Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tiba Di Mata & Mengendap Di A Seng

Pn. tanjung balai menjatuhkan hukuman terhadap pembunuh a seng. seorang nekhoda pukat harimau yang diserbu para nelayan tradisional karena melanggar batas di pantai tanjug jumpul, kabupaten asahan. (krim)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK bisa lain, kematian Wie Kian Weng alias A Seng (35 tahun) adalah karena pembunuhan. Walaupun sebabnya boleh jadi karena kesalahan si korban sendiri. Karena itu hakim Peradilan Negeri Tanjungbalai, 22 Desember lalu, memutuskan: para terdakwa Udin Effendy dan Mohammad Salim masing-masing dihukum 5 tahun penjara. Sedang lainnya, Muhtar Dalimunte, Usman Sitorus dan Suhaimi Said, kena 3 tahun penjara. Mereka dianggap telah terbukti bersama-sama melakukan pembunuhan atas A Seng bulan Juni yang lalu. Kejadian itu dimulai ketika sebuah kapal ikan pukat harimau, yangtengah memukat di 2 mil dari Pantai Tanjung Jumpul, Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), dirapati oleh 8 perahu motor yang mengangkut sekitar 42 nelayan. Rupanya hari itu, 26 Juni tahun lalu, dendam para nelayan tradisionil meledak. Mereka menyerbu kapal S7 nomor 2550 yang tengah melanggar batas penangkapan ikan -- yang mestinya tak boleh kurang 6 mil dari pantai. Dalam huru hara itulah A Seng tewas. Mayatnya ditemukan mengapung di laut keesokan harinya. Siapa yang bertanggungjawab? Semua nelayan yang menyerbu merasa ikut bertanggungjawab. Namun 5 orang di antara mereka, yang paling dekat dengan A Seng ketika peristiwa terjadi, dianggap paling bertanggungjawab. Mula-mula, seperti keterangan yang diperoleh dalarn pemeriksaan pendahuluan, Mohammad Salim-lah yang mengaku menghunjamkan pisau ke tubuh A Seng. Udin Effendy tak mau kalah. Ia juga merasa telah berbuat hal yang sama. Kedua-duanya ngotot. Namun belakangan para hakim pun dibikin pusing: mereka bersama-sama mencabut pengakuannya. Jadi entah pisau siapa yang pernah membuat bencana bagi A Seng. Seluruh Nelayan Tapi dari berbagai pengakuan para saksi, akhirnya. majelis hakim Pangeran Siregar (Ketua), Mukmin Siregar dan BH Gultom (Anggota) dapat menyatakan: Mohammad Salim dinyatakan orang yang menikam A Seng dan Udin yang kemudian mendorongnya hingga kaki korban lepas dari lantai kapal. Dan ketika korban menggelantung dengan tangan erat berpegangan pada sisi kapal, Udin menghantamnya lagi. Akhirnya Salim yang terakhir bekerja: memutuskan tali pukat, harapan terakhir dari usaha A Seng untuk tetap hidup. Terdakwa yang lain dinyatakan juga ikut bersalah: mencegah awak kapal yang hendak menyelamatkan A Seng. Pembela Mansen Purba, yang diminta organisasi para nelayan (HNSI) mendampingi para tertuduh, berusaha membebaskan kliennya. Ia menyangkutkan perkara sekedar pembunuhan terhadap A Seng, pada urusan yang lebih luas. Katanya, walaupun secara hukum para tertuduh pribadi yang diseret ke pengadilan, "tak dapat diungkiri kenyaaannya yang diadili adalah seluruh nelayan tradisionil Indonesia . . . " Pengadilan, yang cuma memeriksa urusan pembunuhan, rupanya tak sependapat dengan pembela. Tapi lumayan. Para nelayan yang berjubel di gedung pengadilan bertepuk dan berteriak hangat, membenarkan ucapan sang pembela. Kejadian yang meledak di laut, menurut Purba, sebenarnya bukan kesalahan para nelayan. Telah beberapa kali dipergoki pukat harimau, musuh bebuyutan para nelayan kecil, selalu melangar batas penangkapan yang diizinkan yang mereka. Coba, sudah berapa kapal yang ditangkap? Dan bagaimana penyelesaiannya? "Besoknya mereka telah beroperasi dilaut kembali." Dan kembali pula melanggar aturan. Terdakwa sendiri seperti Udin, menurut orang NSI telah beberapa kali menangkap pukat harimau dan menyerahkan kepada petugas negara menurut cara yang baik. Namun Udin, juga para nelayan lain, selalu kecewa: pukat celaka itu tetap saja menjaring nafkah nelayan kecil. "Keadaan demikian itulah yang melatarbelakangi perkara ini," kata Purba. Keadaan yang makin payah, petugas negara tak lagi mampu mencegah 'perampokan' nafkah nelayan oleh pukat harimau, "tiba di mata dipicingkan, mengendap di hati menggumpal jadi kedongkolan." Apa lagi? Jadi Pembela, dengan'alasan nasional' itu, minta agar setidaknya terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebab apa yaulg mereka lakukan, tak lebih, "dari pembelaan diri karena darurat." Yaitu membela rezeki yang dirampok orang. Tapi putusan hakim sudah jatuh. Soal pembunuhan selesai sudah. Soal nasib nelayan lain lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus