Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Warga Negara Asing

Seorang perempuan berkewarganegaraan asing menjadi korban kekerasan seksual ketika sedang berlibur di Bali.  

9 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi sidang pengadilan untuk pelaku kejahatan seksual. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Turis asing menjadi korban kekerasan seksual ketika berlibur di Indonesia.

  • Korban berhak mendapat perlindungan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

  • Ancaman pidana terhadap pelaku sesuai dengan aturan hukum Indonesia sekalipun korbannya warga negara asing.

HALO kakak Klinik Hukum bagi Perempuan. Beberapa waktu lalu saya membaca berita tentang perempuan berkewarganegaraan asing yang menjadi korban kekerasan seksual ketika sedang berlibur di Indonesia. Perbuatan ini tentu akan mencoreng nama Indonesia. Pertanyaan saya, apakah kejahatan ini bisa diselesaikan dengan hukum di Indonesia mengingat korban adalah warga negara asing? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dita
Bekasi 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawab:

Halo Dita. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Kami merasa prihatin atas tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi terhadap turis dari negara lain yang sedang berlibur di Indonesia. Mengenai pertanyaan Anda, berikut ini penjelasan kami.

Dalam hukum Indonesia, kejahatan yang terjadi di wilayah Indonesia akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negara ini, sekalipun yang menjadi korban adalah warga negara asing (WNA). Ketentuan itu mengacu pada beberapa prinsip hukum pidana di Indonesia. 

Disebutkan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 51-57), pemberlakuan hukum pidana di Indonesia menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: 

1. Prinsip Teritorialitas

Prinsip ini menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, sehingga siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia akan dijerat hukum walaupun korbannya berkewarganegaraan asing. Korban berhak mendapatkan keadilan atas penegakan hukum di Indonesia. Prinsip teritorialitas ini diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU Nomor 1 Tahun 2023). 

2. Prinsip Nasional Aktif

Prinsip ini terdapat dalam Pasal 5 KUHP dan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 2023 bahwa ketentuan hukum pidana berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan seorang warga negara.

3. Prinsip Nasional Pasif

Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana di luar wilayah Indonesia berdasarkan kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan. Dengan demikian, siapa pun, termasuk orang asing, yang melakukannya pantas dihukum oleh pengadilan negara Indonesia. Prinsip ini diatur dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 2023.

4. Prinsip Universalitas

Prinsip ini mengacu pada tata hukum internasional. Bila terjadi kejahatan yang merugikan kepentingan bersama, dari semua negara, pelaku kejahatan dapat dituntut serta dihukum oleh pengadilan di setiap negara dengan tidak mempedulikan siapa yang melakukannya dan di mana saja.

Dengan demikian, dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap WNA di wilayah Indonesia, penyelesaian hukumnya dilakukan di tempat terjadinya peristiwa pidana tersebut. 

Misalnya dalam kasus pelecehan seksual terhadap seorang perempuan WNA di Bali. Perempuan itu menjadi korban saat menggunakan ojek online. Maka proses hukum ditangani oleh kepolisian wilayah Bali. Begitu juga dengan kasus serupa yang terjadi di Bandung. Kepolisian wilayah Bandung berwenang menangani kasus ini.  

Dalam kejahatan terhadap WNA, secara prosedural pelaporan ke kepolisian juga sama. Pembedanya hanya masalah identitas kewarganegaraan, yakni WNA.

Warga negara asing yang menjadi korban kekerasan seksual juga memiliki hak-hak, seperti hak atas informasi seluruh proses dan hasil penanganan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan bantuan hukum atau pendampingan hukum, hak atas penguatan psikologis, dan hak atas pelayanan medis/kesehatan. 

Mengenai aturan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan seksual antara lain diatur dalam:

  • Pasal 285 KUHP tentang perkosaan, yang mengatur bahwa pelaku yang memaksa seseorang bersetubuh dengannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun.
  • Pasal 289 KUHP tentang memaksa orang lain melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, yang dapat dipidana penjara hingga 9 tahun.
  • Pasal 290 KUHP tentang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang tidak berdaya, atau yang berusia di bawah 15 tahun, atau belum waktunya menikah, yang dapat dipidana penjara hingga 7 tahun.
  • Pasal 291 KUHP tentang kejahatan yang mengakibatkan luka berat atau kematian, yang dapat dipidana penjara hingga 12 tahun atau 15 tahun.
  • Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengatur bahwa merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Pasal-pasal yang diuraikan di atas hanyalah beberapa contoh. Sebab, pemberlakuan pasal yang dikenakan kepada pelaku tentunya didasarkan pada bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi. Apalagi Indonesia sekarang telah memiliki UU TPKS.

Merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU TPKS, yang dimaksudkan dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Sedangkan pengertian korban dalam UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual.

  1. Adapun jenis-jenis kekerasan seksual secara hukum dapat mengacu pada Pasal 4 ayat 1 UU TPKS, yaitu:
  2. pelecehan seksual nonfisik, yaitu pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan;
  3. pelecehan seksual fisik;
  4. pemaksaan kontrasepsi;
  5. pemaksaan sterilisasi;
  6. pemaksaan perkawinan;
  7. penyiksaan seksual;
  8. eksploitasi seksual;
  9. perbudakan seksual; dan
  10. kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat 2 UU TPKS menerangkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi:

  1. pemerkosaan;
  2. perbuatan cabul;
  3. persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;
  4. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
  5. pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  6. pemaksaan pelacuran;
  7. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  8. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  9. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; serta
  10. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

Demikian penjelasan kami. Semoga informasi ini bermanfaat. 

Sri Agustini 
Advokat Probono LBH APIK Jakarta

Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus