TAK bisa lain, kematian Wie Kian Weng alias A Seng (35 tahun)
adalah karena pembunuhan. Walaupun sebabnya boleh jadi karena
kesalahan si korban sendiri. Karena itu hakim Peradilan Negeri
Tanjungbalai, 22 Desember lalu, memutuskan: para terdakwa Udin
Effendy dan Mohammad Salim masing-masing dihukum 5 tahun
penjara. Sedang lainnya, Muhtar Dalimunte, Usman Sitorus dan
Suhaimi Said, kena 3 tahun penjara. Mereka dianggap telah
terbukti bersama-sama melakukan pembunuhan atas A Seng bulan
Juni yang lalu.
Kejadian itu dimulai ketika sebuah kapal ikan pukat harimau,
yangtengah memukat di 2 mil dari Pantai Tanjung Jumpul,
Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), dirapati oleh 8 perahu motor
yang mengangkut sekitar 42 nelayan. Rupanya hari itu, 26 Juni
tahun lalu, dendam para nelayan tradisionil meledak. Mereka
menyerbu kapal S7 nomor 2550 yang tengah melanggar batas
penangkapan ikan -- yang mestinya tak boleh kurang 6 mil dari
pantai. Dalam huru hara itulah A Seng tewas. Mayatnya ditemukan
mengapung di laut keesokan harinya.
Siapa yang bertanggungjawab? Semua nelayan yang menyerbu merasa
ikut bertanggungjawab. Namun 5 orang di antara mereka, yang
paling dekat dengan A Seng ketika peristiwa terjadi, dianggap
paling bertanggungjawab. Mula-mula, seperti keterangan yang
diperoleh dalarn pemeriksaan pendahuluan, Mohammad Salim-lah
yang mengaku menghunjamkan pisau ke tubuh A Seng.
Udin Effendy tak mau kalah. Ia juga merasa telah berbuat hal
yang sama. Kedua-duanya ngotot. Namun belakangan para hakim pun
dibikin pusing: mereka bersama-sama mencabut pengakuannya. Jadi
entah pisau siapa yang pernah membuat bencana bagi A Seng.
Seluruh Nelayan
Tapi dari berbagai pengakuan para saksi, akhirnya. majelis hakim
Pangeran Siregar (Ketua), Mukmin Siregar dan BH Gultom (Anggota)
dapat menyatakan: Mohammad Salim dinyatakan orang yang menikam
A Seng dan Udin yang kemudian mendorongnya hingga kaki korban
lepas dari lantai kapal. Dan ketika korban menggelantung dengan
tangan erat berpegangan pada sisi kapal, Udin menghantamnya
lagi. Akhirnya Salim yang terakhir bekerja: memutuskan tali
pukat, harapan terakhir dari usaha A Seng untuk tetap hidup.
Terdakwa yang lain dinyatakan juga ikut bersalah: mencegah awak
kapal yang hendak menyelamatkan A Seng.
Pembela Mansen Purba, yang diminta organisasi para nelayan
(HNSI) mendampingi para tertuduh, berusaha membebaskan kliennya.
Ia menyangkutkan perkara sekedar pembunuhan terhadap A Seng,
pada urusan yang lebih luas. Katanya, walaupun secara hukum para
tertuduh pribadi yang diseret ke pengadilan, "tak dapat
diungkiri kenyaaannya yang diadili adalah seluruh nelayan
tradisionil Indonesia . . . "
Pengadilan, yang cuma memeriksa urusan pembunuhan, rupanya tak
sependapat dengan pembela. Tapi lumayan. Para nelayan yang
berjubel di gedung pengadilan bertepuk dan berteriak hangat,
membenarkan ucapan sang pembela.
Kejadian yang meledak di laut, menurut Purba, sebenarnya bukan
kesalahan para nelayan. Telah beberapa kali dipergoki pukat
harimau, musuh bebuyutan para nelayan kecil, selalu melangar
batas penangkapan yang diizinkan yang mereka. Coba, sudah berapa
kapal yang ditangkap? Dan bagaimana penyelesaiannya? "Besoknya
mereka telah beroperasi dilaut kembali." Dan kembali pula
melanggar aturan. Terdakwa sendiri seperti Udin, menurut orang
NSI telah beberapa kali menangkap pukat harimau dan
menyerahkan kepada petugas negara menurut cara yang baik. Namun
Udin, juga para nelayan lain, selalu kecewa: pukat celaka itu
tetap saja menjaring nafkah nelayan kecil.
"Keadaan demikian itulah yang melatarbelakangi perkara ini,"
kata Purba. Keadaan yang makin payah, petugas negara tak lagi
mampu mencegah 'perampokan' nafkah nelayan oleh pukat harimau,
"tiba di mata dipicingkan, mengendap di hati menggumpal jadi
kedongkolan." Apa lagi? Jadi Pembela, dengan'alasan nasional' itu,
minta agar setidaknya terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebab
apa yaulg mereka lakukan, tak lebih, "dari pembelaan diri karena
darurat." Yaitu membela rezeki yang dirampok orang. Tapi putusan
hakim sudah jatuh. Soal pembunuhan selesai sudah. Soal nasib
nelayan lain lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini