MUNGKIN ini untuk pertama kalinya seorang jemaah menyuruh turun khatib Jumat dari mimbar. Seorang guru madrasah sanawiyah Jemaah itu, Samiun, 45 tahun, nekat menyuruh Arpan turun dari mimbar Masjid Yahya, Desa Beleka, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, ketika khatib itu lagi memberikan khotbah Jumat. Akibat tindakannya itu, pekan-pekan ini Samiun diadili di Pengadilan Negeri Mataram. "Akibat kejadian tersebut, sembahyang Jumat di masjid itu gagal," begitu tuduhan Jaksa Soebandi. Jumat siang, 28 Oktober 1988, Masjid Yahya telah dipenuhi sekitar 200 orang jemaah. Bilal sudah menyerahkan tongkat kepada Arpan agar memulai khotbah. Tapi, begitu Arpan akan ceramah, Samiun yang duduk di barisan depan mengangkat tangannya. "Situ turun. Tidak usah baca," katanya. Ketua Pengurus Masjid Yahya, H. Yusuf, mengingatkan Samiun agar menaati tata krama masjid untuk tidak berbicara bila seorang khatib lagi berkhotbah. Tapi Samiun tak menggubrisnya. Ia malah melangkah mengambil mikrofon di meja khatib. "Bagaimana, Kawan? Setuju kita turunkan," kata Samiun mencari dukungan massa. Maka, ratusan jemaah berteriak. Ada yang setuju, ada yang menolak. Suasana semakin gaduh ketika puluhan orang, tanpa baju, tahu-tahu muncul hendak masuk ke dalam masjid. Bahkan ada yang memegang parang dan tombak. Mereka berteriak dalam bahasa Sasak, "Matik! Oros!" Artinya, bunuh dan tarik. Kepala mereka dililit ikat kepala tanda Mesiat -- siap berkelahi dengan pisau. "Masjid kayak lapangan bola saja," kata seorang jemaah yang juga putra Yusuf, Zainuddin. Karena keributan ini, Arpan meninggalkan masjid, disusul beberapa pengurus masjid. Dan gagallah Jumatan. Polisi baru datang mengamankan lokasi setelah jemaah bubar. Sebenarnya khatib tetap di Masjid Yahya itu adalah Haji Abdurrahman, Mahid, Adnan, dan Ismail. Tapi entah kenapa dalam rapat pengurus, 15 Oktober, diputuskan Arpan sebagai khatib pada 28 Oktober itu. Arpan dianggap layak naik mimbar karena penilik Pendidikan Agama Islam (Pendais) Kecamatan Gerung itu memang pernah jadi khatib di masjid tersebut pada 1987. Ternyata, tampilnya Arpan tak disetujui Samiun, yang juga aktif sebagai penceramah di Masjid Yahya. Penilik Pendais Kecamatan Bayan itu menganggap Arpan tak layak naik mimbar. Konon, Arfan dianggap Samiun kurang lancar memberikan khotbah dan tak disukai oleh jemaah kalangan tua. Sebaliknya, Arfan menganggap protes Samiun itu hanya sebagai sentimen akibat merasa disaingi saja. "Kalau saya tampil aktif, Samiun akan pudar," kata Arpan. Sebab itu pula, katanya, ia tak segera bersedia turun mimbar begitu diprotes Samiun pada salat Jumat tersebut. Apa pun alasannya, penegak hukum memang memperkarakan Samiun. Setelah sempat "diamankan" selama seminggu di kantor polisi, pada 4 November lalu, ia diajukan jaksa ke sidang "tipiring" (tindak pidana ringan) dengan tuduhan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan orang lain. Ternyata, hakim tunggal Lalu Mariyun menganggap kasus itu tidak termasuk pidana ringan. Sebab itu, hakim mengembalikan berkas perkara ke polisi untuk diperbaiki. "Sebab, saya melihat ada kata-kata ancaman. 'Bunuh! Bunuh!' Bahkan bawa parang segala," kata Lalu Mariyun kepada TEMPO. Pekan-pekan ini Samiun kembali dihadapkan sebagai terdakwa. Kali ini dalam persidangan biasa -- bukan perkara ringan -- di Pengadilan Negeri Mataram. Jaksa Soebandi, selain menuduh Samiun mengancam Arpan dengan kekerasan, juga mendakwa terdakwa menggagalkan sembahyang Jumat. Tuduhan jaksa itu disangkal pengacara Samiun, Jono G. Nugroho. "Samiun tak punya rencana menggagalkan sembahyang Jumat, apalagi melakukan kekerasan," kata Jono. Kliennya itu, menurut Jono, selain tak membawa senjata ke masjid juga tak pernah menyuruh orang lain melakukannya. Maka, jika dakwaan jaksa nanti tak terbukti, "kami akan menuntut balik Arpan dengan tuduhan memfitnah," lanjutnya. Samiun sendiri membantah telah mengerahkan orang untuk membuat ribut di masjid itu. Orang-orang bertelanjang dada yang masuk masjid, ketika keributan itu, katanya, adalah orang yang kebetulan habis mandi di belakang masjid. Ia juga membantah telah membubarkan Jumatan. "Haji Yusuf yang membubarkan jemaah Jumat itu," kata Samiun. Terdakwa itu kini cemas bila dihukum hakim dengan hukuman berat. "Mana ekonomi saya begini. Anak-anak banyak, biaya sekolah banyak," tutur ayah delapan anak ini dengan lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini