PARDAMEAN Sitorus - bukan nama sebenarnya - terisak menahan tangis, ketika Hakim Burhan Husein Putra Jaya mengetukkan palunya di Pengadilan Negeri Medan, Kamis pekan lalu. Rupanya anak berusia 11 tahun, yang sudah ditahan polisi selama lima bulan, itu merasa akan dipenjarakan lagi. Padahal, Burhan memvonis murid kelas V SD itu dengan hukuman teringan: dikembalikan kepada orangtuanya. Sementara itu, rekannya, Armen, 19, yang sama-sama dituduh mencuri dengannya, dihukum 5 bulan penjara. Hakim Burhan sempat kaget juga, ketika pertama kali tahu Jaksa A.S. Ginting membawa Pardamean ke sidang, Sabtu dua pekan lalu. "Ini siapa?" tanyanya, sambil menunjuk Pardamean, yang duduk berjajar bersama Armen di kursi pesakitan. "Merekalah yang akan kita sidangkan hari ini," jawab Ginting. Burhan, yang hari itu memakai toga, sempat menyadari situasi itu. "Seharusnya hakim dan jaksa tidak memakai toga dan mereka di sidangkan di peradilan anak. Tapi, karena di sini belum ada peradilan anak, apa boleh buat, bacalah surat tuduhan itu," perintah Burhan kepada jaksa. Jaksa Ginting menuduh kedua anak itu mencopet sebuah dompet milik seorang ibu pedagang kedai kopi di dekat Hotel Orion, Medan, Mei lalu. Ketika berusaha melarikan diri, setelah mendapatkan dompet yang berisi uang Rp 10 ribu itu, mereka tertangkap oleh seorang polantas yang lagi bertugas di tempat itu. Hakim Burhan menjadi lebih kaget ketika jaksa mengungkapkan bahwa anak-anak itu sudah ditahan selama hampir lima bulan. Apalagi, Pardamean mengaku masih duduk di bangku SD, sementara Armen di SMP. Lebih aneh lagi, tidak seorang pun dari orangtua kedua anak itu yang menghadiri sidang. Burhan tidak ingin memperpanjang penderitaan Pardamean. Hari itu juga ia memerintahkan jaksa mencari orangtua Pardamean, dan membebaskan anak itu dari tahanan. Sementara itu, Armen, yang sudah tergolong remaja, diputuskan tetap di dalam tahanan. Akibat penahanan itu, kedua anak tadi memang tidak bisa melanjutkan sekolah mereka dan tidak naik kelas. Di persidangan berikutnya terungkap bahwa Pardamean tidak begitu terurus oleh keluarganya. Ayahnya, H. Sitorus, mengaku anak keduanya itu - dari enam orang bersaudara - sejak usia 10 tahun telah ikut membantu ibunya berdagang bumbu masak di Pasar Mercu Buana. Akibatnya, tutur Sitorus, anaknya itu ikut-ikutan preman pasar - sampai tertangkap karena mencopet itu. H. Sitorus bukan tidak tahu anaknya ditahan polisi. Tapi, rupanya, ia tidak peduli. "Biar ia rasakan sendiri akibat kejahatan yang dilakukannya," kata Sitorus di muka sidang. Sebab itu pula Sitorus, yang sehari-harinya berjualan rokok itu, tidak tahu kapan anaknya disidangkan. Hakim Burhan, yang sempat kesal mendengar pengakuan Sitorus, ternyata masih bisa mempercayai pedagang rokok itu untuk kembali mendidik anaknya. Sebab, "Kalau ia dijatuhi hukuman, hal itu belakang hari bisa menjadi trauma baginya. Padahal, di sidang ia hanya terbukti ikut-ikutan mencuri dengan Armen. Lagi pula, ia sudah ditahan selama lima bulan, masa dipenjarakan lagi," timbang Burhan. Perkara Pardamean semakin membuat penting perlunya sebuah peradilan anak di negara kita. Termasuk rumah tahanan khusus bagi anak-anak yang nakal. Sebab, hampir di semua daerah, anak-anak yang diduga melakukan kejahatan ditahan di tempat tahanan dewasa. "Tentu penahanan semacam itu akan merugikan, sebab akan membuat si anak seperti belajar di sebuah perguruan tinggi untuk kejahatan. Padahal, prinsip pemidanaan ltu - menurut teori manapun - adalah untuk membuat seseorang menjadi baik dan siap untuk kembali ke masyarakat," ujar seorang ahli peradilan anak, Ny. Djoko Soetono, kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Psikolog Prof. Dr. Singgih Gunarsa ketika itu juga berpendapat, tidak tepat menahan seorang anak di tempat tahanan dewasa. "Anak-anak yang pernah masuk tahanan dewasa akan cenderung melakukan perbuatan yang melanggar hukum, sebagai suatu kepuasan. Baik sadar atau tidak sadar," ujar Singgih. Lebih dari itu, menurut Singgih, anak-anak semacam itu sebaiknya tidak diadili. Satu-satunya tempat yang tepat untuk mereka, kata Singgih, adalah tempat pendidikan khusus bagi anak-anak nakal. "Di tempat itu mereka diobservasi, diubah menjadi baik, dan setelah itu dikembalikan kepada orangtuanya," tambah guru besar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini