Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERADILAN administrasi tidak iama lagi akan lahir, melengkapi peradilan umum, agama, dan militer. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang berniat mengajukan RUU peradilan administrasi itu, berharap DPR sekarang bisa mengesahkan peradilan yang sudah lama ditunggu-tunggu . "Saya harapkan RUU itu bisa dibahas dan tidak dikembalikan lagi kepada pemerintah," ujar Ismail Saleh. Dua tahun lalu, pendahulu Ismail Saleh, Ali Said, sudah mencoba mengajukan RUU itu ke DPR. Tapi, sampai habis masa sidang DPR 1978- 1983, peradilan administrasi yang diperintahkan kehadirannya, oleh Undang-Undang' Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14/1970, gagal diundangkan. "Janin" peradilan baru itu terpaksa dikembalikan DPR kepada pemerintah. Seperti apa peradilan administrasi itu nantinya? Seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sjachran Basah, menguraikan seluk-beluk peradilan administrasi itu dalam disertasi yang dibacakannya di sidang terbuka senat guru besar Unpad, Sabtu, dua pekan lalu. Menurut Sjachran, yang kini bergelar doktor itu, lembaga baru itu mutlak diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pemerintah untuk bertindak cepat dan kepentingan rakyat yang kena tindak. Menurut Sjachran, 50, yang mengaku selama sepuluh tahun meneliti bidang itu, contoh terbanyak dalam soal administrasi terdapat dalam kasus tanah. Misalnya, pemerintah memutuskan pembebasan tanah rakyat untuk kepentingan umum. Tapi ternyata setelah rakyat tergusur, tanah itu diperuntukkan membangun perumahan mewah. "Jika peradilan itu ada, rakyat bisa menggugat pemerintah," ujar Sjachran. Contoh kongkret, menurut Sjachran, terjadi pada waktu Pemerintah DKI membangun Jalan Jakarta By-Pass. Banyak tanah rakyat yang dibebaskan untuk proyek ltu, termasuk milik Drs. Gulbadar Harahap. Sebagian dari tanah Harahap, yang merupakan sisa dari proyek jalan, diminta Yayasan Pulomas. Harahap keberatan. Tapi, belakangan, pemerintah turun tangan membuat keputusan pengosongan tanah itu dan menyerahkannya kepada Yayasan Pulomas. "Dalam kasus ini berarti pemerintah melanggar hukum. Dan penyelesaiannya, seharusnya, merupakan wewenang peradilan administrasi," ujar Sjachran. Berdasarkan beberapa kasus lain, alumnus FH Unpad 1960 itu berkesimpulan, peradilan administrasi akan lebih menjamin hak-hak rakyat. Sebab, peradilan itulah yang berwenang membatalkan semua keputusan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. "Dengan demikian, bisa diharapkan pemerintah tidak sewenang-wenang mengambil keputusan, karena ada suatu lembaga yang khusus mengontrol tindakannya," tambah dosen yang bertubuh gemuk dan berambut ikal itu. Selain mengurus konflik antara pemerintah yan memegang kekuasaan administrasi - dan rakyat, lembaga baru itu, tutur Sjachran, juga berwenang mengadili sengketa intern antaradministrasi negara. "Misalnya, dalam hal gaji atau pangkat pegawai negeri," tambah Sjachran. Selama ini, menurut lektor kepala FH Unpad itu, penyelesaian-penyelesaian kasus yang merupakan wewenang peradilan administrasi diselesaikan melalui peradilan administrasi "semu". Misalnya, pengaduan terhadap suatu instansi pemerintah disampaikan ke instansi yang lebih tinggi. Atau ada juga rakyat yang dirugikan membawa kasusnya ke peradilan umum. "Peradilan itu disebut semu, karena di peradilan umum sengketa itu diselesaikan menurut hukum acara perdata, dan juga karena keterbatasan pengetahuan hakimnya dalam soal administrasi," kata Sjachran. Sebab itu pula, menurut Sjachran, bila peradilan administrasi itu terwujud nanti, beban berat bagi pemerintah adalah mencari tenaga hakim yang tepat untuk menangani kasuskasus administrasi. "Hakim-hakim yang ada sekarang lebih banyak dari bidang perdata dan pidana, karena itu pemerintah harus berani mempekerjakan pensiunan-pensiunan ahli administrasi dari berbagai instansi," tutur Sjachran lagi. Hukum acaranya, menurut Sjachran, tidak banyak berbeda dengan hukum acara perdata. Hanya, jika di sidang perdata pihak tergugat bisa menggugat balik, di peradilan administrasi pihak tergugat - pemerintah - tidak bisa berbalik menjadi penggugat. "Ini untuk keadilan. Pemerintah toh sudah mempunyai kekuasaan lebih, misalnya mencabut izin usaha sebuah perusahaan, sedangkan suatu perusahaan tidak bisa membatalkan salah satu putusan pemerintah," kata Sjachran. Dari pemikiran-pemikiran itu, Sjachran meraih gelar doktornya dengan predikat 'sangat memuaskan". Dalam menyelesaikan disertasi setebal 350 halaman itu, ia dibimbing Prof. Rachmat Sumitro dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Persoalannya kini, akankah peradilan administrasi itu lahir dengan gampang. RUU Deradilan administrasi yang gagal dijadikan undang-undang oleh DPR pada masa sidang lalu itu, rupanya, dianggap para anggota DPR sebagai "pemberian setengah hati" dari pemerintah. Sebab, selain pengajuannya yang sudah dekat selesainya masa bakti DPR, juga rumusan-rumusan dalam RUU itu dianggap terlalu luas. Misalnya, salah satu tindakan pemerintah yang tidak boleh digugat adalah yang menyangkut kepentingan umum. "Tapi, sampai di mana sih batas kepentingan umum itu?" ujar seorang anggota DPR. Selain itu, Albert Hasibuan, anggota Komisi III DPR, menilai bahwa RUU yang lama itu kurang lengkap - tidak dilengkapi hukum acara. "Jadi, kalaupun RUU itu disetujui DPR, tidak akan jalan," ujar Albert, yang pernah menjadi dosen hukum administrasi di FH UKI, Jakarta. Sebab itu, Albert mengharapkan, bila pemerintah akan mengajukan lagi RUU itu, hendaknya komplet dengan hukum acaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo