Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Vonis Banding Ultra Petita Harvey Moeis. Apa Itu?

Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan kepada terdakwa Harvey Moeis cs. Apakah ini ultra petita?

19 Februari 2025 | 12.00 WIB

Banner
Perbesar
Banner

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis Harvey Moeis cs lebih berat dari tuntutan jaksa.

  • Vonis banding tersebut menuai pujian karena dinilai menggunakan perspektif yang berbeda dengan putusan di tingkat pertama.

  • Secara hukum, hakim memang memiliki kewenangan menjatuhkan vonis yang lebih berat dari tuntutan jaksa.

PENGADILAN Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding yang diajukan jaksa atas vonis terhadap lima terdakwa kasus korupsi timah dan tindak pidana pencucian uang (TPPU): Harvey Moeis, Helena Lim, Suparta, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan Reza Andriansyah. Dalam putusannya, majelis hakim memperberat hukuman Harvey cs, bahkan lebih dari tuntutan jaksa atau yang biasa disebut ultra petita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Harvey, misalnya, mendapat vonis 20 tahun penjara plus membayar uang pengganti sebesar Rp 420 miliar subsider 10 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar subsider penjara 8 bulan. Jika tidak dibayar, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara. "Menjatuhkan kepada terdakwa Harvey Moeis pidana penjara selama 20 tahun," kata ketua majelis hakim Teguh Harianto saat membacakan putusan di Pengadilan Tinggi Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa terhadap Harvey, yaitu 12 tahun penjara dan uang pengganti Rp 210 miliar. Di tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Harvey selama 6 tahun 6 bulan penjara plus membayar uang pengganti Rp 210 miliar dan denda Rp 1 miliar.

Pengadilan Tinggi Jakarta juga memperberat hukuman Helena Lim menjadi 10 tahun penjara, dari sebelumnya 5 tahun bui. Perempuan yang santer dengan sebutan Crazy Rich Pantai Indah Kapuk itu juga harus membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 900 juta. Demikian pula vonis terhadap bekas Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, serta dua petinggi PT Refined Bangka Tin, Suparta dan Reza Andriansyah.

Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat vonis lima terdakwa kasus korupsi timah dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Kamis, 13 Februari 2025. Vonis tersebut lebih berat dibanding putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada tingkat pertama.  

1.   Harvey Moeis (Perwakilan PT Refined Bangka Tin)

Tuntutan: 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, dan uang pengganti Rp 210 miliar subsider 6 tahun penjara.
Vonis tingkat pertama: 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan bui, dan uang pengganti Rp 210 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis banding: 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan bui, dan uang pengganti Rp 420 miliar subsider 10 tahun penjara.

2. Helena Lim (Pemilik PT Quantum Skyline Exchange)

Tuntutan: 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun bui, dan uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun penjara.
Vonis tingkat pertama: 5 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 6 bulan bui, dan uang pengganti Rp 900 juta subsider 1 tahun penjara. 
Vonis banding: 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan bui, dan uang pengganti Rp 900 juta subsider 5 tahun penjara.

3.   Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021)

Tuntutan: 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun bui, dan uang pengganti Rp 493 miliar subsider 1 tahun penjara.
Vonis tingkat pertama: 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Vonis banding: 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan bui, dan uang pengganti Rp 493 miliar subsider 6 tahun penjara.

4. Suparta (Direktur Utama PT Refined Bangka Tin)

Tuntutan: 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun bui, dan uang pengganti Rp 4,571 triliun subsider 8 tahun penjara.
Vonis tingkat pertama: 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan bui, dan uang pengganti Rp 4,571 triliun subsider 6 tahun.
Vonis Banding: 19 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan bui, dan uang pengganti Rp 4,571 triliun subsider 10 tahun penjara.

5. Reza Andriansyah (Direktur Pengembangan PT Refined Bangka Tin)

Tuntutan: 8 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara.
Vonis tingkat pertama: 5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 3 bulan penjara.
Vonis banding: 10 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsider 3 bulan penjara.


Teks: Intan Setiawanty

Sumber: Pengadilan Tinggi Jakarta

Kuasa hukum Harvey cs, Andi Ahmad, menyatakan kliennya akan mengajukan kasasi atas vonis banding tersebut. "Pasti kasasi akan kami ajukan," ujarnya saat ditemui di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Senin, 17 Februari 2025. Namun ia menyatakan langkah itu baru akan mereka diskusikan setelah menerima salinan resmi putusan banding.

Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta itu menuai pujian dari berbagai pihak. Dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menyatakan putusan tersebut sudah tepat karena hakim di tingkat banding mengambil pendekatan yang berbeda dengan hakim di tingkat pertama.

Chudry menjelaskan, hakim di tingkat pertama hanya menghitung jumlah kerugian negara secara langsung, yakni Rp 15-30 triliun. Sedangkan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memasukkan aspek lain, di antaranya pajak, royalti, dan bahkan kerusakan lingkungan, sebagai bagian dari kerugian perekonomian negara. "Jadi ini pendekatannya bukan sekadar unsur kerugian negara, tapi juga kerugian perekonomian," ucapnya.

Soal tuntutan jaksa yang rendah, Chudry berpendapat bahwa itu bukanlah kesalahan, melainkan perbedaan sudut pandang pendekatan yang dipakai aparat penegak hukum. "Penuntut umum hanya menggunakan pendekatan keuangan negara, bukan perekonomian negara. Jadi dasarnya berbeda, bukan tidak tepat," tuturnya.

Chudry pun menyatakan hakim memang memiliki kewenangan memutus sebuah perkara lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Menurut dia, tuntutan jaksa tidak menjadi patokan bagi hakim untuk memvonis terdakwa. Yang menjadi batasan hakim, kata Chudry, adalah hukuman minimal dan maksimal berdasarkan pasal yang didakwakan kepada terdakwa. "Hakim perkara pidana diperbolehkan menjatuhkan hukuman dari ancaman minimal hingga maksimal yang ditentukan dalam undang-undang pidana," katanya saat dihubungi, Selasa, 18 Februari 2025.

Hakim ketua Teguh Harianto (tengah) membacakan amar putusan tingkat banding atas perkara korupsi pengusaha Harvey Moeis di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Jakarta, 13 Februari 2025. Tempo/Tony Hartawan

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, sependapat dengan Chudry. Ia dan Chudry juga menyatakan tak ada istilah ultra petita dalam hukum pidana. Menurut dia, istilah tersebut hanya digunakan dalam hukum perdata dan judicial review atau pengujian undang-undang. "Untuk vonis yang lebih berat dari tuntutan jaksa, tidak ada istilahnya," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pemalang itu pun menilai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Harvey cs sudah tepat. Dia menyatakan hakim memang tidak terikat pada tuntutan jaksa dan bebas menjatuhkan hukuman selama tidak melebihi ancaman hukuman maksimal berdasarkan pasal yang didakwakan. "Untuk ancaman pidana maksimal 20 tahun, misalnya, hakim tidak boleh memvonis 21, 23, atau 25 tahun. Jadi hakim memvonis 20 tahun tidak apa-apa, walau jaksa menuntut 12 tahun dan hakim pengadilan negeri 6 tahun 6 bulan," ucapnya.

Asep menilai hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memvonis Harvey cs lebih tinggi dari tuntutan jaksa dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Peraturan MA itu mengatur hal-hal yang bisa menentukan berat-ringannya vonis terhadap terdakwa.

Misalnya, penggolongan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi menjadi empat kategori: ringan, sedang, berat, dan paling berat. Kasus korupsi timah termasuk kategori paling berat karena memiliki nilai kerugian perekonomian negara di atas Rp 100 miliar. Peraturan MA itu juga mengatur penggolongan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan yang bisa menentukan vonis terhadap seorang terdakwa. "Putusan pengadilan tinggi membaca Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020, sementara hakim pengadilan negeri membaca stensilan diktat," kata Asep.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Nani Mulyati, menyatakan terdapat prinsip kebebasan hakim atau judicial independence dalam hukum acara pidana. Prinsip tersebut membuat hakim tidak sepenuhnya terikat pada tuntutan jaksa dalam menilai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan menerapkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan.

Prinsip kebebasan hakim itu, Nani menjelaskan, tertuang dalam Pasal 182 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menyatakan hakim membuat putusan berdasarkan surat dakwaan dan fakta persidangan. Namun, menurut dia, putusan yang melebihi tuntutan harus tetap mempertimbangkan asas legalitas dan kepastian hukum. "Putusan yang melebihi tuntutan harus didasarkan pada pertimbangan yang obyektif dan tidak boleh bersifat sewenang-wenang," ujarnya.

Dalam kasus korupsi timah beserta TPPU-nya, kata Nani, hakim banding memvonis lebih berat dari tuntutan jaksa untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi masyarakat. Sebab, korupsi dan pencucian uang merupakan kejahatan yang berdampak luas terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, hakim dapat mempertimbangkan untuk memberikan hukuman yang lebih berat sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum.

Helena Lim menunggu sidang vonis kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk pada 2015-2022, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 30 Desember 2024. Tempo/Subekti

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menambahkan, prinsip independensi hakim juga tertuang dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan hakim wajib menjaga kemandirian peradilan saat bertugas.

Fickar pun menilai vonis banding yang melebihi tuntutan jaksa terhadap Harvey cs menunjukkan hakim mengadopsi rasa keadilan masyarakat. Vonis tersebut, menurut dia, tak bermasalah secara hukum. "Meskipun melebihi tuntutan jaksa, tidak ada masalah. Yang menjadi persoalan jika melebihi batas maksimal ancaman pidana dalam ketentuan pasal yang didakwakan," ucapnya.

Dosen hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, juga setuju bahwa hakim bebas dan independen dalam menjatuhkan vonis. Dia pun memuji putusan tersebut. "Faktor mentalitas keberanian dan independensi hakim," tuturnya saat dihubungi, Selasa, 18 Februari 2025.

Orin menambahkan, putusan mencerminkan cara berpikir dan nilai-nilai yang dianut seorang hakim, khususnya pada bagian pertimbangan. Dalam konteks vonis maksimal di tengah tren hukuman ringan bagi koruptor, menurut dia, putusan ini menunjukkan orientasi progresif yang mengutamakan nilai-nilai keadilan di masyarakat.

Ke depan, Orin melanjutkan, publik juga harus terus mendorong agar vonis pengadilan tak hanya berorientasi memberikan efek jera melalui pidana badan, tapi juga harus mampu mengembalikan kerugian keuangan negara sebanyak-banyaknya atau setara. Sebab, ia menilai, dalam kasus korupsi timah Harvey Moeis cs ini, jumlah kerugian mencapai triliunan rupiah, sementara uang denda dan pengganti jauh dari nilai kerugian itu. Ditambah masih ada kemungkinan uang denda dan pengganti itu disubstitusi dengan pidana badan. "Maka instrumen hukum seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset perlu tetap didorong untuk segera dibahas," ujarnya.

Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus