Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tragedi Kamar 432

Penyanyi Alda tewas akibat narkoba. Ditemukan 20 bekas suntikan baru di tubuhnya. Seorang pengusaha terlibat.

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran Alda Risma Elvariana tak menarik perhatian pengunjung Hotel Grand Menteng, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, pada 10 Desember lalu. Resepsionis hanya berkomunikasi dengan pria yang menggandeng perempuan 24 tahun itu.

Si pria memesan kamar. Dia menyodorkan identitasnya. Di situ tertera nama Ferry Surya, 33 tahun. Resepsionis menyerahkan kunci 432. Ini kamar standar seharga Rp 350 ribu, sudah termasuk sarapan pagi. Sejak itu, petugas hotel tak pernah bersua pasangan itu. Tetapi ada yang melihat empat pria keluar-masuk kamar mereka.

Dua hari berselang, selepas magrib, Ferry menelepon petugas hotel minta dipanggilkan taksi. ”Untuk membawa Alda ke rumah sakit,” katanya kepada petugas hotel. ”Tapi tubuhnya sudah dingin saat kami gotong ke dalam taksi,” kata seorang sopir taksi yang mangkal di depan hotel. ”Dia banyak minum obat tidur,” kata Ferry kepada sopir taksi.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit Mitra Internasional, Jatinegara, Jakarta Timur, Ferry menelepon Halimah, ibu kandung Alda. ”Dia mengabari kami sedang membawa Alda ke rumah sakit,” kata seorang kerabat Alda. Malam itu juga Halimah keluar rumah bersama dua adik Alda, mencari tahu kondisi anaknya. ”Kami panik,” kata Halimah.

Kondisi Alda ternyata mengkhawatirkan. Tubuhnya dingin, jantung tak berdetak. Dari mulutnya terus-menerus keluar busa bercampur darah. Petugas rumah sakit angkat tangan. ”Mungkin meninggal dalam perjalanan,” kata Komisaris Besar Robinson Manurung, Kepala Kepolisian Resor Jakarta Timur, kepada Sofian dari Tempo.

Petugas rumah sakit Mitra Internasional memberi rujukan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Taksi melanjutkan perjalanannya. Tapi Ferry balik ke hotel, membayar kamar, lalu menghilang. ”Dia sempat menelepon saya, sambil menangis dia menceritakan kondisi Alda,” kata Wisnu Perkasa, kakak kandung Ferry, kepada polisi.

Mendapat kabar kematian Alda yang tak wajar, Robinson Manurung menerjunkan resersenya ke hotel dan rumah sakit. Ada juga polisi yang menghubungi keluarganya, mengabarkan nasib Alda.

Di kamar 432 hotel itu, polisi menemukan tiga jarum suntik, 11 botol minuman keras berkadar alkohol 45 persen, serta alat kontrasepsi. Bercak darah menodai seprai. ”Mungkin keluar dari mulut Alda,” kata Robinson.

Dari RSCM diperoleh kabar Alda tewas mengkonsumsi narkoba berlebihan. ”Dia sudah tak bernyawa saat tiba kemari, tapi mulutnya berbusa,” kata Zulhasmar Syamsu, dokter yang mengotopsi Alda. Dokter menemukan 20 suntikan di tubuh Alda. ”Umumnya suntikan baru karena ada tanda lebam,” katanya. ”Tapi tak ada bekas kekerasan.”

Itulah sebabnya polisi tetap memburu Ferry dan orang lain yang berada di kamar 432. ”Sebab, ada penyalahgunaan narkoba,” kata Robinson. Lagi pula, suntikan yang begitu banyak memang sangat mencurigakan. Polisi telah memeriksa enam saksi dalam kasus ini. Salah satunya adalah Wisnu Perkasa, 36 tahun. Kakak kandung Ferry ini dijemput dari rumahnya di Gading Kirana Estate, Kelapa Gading.

Sejauh ini, polisi berkesimpulan, Wisnu tak terlibat dalam kasus Alda. Dia juga mengaku tak tahu keberadaan Ferry, adiknya itu. Polisi sempat memeriksa sebuah pabrik salep di Tambun, Bekasi. Ferry memiliki 10 persen saham di perusahaan ini, namun Ferry tak ada. Sedangkan alamat rumahnya sebagaimana tertera dalam identitasnya, di Tambun Selatan, ternyata fiktif.

Di RSCM, Halimah meminta jasad anaknya untuk dibawa pulang pada dini hari, 13 Desember, itu juga. Selanjutnya disemayamkan di rumah kakeknya, Dedi Suwardi, Kelurahan Sukasari, Kota Bogor. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Blender, Kebon Pedes, Tanah Sereal, Kota Bogor, pukul 10.00 WIB.

Saat pemakaman, Halimah tak kuasa menahan tangis. Dia tak kuat melepas kepergian putri sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu. Selama ini, Alda yang menanggung beban hidup seorang ibu bersama delapan adiknya. Di masa hidupnya, Alda bergelut dengan kondisi keluarga yang berantakan. Ayahnya, Amir Farid Riza, meninggalkan ibunya pada 1996. Halimah menjadi janda tanpa penghasilan.

Untunglah, Alda memiliki bakat bernyanyi yang telah diasahnya sejak kelas tiga sekolah dasar. ”Suaranya sangat lembut,” kata Sulaeman, guru vokal Alda. Bekal inilah yang kemudian mengantarnya ke label rekaman Blackboard. Album perdananya lahir pada 1997 dengan tembang unggulan ”Aku Tak Biasa” meledak di pasar.

Sejak itu nasibnya berubah. Ke mana-mana ia naik mobil Jaguar dan BMW. Namun, setahun kemudian sinar Alda di dunia tarik suara meredup. Albumnya yang kedua, ”Sampai Kapankah” yang dikeluarkan pada 1999, jeblok di pasar.

Awal 2000, Alda banting setir. Dia menjajal dunia sinetron dan model. Di televisi dia sempat muncul dalam sinetron Andini dan Romantika, namun peruntungannya kurang bagus. Di tahun yang sama, dia mencoba layar lebar lewat film Kesucian Prasasti. Namun namanya tetap tenggelam.

Setahun kemudian, dia balik lagi ke dunia musik. Lahir album ketiga berjudul Kupilih yang Mana. Sayang, kurang mendapat respons pasar. Belakangan, Alda akrab dengan beragam gosip. Terutama dia ditengarai berhubungan istimewa dengan Iwan Sastra Wijaya, bos Blackboard. Iwan bukanlah bujangan. Dia telah beristri dan beranak empat. Bahkan Dedi, kakek Alda, menyangka cucunya telah disunting Iwan.

Di beberapa media, Iwan mengaku hanya pacaran dengan Alda. Orang dekat Iwan juga mengatakan mereka memang telah tinggal bersama. Namun, kepada Tempo, Iwan justru membantahnya. ”Saya cuma pernah karaokean dengannya,” katanya.

Menurut sebuah surat kabar Jakarta, nama Alda kembali muncul saat Iwan ditangkap karena membawa pil ekstasi pada Juli 2001. Sejak itu, Alda menghindar dari publikasi. Lima tahun kemudian, Alda dikabarkan sebagai pecandu narkoba. Dia pernah overdosis di sebuah hotel dekat Gambir, Jakarta Pusat, pada Oktober 2005.

Bahkan diduga dalam keadaan teler pula Alda menyetir BMW Z3 hingga menabrak tembok pembatas jalan D.I. Panjaitan, Jakarta Timur, 17 Juni lalu. Alda terluka parah dalam kecelakaan itu. Giginya rontok, cuma bersisa satu. ”Soal narkoba itu saya nggak ngikutin. Saya nggak tahu,” kata Iwan.

Kepada wartawan, Iwan menuding Ferry yang mengajari Alda tentang narkoba. Soal hubungan dengan Ferry, keluarga Alda memang mengetahuinya. Bahwa kemudian Alda akrab dengan narkoba, kerabatnya tak ada yang tahu. Dan, ternyata narkoba itu yang telah merenggut nyawa Alda.

Nurlis E. Meuko, Istiqomatul Hayati, Sunariyah, dan Deffan Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus