Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah nyanyian lain tanah air

Imam sekarmadji m. kartosuwirjo bersembunyi di hutan gunung rakutak, cicalengka, ja-bar. tgl 3 juni'62 tertangkap dengan kaki tertembak. bayangan terakhir kegagahan islam masa lampau. berjuang atas nama islam.

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(Di rumah seorang tokoh Islam puncak di Jakarta, di dinding ruang tamu, tergantung ayat: 'Dan siapa yang berjuang di Jalan Kami, Kami tunjukkan kepadanya berbagai jalan Kami'. Waktu itu saya lalu teringat DI). TIADA lagi Imam Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Di sebuah gubuk tersembunyi, di hutan Gunung Rakutak yang gelap, "Presiden Negara Islam Indonesia" ini terbaring sakit. Ia, demikian dilaporkan, merasa amat lapar, sementara sang istri sudah beberapa bulan terpisah, tak diketahui tempatnya sembunyi. Waktu itulah, 3Junil962, ketika kegelapan magrib menutupi hutan-hutan di seluruh Cicalengka, Letda Suhanda dari Bataliyon 328 Kujang memimpin penyergapan ke tempat itu. Tokoh berumur 57 tahun itu tertangkap - dengan luka bekas tembakan yang semakin parah di kaki, dengan keris jimat Ki Dongkol terselip di pinggangnya yang tua. Tiada lagi Kartosuwirjo. Seberondong peluru, yang mengakhiri hidupnya di Teluk Jakarta, September tahun itu juga, melenyapkan bayangan terakhir "kegagahan Islam masa lampau". Tak ada lagi prajurit yang mengacungkan bedil "atas nama Islam. Tanah air tak akan lagi mengenal semacam tentara Paderi yang melawan Belanda, membakar rumah adat dan "segala berltuk berhala". Tak ada lagi bayangan para sahabat Nabi yang harus menghadapi tantangan kafir dengan menghunjamkan tombak dari punggung kuda, lalu bersujud di padang pasir. Tanah air yang lemah lembut ini, dan Priangan yang indah, penuh tembang, manja, serta teledor, menderita kehilangan yang tak disadari. Tak akan ada lagi panji-panji di gunung-gunung. Yang ada akan hanya tinggal Jaipongan. 'Dan siapa yang berjuang di Jalan Kami, Kami tunjukkan kepadanya berbagai jalan Kami'. Lihatlah keikhlasan imam ini. Keuntungan apa, yang diterima di hutan, selain bayangan cita-cita? Berjalan dari pengejaran ke pengejaran, dengan seluruh anak-bini dan bayi-bayi, sementara rekan-rekan mereka hidup tenteram di rumah-rumah yang penuh listrik, berlibur sambil menikmati hasil kemerdekaan? Tapi tembakan pertama sudah meletus. Tembakan itu berdentuman ketika pasukan Siliwangi, setelah pengungsian ke Yogya atas perintah persetujuan Renville 1948, mengadakan perembesan kembali ke Jawa Barat yang dahulu harus dikosongkan dan dikuasai pasukan-pasukan Hibullah, Sabilillah dan balatentara lain Kartosuwirjo yang menolak hijrah. Clash terjadi. Dan pada 7 Agustus 1949, diproklamasikannya 'Negara Islam Indonesia' di Malangbong. Langkah tak boleh surut lagi. Dan alangkah hebatnya langkah itu. Bataliyon 423 dan 426, kita tahu, melakukan desersi. Bersama kelompok Islam garis keras di Kebumen dan Tegal-Brebes di tahun 1952 mereka menggabung dengan Kartosuwirjo. Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, yang oleh faktor-faktor pribadi juga memberontak, tahun itu juga menyatakan pula bergabung dengan sang imam. Juga Daud Beureueh di Aceh di tahun 1953, yang kecewa kepada perlakuan Pusat terhadap daerah ujung Sumatera yang dia pimpin. Kartosuwirjo-lah imam itu. Dan 'NII'nya, seperti diumumkannya sendiri, adalah kelanjutan RI yang "sudah tumbang dengan Jatuhnya Yogya dan ditawannya Soekarno-Hatta" - meski Sjafruddin Prawiranegara membentuk pemerintah darurat di Sumatera Barat. Maka Jawa Barat bergolak. Tanah air bergolak. Tentara, yang masih sanat muda, hanya dengan susah-payah bisa dipersatukan. Pemberontakan PKI di Madiun, APRIS, RMS, para pejuang tercecer, garonggarong (kemudian PRRI, permesta), mewarnai pertumbuhan Republik yang muda. Bendera RI berkibar. Bendera komunis sebentar berkibar. Bendera NII berkibar. Kiai-kiai disembelih di Madiun. Musuh-musuh 'Tentara Islam Indonesia' disembelih di tanah Sunda. Kabel telepon diputuskan. Kereta api digulingkan. Gadis-gadis menanis. Anak-anak menjerit. (Dan Dedeh, oh Dedeh: temanku di sekolah guru agama, pulang berlibur dari Yogya ke Cicalengka, tanpa pernah sampai di rumah: mayat kaum laki-laki bergeletakan di tengah jalan Priangan, sementara semua barang dan perempuan diboyong hilang. Tak ada yang tahu oleh siapa, dan ke mana). Hanya epi dan lengang. Dan demikianlah Priangan. Seruling berkawan pantun tangiskan derita orang priangan selendang merah, merah darah menurun di cikapundung "Tengok dataran tanah priangan, gadisku manis" Ayah dipaku di lima tempat Bunda berlari dari tepi ke tepi Tiada menemu teratak lengang di bumi bayi turunnya besar dibawa mengungsi sepi bumi priangan sepi menghadapi mati ) Itulah, Imam, yang kemudian terjadi. Untuk apa? Bahkan Daud Beureueh turun gunung, akhirnya. "Dahulu naik gunung karena ijtihad, sekarang turun gunung karena ijtihad", pernah kudengar sendiri dari mulutnya. Tetapi ijtihad-mu rupanya tak sampai ke sana. Di tahun 1948 engkau bubarkan Masjumi, "partai betina" menurut pidatomu, di Tasikmalaya. Bahkan sejak Agutus 1945 engkau kemukakan gagasan negara Islam. Tapi tahukan engkau, Imam, mengapa Kiai Yusuf Tadjiri dari Wanaraja menolak? Mengapa rakyat, kecuali mungkin yang pernah punya kebanggaan pegang senjata, tidak bergeming? Mengapa daerah para kiai seperti Jawa Timur, bahkan Sumatera Barat, tidak menyambut? Ketulusan tekad yang bagaimana yang ada dalam dirimu? Demam kepemimpinan yang bagaimana? Kecintaan kepada anak buah yang bagaimana? Megalomania yang bagaimana? Enkau, yang konon sederhana dan bisa menarik simpati, dengan gerahammu yang kuat dan sarafmu yang baja, yang hampir tak pernah mengenakan pakaian seragam dengan bintang-bintang, meski di kalanganmu engkau jenderal berbintang empat? Engkau, yang pernah bertapa 40 hari di Gunung Kidul, yang meyakini diri sebagai keturunan Aria Penangsang, dengan bayangan Ratu Adil alias Imam Mahdi dalam matamu? Di bagian mana, Imam, Islam masuk dalam dirimu? 'Dan siapa yang berjuang di jalan Kami, Kami tunjukkan kepada-Nya berbagai jalan Kami'. Ini adalah sebuah diskusi yang terselip dalam catatan masa-masa sekitar berdirinya Republik. Kartosuwirjo sendiri menceritakan, keislaman dia antara lain didapat dari seorang kiai di Sidoarjo, dekat Surabaya. Ia baru masuk PSII di tahun 1927, dan mendapat tempat di hati Tjokro. Ia jelas berasal dari kalangan 'muslimin pinggir', tokoh yang tumbuh sebagai muslim bukan lantaran asuhan sejak bayi. Seperti juga Bung Karno dan banyak yang lain, mereka bertemu Islam di jalan perjuangan. . Ini adalah masa ketika nasionalisme, sosialisme, masalah imam, negara Islam, pan-Islamisme, komunisme, Imam Mahdi, Ghulam Ahmad, khalifah dunia Islam, diperbincangkan. Gelombang 'politik Islam' Jamaluddin Afghani di akhir abad XIX, kejatuhan khilafat Turki, Muktamar Mekah, seakan mencabut Islam dari kitab-kitab tua di pondok-pondok pesantren, dan menyodorkannya sebagai pokok perdebatan lapisan yang sama sekali baru. Bahkan Tjokroaminoto pecah dari Muhammadiyah oleh soal 'sikap politik Islam'. Bahkan Soekarno menulis 'Surat-surat dari Endeh' kepada ulama A. Hassan di Ban dung. Bahkan Soekarno memesan De Heilige Quran, sementara Tjokroaminoto menerjemahkannya dalam perjalanan kapal menuju konperensi di Mekah. Dan Kartosuwirjo, kemanakan Mas Marco Martodikromo yang wartawan 'kiri', pernah empat tahun di Sekolah Dokter Jawa, dan adi pengurus Jong Islamieten Bond, sekretaris Tjokroaminoto, dan salah satu dari - menurut pengakuannya - 'Tiga Serangkai', bersama Soekarno dan Scmaun, murid pemimpin pergerakan besar itu, berada di sana. Betulkah Islam, yang jadi penggeraknya yang terutama? Cara kiai di surau-surau dengan tenang tetap mengajar fiqh dan memelihara akhlaq. Tapi ide 'negara Islam' justru lahir dari generasi yang baru. Sebuah ilusi yang memunguti lambang-lambng lama, praktis memilih hanya yang cocok, mengingkari sangkut-pautnya yang kompleks dan mengundang debat, memberinya bentuk dalam satu pengertian yang paling menggetarkan perasaan, sebagai bekal 'berjuang'. Allahu Akbar! Dan peluru ditembakkan. Tidak, bukan kerusuhan memang yang pertama dicanangkan dalam pikiran. Sebuah lingkungan yang damai, perempuan berkudung dan laki-laki sembahyang, mengedarkan zakat antar-sesama. Hanya saja diberi baju terlalu gagah. Alangkah indahnya suara tembakan, bagi para bekas pejuang - dan kemudian anak turunan. Alangkah indahnya lambang, dan wadah formal, serta bendera, kekuasaan - dan kepemimpinan. Tidak, Imam. Anda hanya tak bisa tunduk kepada permainan bersama. Anda hanya tak bisa mengalahkan diri sendiri dari segi yang justru paling kecil - dan, menurut Nabi, yang paling berat. Garis yang direntangkan toh akhirnya semu, bila yang di dalam dan yang di luar praktis sama akhirnya. Istilah-istiah lama toh akhirnya kehilangan makna, bila pengertian menalami perjalanan wajar dan berubah perlahan-lahan. Itulah, agaknya, mengapa Daud Beureueh turun gunung. Tapi anda tidak. Dan bekas-bekas anak buahmu pun sebagian, tampaknya, tidak. Sebab alangkah indahnya hidup tualang. Sebuah gaya yang penuh bahaya, "demi iman" - dan perampokan. Sebab degradasi memang sangat pantas terjadi, Imam - dan pendangkalan, meskipun bibitnya justru sudah kau tanam sejak permulaan. Barangkali kita memang tak harus lagi punya prajurit Paderi: kita bukan lagi Hindia Belanda, atau Afghanistan dan Palestina. Kuda-kuda para sahabat Rasul makin menjauh juga, sementara dunia yang dihasilkan seribu kuda terinjak-injak hanya lantaran samar di dalam nama. Tapi anakanak ingusan itu? Imran, dan mereka yang sangat mudah terangsang, yang jumlahnya dibesar-besarkan ? Tidak, Imam. Ketika tembakan eksekusi memberondong tubuhmu di Teluk Jakarta, September 1962, tak ada yang heran. Jiwa dari Allah pulang kepada Allah, dan masing-masing amal dinilai menurut niatnya. Sebuah babakan sudah harus berlalu. Dan bagai bunga, tanah air menggeliat dan melemparkan kelopak kelahirannya yang busuk. Yang sudah harus sirna. 'Dan siapa berjuang diJalan Kami, Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami. sedang Allah bersama mereka yang baik budi' (Q.29:69). ) Petihan sajak panjang Ramadhan KH, Priangn Si Jelita, (1958), dengan urutan tidak setia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus