Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH besi tersandar di tembok depan gedung Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel, Gambir, Jakarta Pusat. Itulah besi-besi yang antara lain digunakan para pekerja sebagai pijakan saat memperbaiki beberapa bagian gereja yang rusak. Dibangun 174 tahun silam, sedari dulu gereja ini memang hanya diperbaiki sana-sini, tak pernah mengalami perombakan besar-besaran. Bangunannya tetap terlihat kokoh.
Gereja Immanuel berdiri di atas lahan seluas 6,8 hektare. Pemiliknya, GPIB, mengantongi bukti kepemilikan lahan berupa sertifikat hak milik nomor 82. Dari total seluruh lahan, gereja ini hanya menggunakan sebagian kecil, termasuk ruang kesekretariatan dan Majelis Sinode.
Nah, sebagian yang lain, bahkan terbesar, ditempati sekitar 250 keluarga. Mereka terdaftar sebagai warga Kelurahan Pejambon. Sebagian dari mereka dulu tentara. "Saya tinggal saat lahan ini masih kosong," kata Suwarna, 74 tahun, pensiunan Angkatan Darat, ketua rukun warga di Pejambon. Menurut Suwarna, penduduk sudah tinggal di tempat itu sejak 50 tahun silam. Kini total yang menempati, menurut dia, sekitar 1.500 orang.
Di lahan bagian belakang gereja itu juga berdiri Markas Batalion Perhubungan Angkatan Darat. Batalion itu sudah memanfaatkan lahan ini bertahun-tahun. Pada 27 Juli 2012, ketika Kepala Staf Angkatan Darat dijabat Jenderal Pramono Edhie, barulah pihak Angkatan Darat mengirimkan surat, menyatakan akan membeli lahan seluas 2,1 hektare yang telah menjadi markas batalion itu. Surat tersebut ditandatangani Asisten Logistik Mayor Jenderal Joko Sriwidodo.
Pihak Angkatan Darat menyatakan bersedia membeli lahan dengan harga Rp 3 juta per meter. Setelah melalui Persidangan Sinode Tahunan GPIB di Makassar, pada Februari 2013, dibuat harga kesepakatan: Rp 3,7 juta per meter. Artinya, harga total seluruh lahan yang diinginkan itu Rp 78 miliar.
Tapi sejumlah pendeta menolak kesepakatan itu. Mereka menuding kesepakatan itu tak sah. Berkumpul dalam Konsistorium Tim Warga Gereja Peduli GPIB, mereka meminta kesepakatan dibatalkan. Alasannya, selain harga itu masih jauh dari harga pasar—semestinya bisa Rp 15-30 juta per meter—lokasi ini masuk cagar budaya.
Menurut salah seorang pendeta yang tergabung dalam Konsistorium, Rohadi Sutisna, begitu ada rencana penjualan lahan, GPIB membentuk tim kajian internal. Tim ini memberi rekomendasi pada Persidangan Sinode Tahunan GPIB di Makassar perihal penjualan lahan gereja. "Rekomendasinya, tanah boleh dijual untuk kepentingan negara asalkan dibayar dari APBN, serta ada tim penaksir harga lahan sehingga mendapatkan harga yang layak," ucapnya.
Transaksi jual-beli terus berjalan. Pada 24 Juli 2013, masuk dana Rp 78 miliar ke rekening Majelis Sinode XIX—pimpinan kolegial GPIB—di Bank Indonesia. Sejumlah pengurus GPIB terkejut. Soalnya, pengirim duit itu ternyata PT Palace Hotel, perusahaan milik Grup Artha Graha. Artinya, dana itu bukan dari APBN.
Perihal pembelian ini, Wakil Asisten Logistik TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Bayu Purwiyono menjelaskan bahwa dalam APBN tak ada anggaran untuk pembelian tanah. Karena itu, TNI Angkatan Darat memakai dana dari PT Palace Hotel. Perusahaan ini, kata dia, merupakan anak usaha Yayasan Kartika Eka Paksi—yayasan di bawah naungan TNI Angkatan Darat. Di lahan seluas 2,1 hektare itu akan dibangun delapan tower mes tentara. "Kami kekurangan tempat tinggal untuk anggota," ujar Bayu, yang juga Ketua Tim Pembebasan Lahan Pejambon.
Setelah dana masuk, esoknya penandatanganan pelepasan lahan pun dilakukan antara perwakilan TNI Angkatan Darat dan Majelis Sinode. "Saya mengetahui itu dari kesaksian pendeta yang ikut," ucap Rohadi. Berita penandatanganan juga dimuat di majalah internal GPIB, Arcus, edisi Oktober-Desember 2013. "Proses mencapai kesepakatan ini 9-10 bulan," kata Ketua IV Majelis Sinode XIX Richard van der Muur dalam berita di Arcus.
Protes perihal penjualan lahan ini pun mencuat ke atas. Konsistorium, pada 26 November lalu, mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, mengadukan soal penjualan lahan itu. Surat itu dibalas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budiman.
Menurut Arie, gereja dan bangunan GPIB Immanuel merupakan bagian dari cagar budaya. Status ini ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 27 Februari 1988 dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta pada 10 Januari 1972, yang lalu diperbarui dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta pada 29 Maret 1993. Menurut aturan, setiap pengalihan bagian dari cagar budaya mesti melalui izin tertulis kepada gubernur. "Ini transaksi sudah berjalan, tapi belum memproses izin," ujar Arie kepada Tempo pekan lalu.
Menurut Raffles Situmeang, kuasa hukum Konsistorium, latar belakang persoalan penjualan aset ini semata masalah ekonomi. Penjualan itu disebabkan oleh adanya keperluan untuk dana pensiun Rp 76 miliar. Uang sebesar itu untuk membiayai sekitar seribu pensiunan dan calon pensiunan serta pendeta GPIB di seluruh Indonesia. Selain itu, GPIB tengah membutuhkan dana untuk renovasi Gereja Immanuel. Dana yang diperlukan Rp 15 miliar. "Perlu renovasi besar-besaran karena gedung sudah sangat tua," ucapnya.
Konsistorium, kata Raffles, meminta Majelis Sinode mengkaji ulang penjualan lahan kepada TNI Angkatan Darat. Konsistorium menuntut pembentukan tim independen, gabungan fungsionaris Majelis Sinode XIX, Majelis Jemaat GPIB, dan Konsistorium. "Supaya transparan, tak merugikan, dan tak menyalahi aturan kawasan cagar budaya," ujar Raffles.
Konflik internal perihal pelepasan lahan GPIB ini sudah ke mana-mana. Sheila Salomo, kuasa hukum pimpinan Majelis Sinode, mengatakan lahan yang dilepas kepada TNI bukan bagian dari cagar budaya. Dia mengutip Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1988 yang mengatur batas cagar budaya GPIB Immanuel. Batasnya adalah Jalan Pejambon (sebelah utara), perumahan penduduk (timur), perkantoran (selatan), dan Jalan Merdeka Timur (barat).
Jika akhirnya lahan itu jadi berpindah tangan, menurut Raffles, para penduduk juga bakal terusir. Apalagi, sejak 2007, warga di sana sudah mendapat surat pemberitahuan berulang kali dari Batalion Perhubungan bahwa mereka akan direlokasi.
Kepada Tempo, Suwarna bercerita, pihak TNI Angkatan Darat memang pernah menawarkan ganti rugi Rp 35 juta jika mereka bersedia pindah. Warga menolak. "Harganya sangat tak sebanding. Ini wilayah ring satu pusat pemerintahan. Siapa pun ingin tinggal di sini," kata Suwarna, yang menempati lahan 200 meter persegi. Pihak TNI menyebut itu sebagai "uang kerohiman". Jumlah "uang kerohiman" itu dinilai sangat kecil dan tak bisa mengganti biaya tempat tinggal di Jakarta. "Selama ini, meski tak memiliki sertifikat, penduduk setiap tahun membayar pajak bumi dan bangunan," ujarnya.
Kasus penjualan lahan GPIB itu juga mengundang keprihatinan sejumlah tokoh nasional. Politikus yang juga bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Sabam Sirait, misalnya, menyatakan penjualan itu sangat merugikan jemaat gereja. Menurut dia, bukan hanya GPIB di Gambir, aset GPIB di Bekasi, Cilacap, dan Yogyakarta pun sudah dijual. Aset itu sebagian besar berupa bangunan Belanda dan masuk cagar budaya. "Saya sedih setiap ada penjualan aset gereja," kata Sabam. Sejumlah sumber Tempo khawatir aset Gereja Immanuel itu kelak juga tak jatuh sepenuhnya ke TNI. "Bisa jadi nanti ujung-ujungnya yang menguasai pihak swasta," ujarnya.
Yuliawati, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo