Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Realisme Setelah Soedjojono

Dede supria, 22, mengadakan pameran di tim des '77. juga ikut dipamerkan lukisan redha sorana dan bambang sudarto. ketiganya merupakan pelukis beraliran "realisme". (sr)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH S. Soedjojono menjadi tua dan jarang bicara, agak lama orang ragu apakah "realisme" dalam seni rupa Indonesia akan punya gebrakan baru. Gebrakan terakhir "realisme" kalau istilah ini boleh dipakai terus di sini - adalah lewat pengeras suara Lekra. Tapi "realisme sosialis" yang diambil para ideolog Lekra dari Eropa ini segera kehilangan harga. Bukan cuma karena Lekra ikut dikubur bersama induknya, PKI, tapi karena pada dasarnya konsep "realisme sosialis" itu tak begitu jelas. Pengalaman, yang belum dialami atau diakui oleh para pelukis Lekra, kemudian menunjukkan bahwa arah "realisme sosialis" toh tergantung kehendak partai. Dan seperti nampak di Uni Soviet dan RRT, itu biasanya tanpa imajinasi lagi. Tapi tiba-tiba pada Pebruari 1977 dalam ruang pameran Taman Ismail Marzuki, waktu sejumlah pelukis muda berpameran, muncul lima lukisan seorang anak muda berumur 21 tahun. Ada wanita berbaju jean yang bak lukisan, ada dua potret diri, ukuran besar, ada sebatang tubuh kurus terbaring (dan lukisan itu ditelentangkan di lantai) ada satu piring berisi kroket. Itu adalah lukisan Dede. Dan dalam pameran pelukis muda pertengahan bulan lalu (mulai 17 Desember), corak yang sama muncul. Kali ini Dede diikuti teman-temannya. Di samping lukisan Bung Karnonya, seorang pemuda bernama Redha Sorana tampil dengan semacam "reproduksi" Mona Lisa karya Da Vinci meskipun wajahnya kali ini berubah jadi wanita berkaca mata dan kanvas dikelilingi bunga anggrek betul-betul. Tak jauh dari situ: lukisan Bambang Sudarto pelukis muda sebaya, berjudul Kehilangan Wajah. Di kanvas seorang lelaki duduk dengan anjingnya di hutan. Tapi bagian kepala lelaki itu digambar seperti telah sobek dan ditempelkan kembali. Tak pelak lagi: sejenis "realisme" muncul - dengan kecakapan teknis yang tak disangka-sangka akan bisa terdapat pada pelukis muda sekarang, ketika dengan dalih "avant-garde" mereka bisa menyembunyikan kedodorannya. Tapi "realisme" Dede dan kawan-kawannya dalam banyak hal mengandung cemooh juga terhadap realisme yang pernah dikenal di Indonesia. Soedjojono, dalam lukisan-lukisannya yang dulu, menampakkan greget kepada realitas. Ada passi seperti dalam sajak Chairil Anwar, suatu hal yang menyebabkan banyak karyanya lebih hidup ketimbang Sudarso--yang manis tapi datar - atau Dullah, Trubus dan lain-lain, termasuk lukisan Soedjojono sendiri sekarang. Tapi Soedjojono agaknya teramat serius, juga dalam humornya seperti yang nampak pada Cap Go Meh-nya dulu. Dede dan generasinya, sebaliknya, bisa main-main, bisa menyindibisa biasabiasa saja, seperti tanpa ide (misalnya potret Bung Karno itu),.atau bisa seakan mimpi hingga melebur batas dengan surrealisme. "Saya sendiri bisa saja dari realisme berpindah ke bukan realisme," kata Dede, yang menentang ide bahwa pelukis harus punya "spesialisasi." Tidak mudah diketahui persis dari mana Dede dan kawan-kawannya menapis sumber artistik dan intelektuilnya - dia tak bisa mengatakan itu--kecuali dugaan samar-samar. Seperti banyak seniman muda, Eropa bukan lagi kiblat. Barangkali, sesuai pergeseran kenyataan sejak 1960-an, Amerika lebih pegang peranan. Tapi Dede sendiri tak mungkin jadi kelihatan seperti sekarang tanpa pengalamannya yang khusus sejak anak. Ia berasal dari keluarga Sunda, lahir di Jakarta 29 Januari 1956. Ia anak ke-7 dari 8 saudara. Ayahnya seorang guru, pernah jadi direktur STM Budi Utomo Jakarta, yang di waktu senggang gemar menggambar potret-potret keluarga. Dede Herri Supria dilatihnya juga menggambar. Tapi baru di kelas IV SD angka yang didapatnya untuk pelajaran menggambar nampak naik. Bahkan ketika ia sudah di SMP Trisula, Jakarta dan mendirikan "sanggar" dengan tiga temannya lagi, ia tak pernah memenangkan satu hadiah pun dari lomba melukis nasional maupun internasional. Tapi rupanya Dede sudah memilih niat. Di waktu keadaan ekonomi keluarganya gawat, ia membantu ayahnya menggambar potret para tetangga dan kenalan--untuk dapat tambahan penghasilan. Di kelas VI ia mengesankan seorang bibinya. Di kelas II SMP oleh bibinya Dede dimasukkan jadi murid menggambar Pak Ooq di Jakarta - tapi si anak tidak puas. Kemudian ia masuk SSRI (Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia) di Yogya, suatu pendidikan tingkat SMA. Tapi setelah tiga tahun, ia keluar. (lihat: wawancara).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus