TINDAKAN Maryanti, 20 tahun, gadis manis dari Dusun Nglenges, Kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, termasuk lumrah. Ia minggat pada hari pernikahannya, karena gadis itu tidak mencintai pemuda pilihan orangtuanya. Hanya saja, yang tak biasa, si pemuda, Suripto, menggugat Maryanti dan ayahnya, Cipto Pawiro, 64 tahun, ke pengadilan. "Saya merasa kehormatan saya diinjak-injak. Saya benar-benar merasa terhina," ujar Suripto, pemuda ganteng lulusan SMA PIRI Yogyakarta, yang kini bekerja di Pakanbaru. Akibat gugatan itu, Selasa pekan lalu Maryanti dan orangtuanya divonis Pengadilan Negeri Bantul membayar ganti rugi Rp 1.280.600. Uang sebanyak itu, menurut hakim, harus dibayar tergugat untuk mengganti kerugian materiil penggugat berupa uang srono (emas kawin), yang telah diserahkan pada calon penyantin wanita, dan uang transpor Suripto selama mengurus rencana pernikahan, bolak balik Pakanbaru-Yogya. Hanya saja, hakim menolak tuntutan penggugat atas kerugian moril sekitar Rp 14 juta dan kewajiban tergugat untuk memasang iklan permintaan maaf di dua surat kabar terbesar Yogya, sebanyak 2 kali berturut-turut ukuran 3 kolom. "Kami hanya mengabulkan kerugian materiil, sedangkan kerugian moril tidak terbukti dalam persidangan," ujar Ketua Majelis Nasikoen, Sm. Hk. Peristiwa itu memang bermula dari keinginan Cipto Pawiro sendiri, ayah Maryanti, yang ingin menjodohkan anaknya dengan pemuda satu desa. Sebab, tiga anak perempuannya yang lain menemukan jodoh dari luar desanya -- dan tak satu pun yang mau berkumpul bersamanya. Kebetulan seorang kerabat, pertengahan 1988 mengajukan Suripto, yang ketika itu baru saja kembali dari Pakanbaru, sebagai calon. Kebetulan pula Suripto memang tertarik oleh kembang desanya itu. Cipto langsung setuju setelah diperkenalkan dengan calon menantunya itu. Dan rencana pernikahan pun disusun. Semula Maryanti, yang bekerja di salon "Rapi" milik kakaknya, menolak rencana ayahnya. Tapi ayahnya mengancam, kalau dia menolak lamaran itu, maka Maryanti tidak diakui anak lagi dan tidak akan diberi warisan. Sebab itu, Maryanti terpaksa mengangguk mengiyakan permintaan ayahnya. "Tapi setelah itu ia menangis hampir tiap malam," tutur kakak perempuannya, Nyonya Lies, yang mengatakan adiknya itu belum pernah berpacaran. Maryanti sendiri mengaku menerima lamaran Suripto karena takut ancaman ayahnya. Tapi rupanya hatinya berontak. Sehari sebelum akad nikah, ia memutuskan minggat ke rumah seorang kakaknya di Surabaya. Apa pun penyebabnya, menurut hakim, tergugat terbukti bersalah ingkar janji. Sebab, sebelumnya kedua belah pihak sudah sepakat menentukan hari akad nikah. "Ternyata, tergugat menghilang tanpa pamit pada hari akad nikah. Ia jelas salah," ujar Nasikoen. Sebenarnya tak hanya Maryanti, gadis yang menghilang waktu akad nikah. Di Bantul, Kuswandari, 23 tahun, menghilang meninggalkan kekasihnya, Sukirno alias Uki, 25 tahun, tepat pada saat calon pengantin pria dan keluarga datang ke rumahnya untuk melangsungkan akad nikah, Minggu 30 Oktober 1988. Padahal, sebelumnya pasangan itu telah menjalin kasih selama tiga tahun. Hanya saja, sampai sekarang penyelesaian kasus tersebut masih belum jelas (TEMPO, 26 November 1988, Hukum). Kasus Maryanti dan Suripto di atas kini sudah mempunyai kekuatan pasti. Suripto menerima keputusan itu. "Meskipun hanya seperenam belas dari jumlah ganti rugi yang saya tuntut dikabulkan, saya merasa puas. Yang penting, nama baik saya sudah pulih di masyarakat," ujar Suripto. Pihak Maryanti juga tak ingin memperpanjang masalah. "Kami pasrah dengan keputusan pengadilan. Yang sudah ya sudah. . ." ujar Nyonya Lies, yang mengaku sudah habis-habisan untuk membayar ganti rugi dan bayar honor pengacara. "Orangtua saya terpaksa jual sawah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini