PENGACARA-PENGACARA "besar" di Jakarta kini lagi bertarung memperebutkan kursi ketua umum organisasi advokat Ikadin. Tak demikian dengan pengacara "kecil" Surabaya, Bagus Wulyoadi, 37 tahun. Pengacara tamatan FH Universitas Airlangga itu kini bagaikan sudah jatuh diimpit tangga. Ia baru-baru ini divonis 4 bulan penjara karena terbukti menilep uang kliennya "hanya" Rp 3,1 juta. Tak hanya itu. Setelah mendengar kasus itu, ayahnya, Purwoadisastro, 60 tahun, mendadak meninggal dunia. Selain itu, istrinya, Hari Pudiastuti, menuntut cerai melalui pengadilan agama, setelah pergi membawa tiga anak hasil perkawinan mereka. "Mas Wul benar-benar 'habis'. Ia kehilangan segalanya," tutur seorang adiknya, Sumiatiningsih. Nasib kepengacaraan Wulyoadi pun, kata pembelanya dalam kasus uang tadi, Farouk Aladetta, kini berantakan. Bahkan Wulyoadi kini terpaksa "hijrah" dari Surabaya ke rumah salah satu familinya, di bilangan Menteng Dalam, Jakarta. Kehancuran pengacara "kecil" itu bermula dari penyerahan uang dari kliennya, Nyonya Siti Riyan, Rp 3,1 juta kepadanya pada April 1986. Maksud Siti, uang itu akan digunakan untuk membayar sisa utangnya kepada Mat Akuwan -- sesuai dengan putusan pengadilan. Sebenarnya, menurut putusan pengadilan, utang Siti kepada Mat Akuwan berjumlah Rp 5,6 juta. Tapi setelah putusan dari Mahkamah Agung turun, wanita itu mencicilnya Rp 2,5 juta. Jika utang itu tak dilunasi, rumah Siti di Jalan Plemahan, Surabaya, yang bernilai sekitar Rp 20 juta, terancam akan dilelang pengadilan. Ternyata, menurut Jaksa Steve Fernandez, uang Rp 3,1 juta itu tak pernah disampaikan Wulyoadi ke pengadilan ataupun ke alamat Mat Akuwan. "Uang itu dipakainya untuk kepentingannya sendiri," kata Jaksa Steve. Di persidangan, Wulyoadi membantah menyalahgunakan uang kliennya. Uang Siti itu, katanya, dipergunakan untuk dana "operasional" mengurus perkara Siti-Mat Akuwan. Berkat itu, antara lain, katanya, jumlah utang Siti bisa diturunkannya dari sekitar Rp 7 juta -- berdasarkan perhitungan putusan akhir -- menjadi Rp 5,6 juta. Selain itu, ia mengaku berkali-kali mengupayakan pembatalan lelang rumah Siti. Kendati begitu, Wulyoadi mengaku mengutip sebagian -- tak disebutkan jumlah pastinya -- dari uang Rp 3,1 juta itu. Tapi pemotongan itu, katanya, adalah bayaran honornya selaku kuasa hukum. "Masa, saya tak diberi honor sama sekali," ucap Wulyoadi, yang sempat dirawat selama 40 hari di RS Jiwa Menur, Surabaya, gara-gara stres berat akibat kasus itu. Sebab itu pula, Farouk Aladetta menyatakan tak habis pikir atas ulah Siti memperkarakan Wulyoadi. "Sudah ditolong, kok, malah balik memperkarakan kuasa hukumnya," ujar Farouk. Kasus Wulyoadi itu, katanya, hanya lantaran tiadanya perjanjian tertulis, yang mengatur hak dan kewajiban si pengacara. Dalih Farouk itu ditampik Jaksa Steve. Segala pengeluaran yang disebutkan terdakwa untuk kepentingan Siti, "tak ada bukti-buktinya," kata Steve tandas. Selain itu, Siti dan Wulyoadi juga tak pernah khusus membicarakan soal honor. Majelis hakim yang diketuai Akhmad Hasan, pada 7 November lalu, ternyata sependapat dengan jaksa. Karena itu, majelis menganggap Wulyoadi terbukti melakukan penggelapan, dan mengganjarnya 4 bulan penjara. Wulyoadi menyatakan naik banding atas vonis itu. "Saya kan cuma kena fitnah," katanya. Padahal, tambah Wulyoadi, "Saya sudah berusaha maksimal untuk mencegah pelelangan rumah Siti." Pengadilan banding memang belum memutuskan kasus pengacara "kecil" itu. Yang jelas, tak semua pengacara, memang, gemerlapan seperti yang ditampilkan pengacara-pengacara "besar" di Jakarta. Laporan Jalil Hakim (Surabaya) & Ardian T. Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini