Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perzinaan versi peradilan desa

Aparat desa purnama, dumai, riau menjadi hakim sidang perzinaan a taw alias entok,37, dengan misni, 25. hasilnya memuaskan semua pihak, termasuk suami misni, ramli,30.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aparat desa menjadi hakim sidang perzinaan. Hasilnya memuaskan semua pihak. INILAH "mahkamah rakyat". Malam itu ruang tamu rumah Sodek, yang berdinding tepas dengan ukuran 4 X 4 meter, penuh oleh penduduk. Sementara itu, puluhan orang melongok lewat jendela atau mengintip dari celah dinding. Di ruangan itu duduk Sodek dan Wan Abdul Gani, yang berperan sebagai "para hakim". Di hadapan mereka dua orang "terdakwa" A Taw alias Entok, 37 tahun, dan Misni, 25 tahun, tertunduk malu tak berani menantang mata. Mereka memang dituduh melakukan perzinaan. "Peradilan" di Desa Purnama, Dumai, Riau, pertengahan bulan lalu itu bukan sandiwara. Ada belasan pengunjung hadir. Selain aparat desa, juga sejumlah saksi, termasuk Ramli, 30 tahun, suami Misni. Suatu sore, menjelang magrib belasan anak muda desa itu mencium perbuatan terkutuk terjadi di rumah Ramli. Ketika itu Ramli sedang pergi ke masjid. Begitu mereka mendobrak pintu, tampak sepasang insan terburu-buru membenahi pakaiannya. Entok dan Misni pun tertangkap basah. Kedua orang itu pun digiring ke rumah Sodek, yang juga ketua RW di kampung itu. "Mahkamah rakyat" pun digelar. Tapi, belum lagi hakim membuka suara. Pengunjung telah berteriak minta keadilan. "Rendam saja mereka di parit," kata seseorang. Bahkan, ada yang menjerit lantang, "Bunuh mereka, bunuh." Untunglah, Sodek di situ segera mengarahkan sidang. "Kalian berdua malam ini akan kami serahkan pada polisi," katanya. Tapi Entok menyela, "Kita damai-damai saja, Pak." pintanya, menggigil. Mendengar itu, pengunjung sidang kembali riuh dengan teriakan-teriakan. Kali ini, sekretaris desa, Wan Abdul Gani, minta hadirin tenang. Setelah berpepatah-petitih, ia meminta pendapat Ramli, orang yang paling dirugikan atas perbuatan Entok. Ternyata, dari petani singkong ini tak terdengar suara keras. Saya mau berdamai saja, Pak," kata ayah seorang anak itu. Suasana sidang pun berubah jadi antiklimaks. Singkat kata, semua sepakat menempuh jalan damai. Pada mulanya Entok diminta membayar denda Rp 4,5 juta. Karena ia tak sanggup, tawaran anjlok menjadi Rp 2 juta, tapi harus dibayar kontan esok harinya. Sebuah surat perjanjian pun diketik di atas kertas biasa. Lalu ditandatangani oleh Entok, Ramli, Misni, aparat desa, dan tiga saksi mewakili warga desa. Ternyata, keesokan harinya, eksekusi putusan itu berjalan mulus. Entok mengantar langsung duit itu. Yang menarik, Ramli juga menerimanya. Ia mengaku tak lagi dendam pada Entok dan telah memaafkan istrinya. "Saya tak akan menceraikan dia," kata Ramli kepada TEMPO. Seorang pemangku adat Melayu Riau di Pekanbaru, Wan Ghalib, 70 tahun, menilai peradilan di rumah Sodek itu sah saja di mata adat. "Itu kan perdamaian yang dilakukan kerapatan suku," kata anggota DPRD Riau ini pada TEMPO. Diakuinya eksistensi kerapatan suku telah digantikan kepala desa sejak kemerdekaan RI. Kerapatan suku ini, menurut Wan Ghalib, memang dikenal pada masa Kerajaan Siak tempo doeloe. Pada peradilan sekarang ada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, mereka dulu juga mengenal Kerapatan Suku, Kerapatan Datuk, dan Sultan. Denda itu pun macam-macam. Bisa berupa sejumlah duit atau denda yang dianggap bernilai magis seperti keris. Menurut Ghalib, jika kasus Entok dan Misni itu dibawa ke pengadilan akan ada yang kalah dan menang hingga bisa melahirkan dendam. Sedangkan dalam peradilan adat, tak ada istilah kalah dan menang. "Semuanya puas tanpa dendam," katanya. Bersihar Lubis & Munawar Chalil (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus