SETELAH S. Soedjojono menjadi tua dan jarang bicara, agak lama
orang ragu apakah "realisme" dalam seni rupa Indonesia akan
punya gebrakan baru. Gebrakan terakhir "realisme" kalau istilah
ini boleh dipakai terus di sini - adalah lewat pengeras suara
Lekra. Tapi "realisme sosialis" yang diambil para ideolog Lekra
dari Eropa ini segera kehilangan harga. Bukan cuma karena Lekra
ikut dikubur bersama induknya, PKI, tapi karena pada dasarnya
konsep "realisme sosialis" itu tak begitu jelas. Pengalaman,
yang belum dialami atau diakui oleh para pelukis Lekra, kemudian
menunjukkan bahwa arah "realisme sosialis" toh tergantung
kehendak partai. Dan seperti nampak di Uni Soviet dan RRT, itu
biasanya tanpa imajinasi lagi.
Tapi tiba-tiba pada Pebruari 1977 dalam ruang pameran Taman
Ismail Marzuki, waktu sejumlah pelukis muda berpameran, muncul
lima lukisan seorang anak muda berumur 21 tahun. Ada wanita
berbaju jean yang bak lukisan, ada dua potret diri, ukuran
besar, ada sebatang tubuh kurus terbaring (dan lukisan itu
ditelentangkan di lantai) ada satu piring berisi kroket. Itu
adalah lukisan Dede. Dan dalam pameran pelukis muda pertengahan
bulan lalu (mulai 17 Desember), corak yang sama muncul.
Kali ini Dede diikuti teman-temannya. Di samping lukisan Bung
Karnonya, seorang pemuda bernama Redha Sorana tampil dengan
semacam "reproduksi" Mona Lisa karya Da Vinci meskipun wajahnya
kali ini berubah jadi wanita berkaca mata dan kanvas dikelilingi
bunga anggrek betul-betul. Tak jauh dari situ: lukisan Bambang
Sudarto pelukis muda sebaya, berjudul Kehilangan Wajah. Di
kanvas seorang lelaki duduk dengan anjingnya di hutan. Tapi
bagian kepala lelaki itu digambar seperti telah sobek dan
ditempelkan kembali.
Tak pelak lagi: sejenis "realisme" muncul - dengan kecakapan
teknis yang tak disangka-sangka akan bisa terdapat pada pelukis
muda sekarang, ketika dengan dalih "avant-garde" mereka bisa
menyembunyikan kedodorannya.
Tapi "realisme" Dede dan kawan-kawannya dalam banyak hal
mengandung cemooh juga terhadap realisme yang pernah dikenal di
Indonesia. Soedjojono, dalam lukisan-lukisannya yang dulu,
menampakkan greget kepada realitas. Ada passi seperti dalam
sajak Chairil Anwar, suatu hal yang menyebabkan banyak karyanya
lebih hidup ketimbang Sudarso--yang manis tapi datar - atau
Dullah, Trubus dan lain-lain, termasuk lukisan Soedjojono
sendiri sekarang. Tapi Soedjojono agaknya teramat serius, juga
dalam humornya seperti yang nampak pada Cap Go Meh-nya dulu.
Dede dan generasinya, sebaliknya, bisa main-main, bisa
menyindibisa biasabiasa saja, seperti tanpa ide (misalnya
potret Bung Karno itu),.atau bisa seakan mimpi hingga melebur
batas dengan surrealisme. "Saya sendiri bisa saja dari realisme
berpindah ke bukan realisme," kata Dede, yang menentang ide
bahwa pelukis harus punya "spesialisasi."
Tidak mudah diketahui persis dari mana Dede dan kawan-kawannya
menapis sumber artistik dan intelektuilnya - dia tak bisa
mengatakan itu--kecuali dugaan samar-samar. Seperti banyak
seniman muda, Eropa bukan lagi kiblat. Barangkali, sesuai
pergeseran kenyataan sejak 1960-an, Amerika lebih pegang
peranan.
Tapi Dede sendiri tak mungkin jadi kelihatan seperti sekarang
tanpa pengalamannya yang khusus sejak anak. Ia berasal dari
keluarga Sunda, lahir di Jakarta 29 Januari 1956. Ia anak ke-7
dari 8 saudara. Ayahnya seorang guru, pernah jadi direktur STM
Budi Utomo Jakarta, yang di waktu senggang gemar menggambar
potret-potret keluarga. Dede Herri Supria dilatihnya juga
menggambar. Tapi baru di kelas IV SD angka yang didapatnya untuk
pelajaran menggambar nampak naik. Bahkan ketika ia sudah di SMP
Trisula, Jakarta dan mendirikan "sanggar" dengan tiga temannya
lagi, ia tak pernah memenangkan satu hadiah pun dari lomba
melukis nasional maupun internasional.
Tapi rupanya Dede sudah memilih niat. Di waktu keadaan ekonomi
keluarganya gawat, ia membantu ayahnya menggambar potret para
tetangga dan kenalan--untuk dapat tambahan penghasilan. Di kelas
VI ia mengesankan seorang bibinya. Di kelas II SMP oleh bibinya
Dede dimasukkan jadi murid menggambar Pak Ooq di Jakarta - tapi
si anak tidak puas. Kemudian ia masuk SSRI (Sekolah Menengah
Seni Rupa Indonesia) di Yogya, suatu pendidikan tingkat SMA.
Tapi setelah tiga tahun, ia keluar. (lihat: wawancara).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini