Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para lelaki berbadan tegap itu satu per satu menyusup ke kompleks Holiday Resort, Senggigi, Lombok Barat. Mereka berpencar dalam radius sekitar 200 meter, lalu duduk-duduk di sekitar restoran dan kolam renang. Meski terkesan tak saling mengenal, mereka sebenarnya tengah menunggu target yang sama pada Sabtu siang dua pekan lalu itu. "Kami semula mengira mereka tamu biasa," kata seorang petugas hotel kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Berjam-jam dinanti, yang ditunggu akhirnya datang juga. Sekitar pukul 15.45, Lucyta Anie Razak menghampiri meja resepsionis. Direktur PT Pantai Aan itu menanyakan kamar yang dipesan atas nama Andi melalui agen perjalanan asal Jakarta. Setelah petugas resepsionis membenarkan ada pesanan, Lucyta menukar kamar bertarif Rp 700 ribu itu dengan bungalo yang menghadap ke pantai. Perempuan paruh baya itu pun langsung melunasi sewa bungalo untuk dua hari, dengan tarif dua kali lipat kamar biasa.
Rehat sejenak di lobi hotel, sekitar pukul 16.00, Lucyta masuk ke bungalo nomor 206 tersebut. Rupanya, ada yang dinantinya. Setengah jam kemudian, Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, Subri, datang dan masuk ke bungalo yang disewa Lucyta. Selama hampir tiga jam, tak ada kejadian apa pun. Tapi mata para pengintai kian terfokus ke bungalo yang terpisah dari bangunan utama hotel itu.
Ketika hari sudah gelap, sekitar pukul 20.00, salah seorang pengintai mendatangi meja resepsionis. Dia lalu membuka identitasnya: penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sang penyidik segera meminta petugas hotel menemani mereka masuk ke kamar 206. "Tahu-tahu mereka sudah mengepung bungalo. Jumlahnya sekitar sepuluh orang," ujar pegawai hotel lain yang juga tak mau disebut namanya.
Di depan kamar 206, seorang penyidik mengetuk pintu. Ketika daun pintu terkuak, beberapa penyidik langsung menerobos masuk. Di dalam, beberapa orang "mengaduk-aduk" isi lemari dan laci meja. Ada juga yang menyisir semua sudut kamar. Tak memerlukan waktu lama, dari kamar bungalo itu penyidik menemukan uang tunai Rp 213 juta.
Terkaget-kaget oleh kedatangan tim KPK, Subri dan Lucyta sama sekali tak melawan. Sekitar pukul 20.30, keduanya digiring meninggalkan hotel. Dua minibus yang membawa mereka melaju cepat ke arah Kota Mataram.
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, transaksi suap Lucyta dan Subri diduga berkaitan dengan perkara pemalsuan sertifikat tanah di Selong Belanak, Praya Barat, Lombok Tengah. Kasus itu sudah masuk pengadilan dan menjelang ketuk palu, vonis.
Penangkapan Subri dan Lucyta segera menyeret nama Bambang W. Soeharto. Bekas anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu berkongsi dengan Lucyta dan suaminya, Budy Hermawan, di PT Pantai Aan. Menjadi pemegang saham mayoritas sejak 1995, mereka bersama-sama menduduki kursi direksi. Bambang menjadi direktur utama, sedangkan Budy dan Lucyta sebagai direkturnya.
Pada 1990, PT Pantai Aan memperoleh hak penggunaan lahan seluas hampir 12 hektare di Selong Belanak. Perusahaan yang didirikan pengusaha Australia dan Indonesia itu telah mengantongi izin membangun resor dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun rencana itu terganjal sengketa lahan dengan Sugiharta, salah satu juragan tanah di Selong Belanak.
PT Pantai Aan menuding Sugiharta, yang biasa dipanggil "Along", mencaplok sebagian lahan perusahaan itu di bibir pantai Selong Belanak. Sebaliknya, Sugiharta mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 6.100 meter persegi yang dipisahkan jalan dan sungai dengan lahan PT Pantai Aan itu. Anehnya, kedua pihak sama-sama punya sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Lombok Tengah.
Ketika menyambangi tanah sengketa di Selong Belanak pekan lalu, Tempo menemukan lahan tersebut tak terurus. Di bidang lahan yang dikuasai PT Pantai Aan, hanya semak belukar yang tampak. Penanda bahwa lahan itu milik PT Pantai Aan tinggal spanduk lusuh berukuran 2 x 1 meter. Spanduk itu bergambar pantai Selong Belanak. Di bagian atasnya tertulis "PT A'AN own by Bambang W. Soeharto".
Tanah yang diklaim milik Sugiharta juga sama tak terurusnya. Di sana-sini hanya ada rerumputan, berselang-seling dengan gundukan tanah bekas urukan yang tercecer. Mendekati bibir pantai, tanah yang diklaim milik Sugiharta kini menjadi permukiman nelayan yang tak tertata.
Pada Desember tahun lalu, Badan Pertanahan Nasional menengahi sengketa PT Aan dengan Sugiharta. BPN menyatakan terjadi tumpang-tindih sertifikat Sugiharta dan PT Pantai Aan. Karena itu, BPN meminta Sugiharta mengembalikan sertifikatnya untuk diperbaiki dan mengembalikan sebagian tanahnya kepada PT Pantai Aan.
Sugiharta pun sudah membuat pernyataan tertulis di depan pejabat BPN. Intinya, dia mengakui ada bagian tanahnya yang tumpang-tindih dengan tanah PT Pantai Aan. Sugiharta berjanji mengembalikan tanah itu tanpa kompensasi apa pun. Namun belakangan Sugiharta mencabut pernyataan tertulis itu. "Sewaktu membuat pernyataan, klien kami merasa tertekan," ujar pengacara Sugiharta, John Sidi Sidabutar.
Pada 3 April lalu, Bambang melaporkan Sugiharta ke Kepolisian Resor Praya. Bambang menuduh Sugiharta memalsukan sertifikat dan merugikan PT Pantai Aan sekitar Rp 5 miliar. Atas laporan Bambang, Sugiharta pernah ditahan selama tiga bulan, sejak awal Mei hingga awal Agustus lalu. "Sewaktu ditahan, klien kami diperlakukan mirip teroris. Keluarga tak boleh menjenguk tanpa seizin jaksa," kata John Sidi. Dia menyebut penahanan dan persidangan Sugiharta sebagai "kriminalisasi yang dipaksakan aparat".
Ketika perkara ini masih disidik Polres Praya, Bambang pernah menemui sejumlah pejabat polisi lokal, termasuk Kepala Satuan Reserse Polres Praya. Kepada Tempo, Bambang mengaku menanyakan perkembangan penyidikan kasus yang tertunda-tunda. Tapi dia membantah mendesak polisi menahan Sugiharta.
Lantas, pada saat berkas perkara masuk Kejaksaan Negeri Praya, Bambang pun menemui Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Praya Aprianto Kurniawan. Lewat Aprianto pula Bambang berkenalan dengan Kepala Kejaksaan Negeri Praya Subri. Sewaktu bertemu dengan Subri di kantornya, Bambang meminta berkas perkara segera dilimpahkan ke pengadilan. "Agar perkaranya segera selesai," ujar Bambang.
Sebelum perkara masuk pengadilan, Bambang juga pernah bertemu dengan Ketua Pengadilan Negeri Praya Sumedi. Pertemuan itu terjadi ketika ada sebuah acara di rumah Bupati Lombok Tengah Suhaili F.T. Ketika perkara sudah masuk pengadilan, kata Bambang, "Hakim Sumedi tak mau saya temui."
Nah, saat perkara yang dilaporkan Bambang terus bergulir, ganti Sugiharta melaporkan Bambang ke Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. Sugiharta menuduh Bambang melakukan pemalsuan atau memberi keterangan palsu.
Pada jeda antara pembacaan tuntutan dan vonis perkara pidana Sugiharta, Lucyta rupanya "bermain mata" dengan Subri. Dia menyerahkan sejumlah uang kepada Subri di Holiday Resort. Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mengusut kemungkinan peristiwa itu bukan penyerahan uang pertama oleh Lucyta.
Mengenal Lucyta sejak 20 tahun silam, Bambang mengaku tidak tahu-menahu soal penyuapan oleh orang kepercayaannya itu. Sewaktu Lucyta ditangkap, Bambang mengaku sedang menginap di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, bersama istri dan sahabatnya. "Jangankan menyuruh, tahu saja tidak," ujarnya.
Menurut Bambang, dia pertama kali tahu Lucyta ditangkap KPK dari istrinya, Lenny Marlina. Sekitar pukul 03.00, tujuh jam setelah penangkapan Lucyta, telepon Lenny berbunyi tanda ada pesan masuk. Pengirim pesan ternyata Budy Hermawan. Budy memberitahukan bahwa Lucyta ditangkap KPK bersama Subri.
Pada dinihari itu juga Budy meminta langsung berbicara dengan Bambang. Tapi Lenny tak berani membangunkan suaminya, yang semalaman tak bisa tidur karena batuk-batuk. Bambang pun baru menelepon Budy ketika bangun, sekitar pukul lima pagi. "Kalau sudah di tangan KPK, saya tak bisa apa-apa," kata Bambang mengulangi percakapan dia dengan Budy.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah meminta Imigrasi melarang Bambang ke luar negeri. Larangan serupa dikenakan pada jaksa dan hakim yang menangani perkara Sugiharta. Sebelum KPK melangkah lebih jauh, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung pun mulai mengusut dugaan pelanggaran etika oleh jaksa dan hakim itu. KPK sendiri yakin, seperti kasus korupsi lain, perkara ini tak hanya melibatkan satu atau dua orang.
Jajang Jamaludin, Anton Aprianto (Jakarta), Indra Wijaya, Supriyantho Khafid (Mataram)
Sengketa di Selong Belanak
Kendati mengantongi izin mengembangkan kawasan wisata di Selong Belanak, Lombok Tengah, PT Pantai Aan tak leluasa bergerak. Tanah yang langsung menyentuh bibir pantai dikuasai orang lain, Sugiharta. Aksi saling klaim lahan dan saling lapor ke polisi terjadi, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menangkap jaksa dan Direktur PT Pantai Aan.
1988
PT Pantai Aan mengajukan surat izin membangun hotel di Pantai Tanjung Aan kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat. Hotel mulai dibangun. Peletakan batu pertama oleh Gubernur NTB Gatot Suherman.
Juni 1989
Pembangunan hotel oleh PT Pantai Aan dihentikan ketika berjalan 80 persen.
1990
PT Pantai Aan mendapat kompensasi berupa izin pengembangan kawasan wisata seluas 11,4 hektare di Lot 10, Selong Belanak, Praya Barat, Lombok Tengah.
1993
PT Pantai Aan memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4 Tahun 1993/Desa Mangkung untuk lahan seluas 4,5 hektare di Selong Belanak.
2002
Sugiharta menguruk lahan rawa seluas 6.100 meter persegi. Berstatus tanah negara, lahan yang diuruk berada di bibir pantai, menutupi lahan PT Pantai Aan. Sugiharta membayar uang pengganti Rp 15 juta kepada warga penggarap lahan. Sebagian uang dipakai untuk membangun madrasah.
10 April 2003
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Sertifikat Hak Milik Nomor 99 Tahun 2003/Desa Selong Belanak untuk lahan seluas 6.100 meter atas nama Sugiharta.
November 2011
Sugiharta menjual tanahnya kepada Prabowo Hidayat.
22 Oktober 2012
BPN Lombok Tengah menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 21 Tahun 2012/Desa Selong Belanak atas nama PT Pantai Aan. Ini pengganti atas Sertifikat Nomor 4/1993/Desa Mangkung yang dikatakan hilang pada 2011. Luas tanah pada sertifikat ini 48.637 meter persegi.
20 Desember 2012
Sugiharta dipanggil BPN Lombok Tengah dan diberi tahu sebagian tanahnya, seluas 2.257 meter persegi, menumpang (overlap) pada tanah PT Pantai Aan. Sugiharta diminta membuat pernyataan untuk menyerahkan tanahnya kepada PT Pantai Aan.
26 Februari 2013
Sugiharta dan Prabowo membatalkan transaksi jual-beli. Sugiharta mengembalikan uang Rp 3,5 miliar kepada Prabowo.
3 April 2013
Bambang W. Soeharto melaporkan Sugiharta ke Polres Praya dengan tuduhan pemalsuan sertifikat, penyerobotan, dan penjualan lahan PT Pantai Aan. PT Pantai Aan menyatakan rugi Rp 5 miliar.
4 Mei 2013
Sugiharta mulai ditahan, sampai 5 Agustus 2013.
12 November 2013
Sugiharta melaporkan Bambang ke Kepolisian Daerah NTB dengan tuduhan pemalsuan atau membuat keterangan palsu.
20 November 2013
Jaksa menuntut Sugiharta tiga tahun penjara.
14 Desember 2013
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Praya Subri bersama Direktur PT Pantai Aan, Lucyta Anie Razak, di kamar Beach Bungalow Hotel Holiday Resort.
Berkumpul di Pantai Aan
PT Pantai Aan dibentuk pada 1988 sebagai perusahaan patungan CV Karya Semesta (milik Mesir Suryadi) dengan Aan Bay Ltd, Australia (milik Rorry Cornell Mactiernam). Pada November 1995, terjadi perubahan pemegang saham dan komposisi pengurus perseroan.
Saham Aan Bay Ltd digantikan Noble Bay Venture Inc dan PT Karya Semesta diganti PT Harmoni Enam Sahabat (PT Hebat).
Pengurus PT Pantai Aan
Direktur Utama: Bambang W. Soeharto
Direktur: Budy Hermawan, Lucyta Anie Razak (istri Budy Hermawan), Sumboon Yuprapan
Komisaris: Nely Sujono
Mereka Dicekal
Setelah menangkap Subri dan Lucyta, KPK meminta Imigrasi mencegah lima orang lainnya ke luar negeri.
Bambang W. Soeharto
Posisi: Direktur Utama PT Pantai Aan dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura.
Peran: Diduga mengetahui penyuapan oleh Lucyta dan berkepentingan agar Sugiharta dituntut berat oleh jaksa dan divonis bersalah oleh hakim.
Apriyanto Kurniawan
Posisi: Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Praya, jaksa penuntut umum kasus Sugiharta.
Peran: Diduga kerap bertemu dengan pengurus PT Pantai Aan ketika mereka masih beperkara (melaporkan) Sugiharta.
Sumedi
Posisi: Ketua Pengadilan Negeri Praya, ketua majelis hakim kasus pemalsuan dengan terdakwa Sugiharta.
Peran: Menolak permohonan penangguhan penahanan Sugiharta dan diduga sebagai target penyuapan.
Anak Agung Putra Wiratjaya
Posisi: Anggota majelis hakim kasus Sugiharta.
Peran: Menolak permohonan penangguhan penahanan Sugiharta dan diduga sebagai target penyuapan.
Dewi Santini
Posisi: Anggota majelis hakim kasus Sugiharta
Peran: Menolak permohonan penangguhan penahanan Sugiharta dan diduga sebagai target penyuapan.
Teks: Jajang Jamaludin, Supriyantho Khafid, Riset dan Wawancara
Royal, Tak Berprestasi
Bagi para petinggi kejaksaan yang pernah "singgah" di Mataram, Lombok, Subri dikenal sebagai kepala kejaksaan yang sangat sigap menyambut atasannya. Tak hanya menawarkan dan menyediakan tempat penginapan terbaik buat tamunya, jaksa 51 tahun ini juga royal memberi oleh-oleh untuk atasannya.
Kendati demikian, sepak terjang Subri yang "miring" sesungguhnya sudah tercium Kejaksaan Agung. Pada pertengahan 2012, Marwan Effendy, yang kala itu menjabat Jaksa Agung Muda Pengawasan, sudah memperingatkan Subri agar tidak menyalahgunakan posisinya sebagai jaksa. Ketika itu, informasi adanya permainan dalam kasus yang melibatkan perusahaan milik Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura Bambang W. Soeharto sudah masuk Kejaksaan Agung.
Marwan memberi peringatan kepada Subri di Bandar Udara Internasional Lombok. Kepada bawahannya tersebut, Marwan meminta tidak main-main dalam urusan kasus pemalsuan sertifikat tanah yang kini menjeratnya. "Waktu itu, dia hanya bilang, 'Siap Pak, siap Pak…'," ujar Marwan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Menurut jaksa yang pensiun pada Juli lalu ini, Kejaksaan ketika itu tidak menindak Subri lantaran tak memiliki bukti. Itu sebabnya, kata Marwan, pihaknya hanya memberi peringatan lisan. "Karena itu, saya kaget sewaktu mendengar dia ditangkap. Saya kira kasusnya sudah selesai."
Subri terhitung memiliki jam terbang cukup panjang sebagai jaksa. Dia pernah bertugas di Kejaksaan Tanjung Pandan, Riau. Dia juga pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Jambi, menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Subang, serta menjadi Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter Asisten Intelijen pada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Pada 2010, bapak tiga anak ini masuk sebagai anggota tim pemberantasan korupsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Kendati Subri terhitung jaksa senior, dalam penilaian Marwan, rekam jejaknya tak istimewa. Tak ada satu pun kasus besar yang dia ungkap. Demikian juga ketika ia duduk sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Jambi. Kinerjanya tak bisa disebut baik, apalagi gemilang. "Karena itu, saya kaget juga ketika tahu dia sudah jadi kepala kejaksaan negeri," ujar Marwan. Perihal kegemaran Subri men-"servis" atasannya, Marwan menyebut juga tahu soal itu. "Ini kultur yang tidak benar. Subri memang dikenal royal untuk hal demikian," katanya.
Berbeda dengan Marwan, Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Sugeng Pudjianto menilai Subri memiliki prestasi bagus sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Praya. Namun, saat ditanya prestasi baik yang mana, Sugeng menjawab pendek, "Pokoknya, semua perkara diselesaikan dengan baik. Produk-produknya juga ada." Kepala Pusat Penerangan Hukum Setia Untung Ari Muladi juga menyebutkan penunjukan Subri sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Praya merupakan bukti kinerjanya baik.
Kepada Tempo, Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi Syaifuddin Kasim menegaskan, Subri memang jaksa "tak bersih". Syaifuddin pernah bersama-sama Subri bertugas pada Jaksa Agung Muda Pengawasan, akhir 1990-an. Menurut dia, Subri justru terkesan bangga jika mendapat duit yang sebenarnya terlarang diterimanya. "Dia sering cerita dapat ini dapat itu…," kata Syaifuddin.
Febriyan, Supriyantho Khafid (Mataram), Syaipul Bakhori (Jambi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo