PUTUSAN Ketua Pengadilan Negeri Banjarnegara di Jawa Tengah, yang mengadili sendiri dua orang terdakwa yang mencuri di rumahnya, berdasar perintah pengadilan tinggi terpaksa "diperbaiki" oleh bawahannya. Di sidang ulang itu Majelis Hakim S. Djawardi meralat vonis sang ketua, R. Wendra, dari masing-masing 5 tahun penjara bagi kakak-adik Junaedi dan Saldi menjadi 6 bulan penjara. Kedua terdakwa itu memang tetap dianggap terbukti mencuri dua buah jam tangan seharga Rp 45 ribu di rumah Wendra. Di sidang ulang itu bukan hanya vonis hakim yang berubah, tapi juga tuntutan jaksa. Penuntut Umum Edy Sidharta, yang sebelumnya menuntut Junaedi dan Saldi masing-masing satu tahun penjara, kali ini justru menuntut bebas untuk kedua bersaudara itu. "Sebab, belakangan baru jelas persoalannya -- pada sidang pertama dulu itu pemeriksaannya sangat singkat dan saksi-saksi yang diajukan hanya seadanya saja," ujar sebuah sumber di kejaksaan, memberi alasan tentang perubahan sikap jaksa itu. Sidang pertama yang dipimpin Wendra, Juni lalu, bukan saja seadanya tapi juga semacam pelampiasan kemarahan. Hakim itu, selain melanggar hukum acara (KUHAP), yaitu memeriksa perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri, juga memvonis kedua kakak-adik itu dengan hukumam lima kali dari tuntutan jaksa. "Putusan itu batal demi hukum, karena terlalu menonjolkan subyektivitas hakim yang mengadilinya," ujar Ketua Jurusan Pidana FH Undip, Dr. Muladi, yang menilai putusan hakim sangat emosional: melampiaskan dendam pribadi. Sementara itu, Wendra, sampai perkara itu diperintahkan hakim tinggi untuk diperiksa ulang, menganggap tindakannya benar (TEMPO, 9 November 1985). Kecerobohan proses persidangan Wendra juga diakui Jaksa Edy -- yang sebelumnya entah mengapa menerima saja kemauan Wendra -- dalam tuntutannya. Selain kedua terdakwa membantah keras tuduhan, kata jaksa, saksi-saksi dari polisi juga tidak meyakinkan. Dua orang polisi yang dihadapkan ke sidang sebagai saksi, Jamino dan Kariman, misalnya memberi keterangan yang berlawanan. Yang satu bilang, kedua terdakwa masuk ke rumah Hakim Wendra dari pintu belakang yang tidak terkunci, sedang rekannya menerangkan, kakak-adik itu masuk lewat pintu depan dengan kunci palsu. Keterangan Kepala Polsek sendiri, Letda Kariman, menurut jaksa, bahkan sangat meragukan. Ia juga tidak tahu berapa buah jam yang tercuri - apalagi merk dan harga barang itu ketika dijual Junaedi dan Saldi. Barang bukti, berupa dua buah jam yang dikabarkan tercuri, Juga tak dibawa ke muka hakim. Junaedi, 20, dan Saldi, 17, memang sejak semula menolak semua tuduhan. Menurut Junaedi, pada 24 September 1984 itu, ia sebenarnya hanya memanjat pagar tembok Bioskop Cahyana untuk menonton gratis bersama adiknya. Tapi sial, ceritanya, sebelum sampai ke balik tembok, ia digonggong anjing milik Jing Hoo, yang rumahnya bersebelahan dengan bioskop. JING Hoo kaget, lalu berteriak, "Maling ... Maling." Kedua kakak-adik, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh serabutan, itu berlarian menyelamatkan diri. Malangnya, Saldi tertangkap. Keesokan harinya Junaedi menyerahkan diri ke polisi yang, katanya, sekadar untuk menolong adiknya. Di kantor polisi ternyata ia dituduh mencuri dua buah jam tangan di rumah Wendra. "Padahal, tahu rumah Pak Wendra saja kami tidak," ujar Junaedi. Tapi ia mengatakan terpaksa mengakui tuduhan itu karena tidak tahan melihat adiknya disiksa polisi. Ketua majelis hakim yang baru, S. Djawardi, tidak mempercayai cerita itu dan juga tuntutan jaksa. Sebab, menurut Djawardi ketika diadakan rekonstruksi, kedua terdakwa menunjuk sendiri tempat dia mengambil jam. "Bukti itu berdasarkan keterangan tertulis dari saksi, Wendra, yang menghadiri sendiri rekonstruksi," kata Djawardi. Djawardi juga tidak mempercayai kedua kakak-adik yang mengaku disiksa polisi. Keputusan banding, yang diminta baik jaksa maupun terdakwa, nanti yang menentukan kisah selanjutnya. KI Laporan Slamet Subagyo (Biro Ja-Teng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini