (ujung Kulon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo