TOKOH penyelundup yang ketika berlangsung Operasi 902 pada 1976 pernah dinusakambangankan, Yasin Syarif, ternyata bisa pula mengalahkan Kejaksaan Agung. Di sidang praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu pekan lalu, hakim menyatakan penahanan Yasin oleh kejaksaan, sejak 1 Juni lalu, tak sah menurut hukum. Sebab itu, pengadilan memerintahkan pihak kejaksaan mengeluarkan Yasin Syarif alias Fie Yong Sin dari tahanan. Selain itu hakim juga menghukum kejaksaan membayar ongkos perkara Rp 5 ribu. Nama Yasin Syarif, bos PT Top Star, mulai disebut-sebut ketika yang berwajib membongkar berbagai kasus manipulasi Seritifikat Ekspor (SE) sekitar 1985-1986. Salah satu manipulasi ekspor yang terbesar terjadi dalam kasus ekspor 11 juta set gasket -- bahan pembuat packing mobil -- dan 136.500 lusin botol minyak wangi ke Singapura, sejak Maret sampai September 1984, atas nama perusahaan PT Aria Girimai (AG), CV Sugiharto, dan PT Angkasa Jaya Santika (AJS). Berkat ekspor itu, ketiga perusahaan itu menikmati insentif fasilitas SE Rp 44 milyar lebih. Padahal, ternyata, dari 11 juta set gasket itu, cuma dua juta yang betul-betul mereka ekspor ke luar negeri. Hanya saja, barang yang telah mereka ekspor itu belakangan mereka impor melalui Lampung untuk kemudian mereka ekspor lagi. Begitu berkali-kali, bolak-balik. Hanya saja, ketika diusut kejaksaan Yasin sebagai pemilik perusahaan-perusahaan tersebut membantah terlibat dalam permainan itu. Menurut Yasin, nama perusahaannya sengaja dicatut oleh Bambang Kasto, bekas anak buahnya yang telah dipecatnya. Repotnya, ketika itu, Bambang Kasto bersama rekannya Marzuki telah kabur ke luar negeri, sebagaimana manipulator SE lainnya. Sebab itulah, Jaksa Agung Sukarton pun, Juli 1988, mengancam akan mencabut paspor dan kewarganegaraan para buron itu. Selain itu, Bambang juga akan diadili secara in absentia. Ancaman Sukarton itu ternyata mempan. Pada 11 Agustus 1988, Bambang Hermawan alias Bambang Kasto, 42 tahun, menyerahkan diri. Setelah itulah nama Yasin "rusak berat" karena Bambang "menyanyi" di tahanan. Kepada pemeriksa ia menuding Yasinlah dalang dalam kasus -- manipulasi SE itu. Sebab itu, pada 29 Agustus 1988, Yasin ditangkap Kejaksaan Agung. Hanya saja, konon, pihak kejaksaan sulit mencari bukti bahwa Yasinlah otak kejahatan itu. Sebab itu, hingga beberapa kali masa penahanannya diperpanjang, berkas perkara Yasin belum beres. Bahkan, pada 26 November, kejaksaan menangguhkan penahanan Yasin dengan jaminan pengacaranya sendiri, Soeprapto, dan uang Rp 500 juta. Yasin dikenai wajib lapor dan harus hadir bila dipanggil kejaksaan. Setelah enam bulan di luar tahanan, pada 17 Mei 1989 Yasin dipanggil menghadap Jaksa Margono. Ternyata, tersangka itu tak bisa hadir karena sedang di luar kota. Sebab itu, kejaksaan, pada 1 Juni, kembali menahan Yasin. Hanya saja, berbeda dengan tuduhan terdahulu, kejaksaan kali ini menahan Yasin dengan tuduhan tersangkut tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyelundupan empat peti suku cadang mobil dari Singapura melalui pelabuhan Panjang, Lampung, 21 Februari 1984. Penahanan baru itu, 8 Juni lalu, melalui Pengacara Soeprapto, dipraperadilankan Yasin. Sebab, barang-barang yang dituduh diselundupkan Yasin itu, menurut Soeprapto, menyatu dengan dokumen gasket dan minyak wangi yang diimpor Bambang Kasto kembali ke Indonesia. "Kasusnya sama saja, yaitu penyelundupan dan korupsi dalam kaitannya dengan kasus Bambang Kasto," kata Soeprapto. Karena itu, kata Soeprapto, penahanan baru itu tak sah menurut hukum. Hakim tunggal Den Syarfuni ternyata sependapat dengan Soeprapto. Ia juga beranggapan perkara Yasin yang baru sama saja dengan perkara yang dituduhkan kepada Bambang Kasto dan Yasin sebelumnya. Sebab itu, hakim menganggap penahanan baru kejaksaan itu tak sah dan memerintahkan agar Yasin dikeluarkan dari tahanan."Saya senang, keadilan bisa diciptakan," komentar Yasin menyambut putusan itu. Sebaliknya, Bambang Kasto kecewa atas putusan tersebut. Ia menganggap dengan vonis itu berarti hukum tak tegak. "Kalau hukum mau ditegakkan, saya akan membantu membongkarnya," kata Bambang, yang sampai kini masih ditahan. Menurut Bambang, barang-barang yang dimasukkannya melalui Lampung adalah milik Yasin. Nah, dari hasil manipulasi SE gasket itu, kata Bambang, Yasin menerima uang dari Marzuki US$ 9 juta. Sedang dari ekspor minyak wangi Yasin memperoleh uang dari Irawan Gunawan Rp 1,5 milyar (dipotong Rp 400 juta untuk ongkos-ongkos). Kata Bambang, sebelumnya Yasin bisa lepas dari pemeriksaan Kejaksaan Agung berkat perannya. Waktu itu, ceritanya, ia diminta Yasin menambankan keterlibatan bosnya itu. "Saya dijanjikan akan diberi Rp 250 juta dan akan diusahakan untuk ditahan luar," kata Bambang. Ternyata, tambahnya, semua itu bohong. Yasin membantah tudingan Bambang bahwa ia otak manipulasi SE itu. "Buktinya mana?" kata Yasin. Begitu juga mengenai janji uang Rp 250 juta. "Itu semua tidak benar. Dia ngomong seenaknya saja, dan tidak memperhitungkan akibatnya," kata Yasin. Siapa yang benar memang belum jelas. Yang pasti, Yasin telah memenangkapan praperadilannya. Hanya saja, menariknya, sehari setelah vonis itu, pada 22 Juni -- atau pada hari ia seharusnya dilepaskan -- kejaksaan justru mengeluarkan surat perpanjangan penahanan Yasin untuk kasus pertamanya, kasus manipulasi SE bersama Bambang Kasto. Rupanya, kendati Yasin pernah dilepaskan dengan jaminan, diam-diam kejaksaan mengurus perpanjangan penahanan Yasin untuk kasus itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ternyata, itu dikabulkan hakim. "Ini kelanjutan penangguhan penahanan yang dulu. Dahulu ditangguhkan karena ada jaminan uang," kata Kahumas dan Protokol Kejaksaan Agung, Soeprijadi S.H. Berbeda dengan sikap kejaksaan sebelumnya, kali ini kejaksaan tak menginginkan Yasin di luar tahanan. "Kalau ia lari, kami kan bisa dipersalahkan dan dikecam masyarakat," kata Soeprijadi. Sebab itu pula, kata Soeprijadi, uang jaminan Yasin Rp 500 juta akan dikembalikan kejaksaan. "Tapi tidak seketika."Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, dan Ardian (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini