RAUT muka Nur Usman mendadak pucat. Buru-buru ia beringsut di tempat duduknya, begitu Jaksa T. Simanjuntak menuntut pidana 20 tahun penjara, di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu: bekas pejabat tinggi Pertamina ini dinyatakan terbukti bersalah menganjurkan orang lain menganiaya berat yang mengakibatkan matinya Jeremia Irwan Bharya, mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis di University of Southern California, AS. Selain itu, kata jaksa, Nur Usman terbukti menganjurkan penculikan, memaksa orang lain melakukan kekerasan, dan menghina bekas istrinya, Nyonya Thea Kirana. Menurut jaksa, tuntutan untuk terdakwa yang digelari "Gajah" ini pantas karena, memang, terdakwalah yang menganjurkan Jhoni Ayal dan kawan-kawan menganiaya sehingga mengakibatkan kematian anak tirinya, Roy Bharya, 10 Agustus 1984. Tapi terdakwa berkelit dan tidak menunjukkan rasa penyesalan, sehingga mempersulit proses pemeriksaan. Di depan tiga perwira polisi dari Polda Metro Jaya, misalnya, semula terdakwa mengaku menganjurkan tindak kejahatan tersebut. Tapi, di persidangan, ia mencabut pengakuannya. Padahal, kata jaksa, pihaknya telah menemukan cukup bukti tentang itu. Yang lebih memberatkan, kata jaksa, meningkatnya kejahatan yang dilakukan para "aktor intelektual" dengan cara menganjurkan orang lain untuk membunuh menganiaya, dan melakukan tindak kekerasan akhir-akhir ini. Untuk itu, kata jaksa, hukuman berat yang berfungsi sebagai tindakan preventif sangat diperlukan guna mencegah jangan sampai cara-cara demikian menjadi kebiasaan di Indonesia. Jaksa Simanjuntak, dalam tuntutannya setebal 127 halaman itu, tidak luput mencomot kasus Jhoni Ayal sebagai bahan perbandingan. Jhoni, sebagai pelaku yang disuruh terdakwa, juga dituntut 20 tahun penjara. Tapi kemudian Jhoni hanya divonis 17 tahun. Kasus Nur Usman ini cukup mengundang perhatian masyarakat. Sebab, belasan kali ia absen di persidangan, dengan "surat sakit" dari Dokter Wunardi. Ia membantah keras keterlibatannya dalam kasus Roy Bharya. Menanggapi tuntutan jaksa, ia menyatakan, "Tuntutan itu tidak hanya mengejutkan, juga terlalu berat. Ini menunjukkan adanya sifat dendam jaksa kepada saya," katanya lirih. Buktinya, "Saya ini sudah jelas-jelas sakit, tapi tidak dimasukkan dalam pertimbangan tuntutan." Sementara itu, Pembela Minang Warman hanya berkomentar, "Kalau jaksa dendam, itu 'kan berdosa." Minang, yang mengaku terkejut atas tuntutan itu, tidak ingin menilai sikap Jaksa. Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, menyatakan bahwa pihaknya sengaja tidak memasukkan "unsur sakit" dalam pertimbangan tuntutannya. "Justru, kalau soal sakitnya dimasukkan, tuntutannya bisa lebih berat dan bisa dianggap dendam. Sama sekali tidak ada itu rasa dendam," katanya. Menurut Bob Nasution, "Dalam hukum, antara orang yang menganjurkan dan orang yang dianjurkan, kedudukannya sama." Tapi mengapa harus dituntut seberat itu ? "Saya mau memberantas pembunuhan yang dilakukan dengan jalan menyewa orang lain," teriaknya lantang. Nur, bagi Bob, jelas menggunakan pembunuh bayaran: memberikan uang 200 dolar kepada Jhoni Ayal. "Itu bukti kongkret," kata Bob Nasution, yang pekan ini menunaikan ibadat umrah ke Mekkah. Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini