Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Si Darah Dingin

PN Lhokseumawe memvonis Syaiful Bahari hukuman penjara seumur hidup. Terbukti menculik & membunuh Heriyana Syuhada, 9. Nurdin, ayah korban, warga Meunasah blang peuria, Aceh Utara, sebelumnya diperas.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM agaknya tak sungkan-sungkan lagi menjatuhkan vonis berat dalam perkara pembunuhan berencana. Bahkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Pangeran Siregar, Senin pekan lalu tega memvonis seorang pelajar kelas I SMEA Negeri Lhokseumawe, Syaiful Bahari, 18 tahun, dengan hukuman penjara seumur hidup. Kejahatan Syaiful memang keterlaluan. Ia menculik dan membunuh anak tetangganya, Heriyana Syuhada, 9 tahun, pelajar kelas III SD, setelah gagal memperoleh uang tebusan. Ia membenamkan Syuhada ke sungai dan membanting-bantingkan kepala anak itu, sehingga korban tewas. Pada Selasa sore 16 Mei lalu, Syaiful mengajak korban mencari buah kelayu, di tepi Krueng (sungai) Alue, tidak jauh dari rumah mereka. Rupanya, Syaiful sudah menyiapkan tali nilon biru. "Coba, kuikat kau ke pohon, bisa nggak lepas," kata Syaiful. Tak curiga, Syuhada menurut. Setelah itu Syaiful menyumpal mulut Syuhada dan meninggalkan korbannya di tengah hutan semak itu. Malamnya, Syaiful mengirim surat ancaman ke rumah ayah korban, Nurdin Hamid, tokoh masyarakat dan orang kaya di Meunasah Blang Peuria, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Isinya: "Kirim uang Rp 10 juta jam 01.00 nanti di beton jembatan lama. Kalau tidak, kepala anak tuan akan kami pisahkan dari badannya." Itu surat ancaman kedua diterima Nurdin dalam tempo sebulan. Yang pertama, 22 April 1989, berisi perintah agar Nurdin meletakkan uang Rp 2 juta di beton jembatan yang tadi sekitar pukul 1 dinihari. "Kalau tidak, kilang padi tuan kami bakar dan anak tuan kami culik," ancam surat itu. Ancaman itu dilaporkan Nurdin ke polisi. Berdasarkan petunjuk polisi, segepok uang pecahan Rp 100 sejumlah Rp 50 ribu, digabung dengan potongan kertas selebar uang, dibungkus dan diletakkan di tempat yang diminta. Tapi, sampai batas yang ditentukan, sang pemeras tak datang. Tentu saja. Sebab, ketika polisi datang ke rumah Nurdin, Syaiful menyaksikan seluruh kegiatan ayah korban bersama polisi. Maka, dalam surat ancaman kedua, Syaiful meminta tak seorang pun diberi tahu Nurdin tentang pemerasan itu. Nurdin bingung. Ia membalas surat itu dan meletakkannya di beton jembatan, yang tidak jauh dari rumahnya. "Mohon waktu. Harap maklum," isi surat Nurdin. Ternyata, Syaiful kecewa. Begitu tahu ancamannya tak mempan, ia melepaskan Syuhada dari ikatannya. Anak itu diangkatnya ke sungai. Tapi korban melawan dan menangis. Syaiful segera menjambak rambut anak itu dan membenamkannya ke sungai. Tapi, di dalam air, Syuhada menggigit paha Syaiful. Syaiful semakin marah dan mengentakkan kepala bocah itu berkali-kali ke batang nipah yang terendam di sungai tersebut. Sekitar 15 menit kemudian, Syuhada tewas. Sesudah korban mati, Syaiful menelanjanginya. Mayat korban dia ganduli batu, supaya terbenam. Namun, mayat itu terapung dan ditemukan penduduk. Polisi yang melacak kasus itu, membekuk Syaiful, karena tulisannya sama dengan tulisan dalam surat ancaman. Di pemeriksaan polisi, ia mengaku sendirian membunuh anak itu dengan maksud membeli sepeda motor bila ancamannya mengena. Tapi, di persidangan, Syaiful mengaku dibantu Abdullah, kernet truk yang dikemudikan ayahnya. Abdullah diiming-imingi dapat bagian 50 persen hasil pemerasannya. Kini Abdullah juga diadili dan dituntut hukuman seumur hidup. Kendati begitu, menurut Hakim Siregar, otak pembunuhan ini adalah Syaiful. Dalam vonisnya, Siregar mengatakan, pemuda itu sebagai pembunuh berdarah dingin. "Matanya buta, tidak melihat wajah korban yang minta dikasihani," kata Siregar. Pemuda itu tak bergeming ketika mendengar vonis seumur hidup. Hanya pengacaranya, Sulaiman Nyak Putih, yang kemudian banding. "Tapi Syaiful tak peduli vonis hakim itu," kata Sulaiman. Yang menarik, kepada TEMPO Syaiful mengakui pembunuhan itu direncanakannya persis dengan film-film action dari video yang ditontonnya di rumah ayah korban. Tidakkah Syaiful hanya korban? Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus