Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Uang panjar bagi pembunuh

Pembunuh bayaran makin banyak terjadi, di surabaya dan jakarta, kasusnya sedang diungkapkan (diadili). (krim)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBUNUH bayaran makin banyak menampakkan aksi. Di Surabaya, W. Gondo alias Go No Hok, 42 tahun, seorang pengusaha tahu kini tengah diadili. Ia dituduh menyuruh beberapa orang agar membunuh kakak iparnya, Bambang Gunawan, juga pengusaha tahu. Pekan ini, 11 Maret, Jaksa Koesmodari menurut rencana membacakan tuntutan. Kesaksian Nadji', Mat Romli, Kating dan Rofii asal Bangkalan, Madura, yang dikatakan semua disewa terdakwa, cukup memberatkan tertuduh. Nadji' di Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan diundang terdakwa ke ruma nya di bilangan Karang Asem, pada Maret 1982. Ia dan ketiga kawannya mendapat order membunuh Bambang, dengan janji akan dibayar Rp 20 juta. Keempat calon pembunuh itu setuju, dan mulai mengamati calon korban. Bahkan mereka tahu pada hari dan jam-jam berapa Bambang pergi ke tempat kursus bahasa Ingris. Dua hari kemudian Nadji' dan kawan-kawan menemui terdakwa lagi, dan minta uang panjar Rp 2 juta. Gondo hanya mengabulkan sepersepuluhnya, Rp 200 ribu. Diberi sebegitu, mereka nampaknya jadi meragukan kemampuan keuangan terdakwa. Nadji' dan kawan-kawan juga ragu membunuh apalagi setelah tahu Gondo berniat membunuh Bambang karena soal persaingan dagang. Karena itu mereka lalu berbalik haluan, melaporkan ikhwal rencana pembunuhan itu kepada Bambang. Bambang, yang dulu pernah dicoba disingkirkan lewat dukun, segera menghubungi polisi. Gondo diperiksa, dan kemudian didakwa di pengadilan. Di Penyadilan Neeri Jakarta Pusat, tiga terdakwa kasus pembunuh bayaran kini juga tengah diadili. Dua pekan lalu bahkan jaksa sudah membacakan tuntutan. Boy Parlindungan dituntut delapan tahun penjara, Bapau tujuh tahun dan Iwan Susanto (si pemberi order) juga dituntut tujuh tahun. Sayang Yoppi Simanjuntak alias Yoppi Halim, yang melakukan penembakan terhadap Kobudi Yamin hingga lumpuh dan cacat seumur hidup, kini masih buron. Ceritanya bermula pada September 1981 saat Iwan Susanto (adik ipar Kobudi) menemui Bapau, bekas anak buah Johny Indo. Ia minta tolong dicarikan orang yang "bisa disewa". Ia berniat menyingkirkan Kobudi, manajer CV Ekspres, perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Udara (EMKU). Alasannya Iwan Susanto dipindahkan dari bagian pengiriman oleh Kabudi. Bapau lalu mengontak Boy Parlindungan yang kemudian memperkenalkannya dengan Yoppi Halirn, residivis yang memiliki sepucuk pistol. Boy tertarik ikut serta karena dijanjikan bayaran Rp 15 juta, dan bila rencana berhasil, ia dan kedua temannya itu akan dipekerjakan di CV Ekspres dengan gaji Rp 200 ribu sebulan. Kebetulan, kata Boy di pengadilan, "waktu itu anak saya sakit dan istri saya lagi hamil." Padahal ia tak punya kerja tetap. Ia percaya kepada janji Iwan, karena Harnoko Handoyo (mertua Iwan - juga mertua Kobudi) yang bersama Kobudi memiliki CV Ekspres, pernah memberikan jaminan. "Saya ada di belakang kalian. Kalau perlu apa-apa, minta saja sama Iwan," begitu kata Harnoko seperti dikatakan Boy dan Bapau di muka sidang. Namun Iwan sempat berang ketika Yoppi ragu melaksanakan rencana itu. "Kalau takut, saya pinjam pistol itu. Biar saya yang menembak," kata Iwan ketika itu. Yoppi yang sudah mendapat sedikit uang muka, antara lain Rp 150 ribu yang dibagi tiga bersama Boy dan Bapau, kemudian mematangkan rencana. Pelaksanaan pembunuhan ditetapkan: Rabu 23 September 1981. Yoppi membonceng sepeda motor yang dikemudikan Boy. Mereka menguntit korban yang baru keluar rumah di Jalan Kartini V, Jakarta Pusat. Begitu Kobudi masuk gang, dari belakang Yoppi menembak. Tepat mengenai tulang belakang, hingga bagian tubuh dari perut ke bawah Kobudi kini lumpuh. "Kalau buang air kecil harus memakai slang dan buang air besar mesti dikorek karena tak bisa keluar sendiri," kata Kobudi yang berkulit kuning dan berwajah tampan kepada TEMPO. Berat tubuhnya yang semula 70 kilogram, kini susut menjadi 40 kilo. Meski tak memakai pistol, pembunuhbayaran di Jawa Tengah menghabisi nyawa Agus Sumanto, 27 tahun, karyawan perusahaan asuransi Bumi Putera 1912 Boyolali. Mayat Agus ditemukan 4 September 1982 di tepi sawah Dukuh Madusari, Kecamatan Sawit, Boyolali. Kepalanya luka memar oleh pukulan benda tumpul dengan leher dijerat tali kopling sepeda motor. Dalang pembunuhan telah terungkap, yaitu Suyadi, 50 tahun, kakak tertua Agus. Ia menyewa Jiman dan Dullah (kini masih buron) untuk membunuh Agus. "Latar belakangnya soal warisan," kata Mayor Pol. Haryono, Kasi Pendak IX, Ja-Teng. Meski sudah beberapa kali terjadi, pihak kepolisian belum melihat kasus pembunuh bayaran sebagai hal yang meresahkan. Terutama karena pembunuh bayaran di Indonesia bukan pembunuh profesional yang hidup hanya dari dan untuk membunuh. "Mereka membunuh hanya sebagai sambilan, yaitu bila ada order dan diberi rangsangan uang," kata Kol. Pol. Bazar, Kasi Pendak ' Kodak Metro Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus