HATI-HATI memilih bank. Salah-salah mendepositokan uang di bank, bak "menitipkan padi ke tikus". Soalnya, tak terhitung berapa kalinya uang nasabah amblas disikat pengurus bank sendiri. Pada Rabu pekan lalu, misalnya, bekas Direktur Bank Perkembangan Asia (BPA) -- kini Universal Bank -- Lee Dharmawan, 44 tahun, divonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat 20 tahun penjara karena melalap dana banknya sendiri Rp 110 milyar. Manipulasi bank yang tak kepalang tanggung itu, menurut majelis hakim yang diketuai M.S. Lumme, dilakukan Lee nama aslinya Lee Chin Kiat -- sewaktu ia mengelola BPA antara 1979 dan 1984. Perbuatan itu, kata majelis, selain menghambat pembangunan di bidang perbankan, juga "mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan." Maka, Lee juga dihukum denda Rp 30 juta dan harus membayar uang pengganti Rp 85 milyar. Kasus korupsi BPA ini, sementara ini, memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah kejahatan perbankan yang sampai ke pengadilan. Mungkin hanya kasus "valas" Rp 778 milyar di Bank Duta, yang kini masih disidik Kejaksaan Agung, bisa mengalahkan rekor Lee. Namun, dari segi modus -- kalau benar kasus Bank Duta "tak menjamah" dana nasabah -- "permainan" Lee sangat keterlaluan. Sekitar Rp 67 milyar dari dana yang digasak Lee itu murni milik deposan BPA. Dalam "permainan" itu, Lee tak memasukkan deposito tersebut di rekening BPA, melainkan ke buku pribadinya. Begitu pula yang dilakukannya terhadap berbagai promes BPA, sekitar Rp 2,1 milyar. Sebelumnya, menurut Jaksa Chairuman Harahap, promes tersebut diterbitkan dan digunakan untuk beberapa perusahaan Lee. Bukan hanya itu permainan Lee yang diangkat menjadi dirut BPA, pada 14 Februari 1979. Kredit dari BPA sekitar Rp 26,6 milyar dicairkannya, juga untuk dirinya sendiri. Padahal, dakwa jaksa, permohonan ataupun analisa atas kredit tersebut tak pernah ada. Dengan modus serupa, ia juga mencairkan berbagai cek BPA, sekitar Rp 9,3 milyar. "Proyek" besar itu tak hanya dilakukan selama Lee menjabat direktur di BPA. Ia masih meneruskan kejahatannya setelah diberhentikan pada 18 September 1984. Semua itu, kata jaksa, bisa berjalan mulus lantaran bantuan istri, ibu, dan saudara-saudara Lee -- semuanya staf BPA. Memang, manajemen BPA waktu itu bisa dikatakan perusahaan keluarga. Apalagi Lee punya 98% saham di situ. Menurut sebuah sumber TEMPO, dana segudang itu digunakan Lee bersama kerabatnya untuk berspekulasi tanah di daerah Slipi, usaha real estate Cengkareng Indah, dan sejumlah proyek lain. Namun, semua proyek ini, kata sumber itu, tekor. Sebagian besar dana tersebut "diterbangkan" Lee ke Hong Kong. Ibu dan istri Lee yang buron, kabarnya, kini berdiam di sana. Yang jelas, akibat ulah Lee, BPA pun collapse. Untuk menenangkan nasabah dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan, Bank Indonesia (BI) terpaksa menyuntikkan kredit likuiditas secara bertahap, pada Oktober 1984. Menurut Jaksa Chairuman, untuk menyelamatkan BPA, BI mengeluarkan dana sampai Rp 118 milyar lebih. Setelah itu, manajemen dan kepemilikan BPA pun dialihkan BI ke PT Prahadima -- usaha patungan antara putra-putri Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Astra Group. Sialnya, pada saat kalangan perbankan membicarakan kasus BPA itu, Lee sendiri raib. Lima tahun kemudian, tepatnya 22 Februari 1989, barulah petugas kejaksaan berhasil membekuk Lee, yang ternyata tak pergi jauh. Ia bersembunyi di salah satu rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia dipergoki petugas kejaksaan yang berniat mengeksekusinya untuk vonis 6 bulan penjara karena kasus identitas palsu -- ia masih warga negara Malaysia. Namun, di pengadilan, baik Lee maupun tim pengacaranya (Moh. Assegaf, Hotma Sitompoel, dan Dendy K. Amudi) menganggap kasus itu semata-mata perdata, bukan pidana -- apalagi korupsi -- sebagaimana tuduhan jaksa. "Perkara ini kan urusan intern antara BPA dan BI. Tak bisa kesalahan perusahaan dibebankan kepada terdakwa," kata Assegaf, dalam pleidoinya. Selain Lee tak pernah mempengaruhi manajemen BPA dalam kebijaksanaan meminta kredit BI, sambung Assegaf, para deposan juga tak pernah menuntut Lee. Hebatnya lagi, Assegaf masih menambahkan, semestinya kasus itu selesai dengan dialihkannya BPA ke PT Prahadima -- yang menurut Assegaf otomatis menanggung segala risiko BPA. Ternyata, majelis hakim sependapat dengan jaksa kendati, dalam soal angka kerugian negara (dana BI yang sempat disuntikkan), majelis menganggap terbukti hanya sekitar Rp 110 milyar. Dari sejumlah itu, sekitar Rp 88 milyar dikorup Lee, sedangkan sisanya (Rp 22 milyar) digunakan BPA untuk tetap menjalankan aktivitasnya. Jumlah Rp 22 milyar itu hingga kini terpaksa menjadi beban cicilan PT Prahadima. Atas vonis itu, Lee, yang mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu, langsung menyatakan naik banding. Apa alasannya? Lee, yang di setiap persidangan berpenampilan seperti "kere" -- tak sebagaimana laiknya seorang bankir -- hanya menunjuk tim pengacaranya. "Ya, saya serahkan semuanya kepada Tuhan," katanya. Jaksa Chairuman juga menyatakan naik banding. "Ini soal rasa keadilan masyarakat," kata Chairuman, yang sebelumnya menuntut Lee dihukum seumur hidup plus denda Rp 30 juta dan uang pengganti Rp 100 milyar. Sebab, ujarnya lagi, dana yang dikorup itu jauh lebih besar daripada modal pemilik saham BPA sendiri. Lebih dari itu, "Anda bayangkan, dengan uang sebesar itu, berapa rumah, sekolah, dan jalan raya bisa dibangun?" kata Chairuman kepada Andi Reza dari TEMPO. Kejaksaan, tambah Chairuman, juga tetap akan memburu uang pengganti Rp 85 milyar itu. Cuma saja, harta Lee yang sudah disita paling banyak hanya senilai Rp 4 milyar. Artinya, negara tetap harus "menombok" Rp 100 milyar lebih. Asal saja kerugian itu bisa mendorong Pemerintah untuk segera melahirkan perangkat peraturan perundangan di sektor perbankan. Happy Sulistyadi dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini