Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sekali rri, tetap di udara

Sarana dan program rri tertinggal dari radio swasta. diusahakan kerja sama dengan swasta di bidang iklan. rri akan melakukan perbaikan.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarana dan program RRI tertinggal jauh dari radio swasta. Tapi diam-diam sedang diusahakan satu perbaikan besar, dan juga satu kerja sama dengan swasta di bidang iklan. RADIO Republik Indonesia (RRI) -- yang selalu menemui para pendengarnya di mana pun mereka berada -- adalah lambang perjuangan dan dedikasi. Dahulu, pada saat-saat meletusnya G30SPKI, studio RRI Jakarta tiba-tiba berubah menjadi ajang pertarungan yang sangat menentukan. Waktu itu, 25 tahun yang lampau, gedung RRI yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, masih merupakan bangunan peninggalan lama yang sangat sederhana. Kini studio itu sudah berubah menjadi gedung bertingkat, tetapi, bila dibandingkan dengan bangunan lain di sekitarnya, RRI masih saja tampak sederhana. Suasana di dalam bahkan lebih suram. Di satu serambi, terlihat dua piano tua yang sudah tidak berfungsi lagi karena rusak. Di ruang kerja redaksi, mesin ketik kuno merek Remington dan Oliver campur aduk antara yang masih terpakai dan yang sudah pensiun. Semua itu menebarkan suasana kusam dan pengap, yang semakin terasa bila Anda melangkah ke dalam ruangan seluas 21 m2 yang dipenggal tiga -- untuk memancarkan siaran Programa Ibu Kota, Programa Nasional, dan Siaran Luar Negeri. "Udara di sini benar-benar pengap," kata penyiar yang baru saja mengantarkan Warta Berita. Rasa gerah muncul, bukan saja karena ruangannya sempit, tapi juga lantaran AC-nya mogok. Namun, berbagai gangguan teknis itu tidak menghambat sang penyiar untuk tetap melantunkan suara merdu nan renyah. "Saudara, terimalah lagu-lagu klasik yang manis dari kami," ucapnya mendayu. Untuk sementara, mungkin itulah yang bisa diandalkan RRI. Suara merdu, pengucapan yang enak didengar, plus kesetiaan pada masyarakat pendengarnya. Kelak, paling cepat awal 1992 -- bila rencana renovasi Direktorat Radio disetujui oleh Departemen Keuangan dan Departemen Penerangan -- gangguan teknis akan tak ada lagi, dan suasana yang serba suram akan lenyap. Peralatan kuno pun segera digantikan dengan alat-alat mutakhir. Idealnya memang begitu. Nah, agar sampai ke sana, dalam mengolah bisnis iklan, RRI akan bekerja sama dengan swasta. Bila hal itu disetujui, penerimaan iklan RRI diperkirakan bisa lebih besar. Kini, siaran iklan RRI belum sampai 15% dari total jam siaran. Dengan partisipasi swasta, omset ini diharapkan naik menjadi 25% -- berarti "jatah beriklan" yang diizinkan Pemerintah akan terpenuhi. Mengapa harus swasta? Direktur Radio, M. Arsyad Subik, mengakui, selama ini iklan di RRI tidak diusahakan secara profesional. Salah satu kendalanya adalah karena pegawai negeri menempatkan dirinya sebagai abdi negara. "Nah, untuk memadukan pegawai negeri dengan profesi bisnis inilah yang sulit," Arsyad menjelaskan. Bertolak dari pemikiran demikian, ia lebih setuju jika periklanan RRI ditangani oleh swasta, yang sudah jelas kebolehan profesionalnya. Memang, dengan ditangani sendiri pun, pemasukan iklan RRI (dari 49 stasiunnya) selalu meningkat. Tahun lalu pendapatan iklan RRI tak kurang dari Rp 400 juta. "Dengan tenaga profesional, kami harapkan pemasukan iklan akan lebih meningkat," ujar Arsyad. Nah, dari pendapatan itulah RRI akan membeli alat-alat baru. Ini penting. Agar tidak ada lagi orang yang iseng berkomentar, "Ini dia RRI," begitu ia mendengar suara yang "tidak stereo". Kenyataan inilah yang segera akan dipupus oleh Arsyad dengan membeli alat-alat canggih, keinginan yang tentu saja masih tetap tinggal impian. Untuk mengubah impian jadi kenyataan, bagi RRI bukan perkara mudah. Walaupun penerimaan iklan bertambah, RRI tidak bisa langsung menggunakan dana tersebut karena, menurut peraturan yang berlaku, harus disetorkan dahulu ke kas Pemerintah. Itu berarti, andalan RRI tetaplah anggaran yang disediakan Pemerintah. Tahun lalu, misalnya, RRI memperoleh anggaran Rp 23,5 milyar. Menurut Arsyad, 60% dari dana sebesar itu habis untuk membayar gaji 8 ribu karyawan. Sisanya, yang kurang dari Rp 10 milyar, dipakai untuk modal kerja sehari-hari -- - termasuk biaya pemeliharaan dan biaya produksi. Tak heran bila RRI selalu berhemat. Untuk biaya operasi, misalnya hanya tersedia dana Rp 21 ribu per jam, sedangkan layaknya rata-rata Rp 500 ribu per jam. Dalam hal ini, nyata benar beda RRI dengan radio swasta. "Kesenjangan" semacam ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kerja sama dengan swasta adalah terobosan ke arah mengatasi kesenjangan. Terobosan itu sudah dirintis tiga tahun lalu, melalui RRI Denpasar yang bekerja sama dengan Radio Prambors-Jakarta, PT Ario Bimo (penyandang dana), dan PT Sonata Daya Cipta Denpasar (operator). Bagaimana gaya radio patungan itu? Dengan nama 93,5 FM, pemancar ini tampil lain. Di sini, ada siaran khusus berbahasa Inggris -- selama empat jam sehari -- yang diperuntukkan bagi para turis. Ada juga acara yang dikhususi untuk para remaja, misalnya kuis. Pokoknya, tak jauh berbeda dengan acara yang ditampilkan radio swasta. Ternyata, kontrak kerja sama yang rencanakan untuk satu tahun ini tidak diperpanjang lagi. Kontraknya memang untuk satu tahun itu saja. Sementara ini, RRI menunggu keputusan Pemerintah mengenai hubungan kerja samanya dengan swasta. Katakanlah Pemerintah setuju, apakah RRI akan bersaing dalam gaya swasta? "Tentu saja tidak. Kami kan punya misi," jawab Arsyad. Jadi, andai kata akhirnya RRI bisa mengudara dengan full stereo, lembaga tetap mengutamakan kesenian Indonesia (80%). Sisanya baru diisi dengan lagu-lagu asing. "Kalau kami mengutamakan acara untuk memenuhi selera remaja," demikian Arsyad, "RRI bukan lagi radio republik." Budi Kusumah, Siti Nurbaiti, dan Silawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus