Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JERIT tangis dan tempik-sorak menggemuruh di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Selasa pekan silam. Keriuhan itu muncul dari ribuan karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang berada di dalam maupun di luar ruang sidang. Penyebabnya, hakim membatalkan Surat Keputusan Direktur Utama PT DI, Edwin Soedarmo, pada 11 Juli lalu tentang perumahan semua karyawan.
Putusan majelis hakim yang diketuai Arfani Mansyur juga meminta perusahaan itu tidak mengeluarkan surat keputusan apa pun yang berkaitan dengan tindakan merumahkan karyawan sebelum kasus ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Plus pembatalan tiga SK baru yang terbit setelah SK perumahan itu. Ketiga SK itu adalah pencabutan SK perumahan 11 Juli, SK izin proses PHK untuk 3.900 karyawan yang tidak mengikuti proses seleksi ulang, serta SK perumahan sementara terhadap 2.600 karyawan yang sudah mengikuti seleksi.
Hakim, dinilai Absar Kartabrata, pengacara karyawan, berani membuat terobosan baru. "Ini legal standing pertama dalam bidang perburuhan dan terjadi di pengadilan tata usaha," kata Absar.
Keputusan tersebut tentu saja tidak bisa diterima tergugat. Monang Saragih, kuasa hukum PT DI, menyayangkan vonis itu dan akan membawa masalah ini ke tingkat banding. Dasarnya, PTUN Bandung tidak berhak mengadili perkara perselisihan perburuhan. Seharusnya yang berwenang menyelesaikan perselisihan ini adalah Panitia Penyelesaian Perkara Perburuhan Pusat. Selain itu, gugatan pokok hanya masalah SK perumahan. Tapi hakim telah memasukkan SK baru yang tidak menjadi bukti dalam persidangan. Ketiga SK baru itu seharusnya tidak bisa dijadikan pertimbangan. "Ini fatal," tutur Monang.
Kejanggalan lain dalam putusan itu, menurut Monang, yakni gugatan tersebut dianggap sebagai gugatan legal standing. Padahal penggugat, Arif Minardi dan A.M. Bone, hanya ketua umum dan sekretaris Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP-FKK), bukan mengatasnamakan karyawan. Lagi pula lembaga serikat pekerja bukanlah LSM. Sebab, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung, yang berhak mengajukan gugatan legal standing hanyalah LSM yang sudah terdaftar di Departemen Dalam Negeri. Sedangkan SP-FKK bukan LSM, dan terdaftarnya di Departemen Tenaga Kerja. "Bukti keberpihakan majelis hakim semakin kentara. Mungkin ini akibat tekanan karyawan," kata Monang.
Benarkah? Rupanya sejumlah SK baru itu telah membuat majelis hakim berang dan merasa dilecehkan. Menurut Arfani, SK itu merupakan bukti arogansi direksi. "Seharusnya tergugat tidak menerbitkan SK selama belum ada putusan PTUN," kata Arfani.
Penantian karyawan memang terbayar sudah dengan keluarnya vonis tersebut. Namun harapan untuk segera bekerja tampaknya masih harus disimpan dalam-dalam. Setelah PTUN mengeluarkan vonis, esoknya ratusan karyawan berusaha masuk ke kawasan perusahaan. Tapi personel Pasukan Khas TNI Angkatan Udara jauh lebih perkasa dan mampu menahan desakan mereka. Akhirnya mereka hanya berorasi di depan pintu masuk. Menurut Ketua Umum SP-FKK, Arif Minardi, harusnya direksi menerima kekalahannya. "Biarkan kami masuk, lalu kita duduk bersama bicara tentang rasionalisasi dan mencari kesepakatan soal kompensasinya," kata Arif.
Vonis itu bahkan tak ada giginya sama sekali. Buktinya, program restrukturisasi dan rasionalisasi jalan terus. Menurut Edwin, PT DI hanya membutuhkan 3.000 sampai 3.400 karyawan. Akibatnya, pengeluaran per bulan hanya Rp 10 miliar atau turun Rp 25 miliar. "Kita siapkan pesangon Rp 130 miliar," katanya.
Absar bisa memahami bila putusan PTUN, meski sampai tingkat kasasi, tidak mempunyai kekuatan memaksa. Dilaksanakan atau tidak putusan itu oleh tergugat, tidak ada satu ketentuan yang memberikan kewenangan pada PTUN untuk memaksa pelaksanaannya. "Itulah kelemahan hukum kita. Tapi, paling tidak, keputusan itu merupakan kekuatan moral," kata Absar.
Kini Absar sedang merajut rencana. Ia akan mengadukan masalah ini ke pemegang saham untuk menyelesaikannya.
Agus S. Riyanto, Rinny Srihartini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo