SEMUA pihak patut mendapat ucapan selamat. Kepada jaksa yang
dibebaskan dari tugas sebagai penyidik. Kepada polisi yang
dipercayai sebagai penyidik tunggal dalam perkara pidana. Dan
tentu kepada semua yang bakal terpaksa berurusan dengan perkara
pidana: Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru kelak cukup menjamin
terselenggaranya proses perkara pidana secara baik--setidaknya
lebih baik dari penyelenggaraan selama lebih 130 tahun.
Sebab minggu ini, dalam suatu sidang paripurna, DPR akan
menguburkan undang-undang lama: HIR (Herzien Inlandsch
Reglement) atau dalam bahasa kita RIB (Reglemen Indonesia yang
Dibaharui) buatan pemerintah kolonial (1848). Dan sebagai
gantinya adalah mengesahkan RUU-HAP menjadi UU setelah melewati
masa perbincangan di DPR selama 2 tahun.
Undang-undang baru tersebut, menurut banyak ahli hukum,
merupakan kemajuan fantastis di bidang hukum. Meskipun, seperti
kata Pengacara dan Ketua Yayasan LBH (Lembaga Bantuan Hukum)
Adnan Buyung Nasution, "mutu undang-undang tersebut belum
terhitung nomor satu--karena di beberapa bagian ada cacatnya!"
Meskipun demikian, menurut Buyung, banyak hal yang lebih maju
dari yang diharapkan banyak ahli hukum. Misalnya munculnya
lembaga praperadilan, batas penahanan, ganti rugi/rehabilitasi
di samping soal bantuan hukum. Semua itu, menurut Buyung
"menunjukkan kita semua masih komited dengan negara hukum yang
melindungi hak asasi manusia."
"Pengakuan terbesar terhadap harkat dan martabat manusia adalah
dengan adanya lembaga praperadilan," ujar Irjen Departemen
Kehakiman, Kamil Kamka, yang juga banyak terlibat dalam
penggodokan RUU-HAP. Sebab, sebelm seorang tersangka diadili
perkaranya, HAP yang baru nanti mengizinkannya meminta
pertimbangan hakim patutkah ia ditangkap dan ditahan? Melalui
lembaga praperadilan tersebut tersangka boleh menuntut ganti
rugi atau rehabilitasi bila ternyata polisi salah ungkap atau
main tahan.
Menteri Kehakiman, Ali Said melihat masalah waktu penahanan
merupakan kemajuan dalam HAP, karena ada batasan yang jelas.
Selama ini, katanya, perpanjangan penahanan dari pengadilan,
bisa tanpa batas. Dalam HAP penyidik hanya boleh menahan 20
hari, dan meminta perpanjangan penahanan kepada jaksa untuk 40
hari." Kalau penyidikan belum selesai, masa penahanan 60 hari
itu sudah habis, tersangka harus dilepaskan. "Walau tersangka
pembunuhan, atau penjahat kelas satu harus dilepaskan, kalau
tidak yang menahannya ganti dituntut," ujar Ali Said.
Bukan hanya polisi atau jaksa saja yang dibatasi wewenangnya
untuk menahan oleh HAP. Hakim berikut hakim tinggi dan hakim
agung, juga dibatasi dengan jelas. Seluruhnya, seorang tersangka
hanya boleh ditahan selama 460 hari. Kalau jangka waktu itu
habis, perkaranya belum mendapat keputusan yang berkekuatan
pasti, tersangkanya harus dibebaskan.
Pasal tentang batas penahanan inilah yang disebut Andi Mochtar,
Ketua Tim Sigab (Gabungan Komisi I dan III DPR yang membahas
RUU-HAP), sebagai salah satu topangan kuat untuk hak asasi
manusia. Apalagi dalam penangkapan dan penahanan, disyaratkan,
polisi harus cukup punya bukti pihak penyidik. Sebab kesalahan
penangkapan, dan terlambatnya melepaskan tahanan dari
semestinya, bisa dituntut ganti rugi.
Pasal ganti rugi ini dinilai bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof.
Oemar Seno Adji, sebagai hal yang baru--tidak disinggung HIR.
Tapi kemajuan itu, diingatkan Oemar, sebenarnya sudah dikandung
oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (1970). Hanya saja,
peraturan pelaksanaannya yang tidak pernah ada. "Tetapi inovasi
dan jiwanya sudah ada dan kemudian dirumuskan dalam HAP yang
baru itulah," ujarnya. Hakim Tinggi Ja-Bar, Bismar Siregar, juga
membenarkan bahwa pasal ganti rugi sebagai kemajuan. "Sampai
terhadap keputusan hakim yang keliru pun terdakwa dapat menuntut
ganti rugi," kata Bismar.
PERJUANGAN kalangan advokat akhirnya terwujud juga:
Tersangka berhak berhubungan dengan penasihat hukumnya semenjak
permeriksaan pendahuluan. Persoalan hubungan tersebut diawasi
petugas atau tidak, menurut Oemar Seno Adji, itu sudah menjadi
perdebatan internasional di PBB. Umumnya, katanya, konsep yang
diterima PBB adalah bebasnya tersangka berhubungan dengan
pembela. Tetapi, standar minimal ditetapkan, hak tersangka untuk
berhubungan dengan diawasi oleh petugas.
Cuma yang dirasakan Buyung sebagai cacat terhadap HAP ini adalah
dicantumkannya, kata dapat, untuk didampungi pembela bagi
tersangka dalam pemeriksaan. "Jadinya kita banci, karena
harusnya itu merupakan hak," ujar Buyung. Pasal inilah, salah
satu kerikil yang hampir membuyarkan perumusan HAP (TEMPO 19
September). Sebab, sebelumnya wakil pemerintah, Mudjono, sudah
menyetujui pembela melihat dan mendengar pemeriksaan, kecuali
untuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Namun Ali Said,
sebagai wakil pemerintah yang baru, tidak dapat menyetujuinya,
dan menghendaki pengacara hanya melihat tapi tidak mendengar
pemeriksaan untuk semua perkara.
Akhirnya disepakati kompromi pengacara dapat melihat dan
mendengar. Dalam penjelasan dicantumkan, pengacara hadir secara
pasif. "Kata dapat ini bisa mengundang interpretasi, bisa boleh
dan bisa tidak, dan kalau demikian tidak ada arti larangan bagi
petugas untuk menghalangi hak tersangka didampingi," ujar Buyung
Nasution SH. Kata pasif dalam penjelasan juga dipertanyakan
Buyung: "Apa tak boleh mengajukan keberatan atas pemeriksaan?"
tanyanya.
Khusus mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, tidak banyak
perdebatan. Ali Said menjelaskan: "Kejahatan ini harus dibongkar
sampai ke akarakarnya." Pembela dilarang ikut mendengar, karena
di luar negeri pernah terjadi ternyata pembela dibayar oleh
sindikat yang mau menghancurkan negara. Hasil pemeriksaan yang
didengar pembela itu, kemudian dibocorkan pembela kepada
sindikat yang membayarnya. Secara keseluruhan bunyi pasal
bantuan hukum ini, Prof. Oemar Seno Adji memuji "Boleh hadir
saja untuk pembela sudah kemajuan, boleh mendengar dan melihat
lebih maju lagi," komentarnya.
Tetapi yang paling dianggap cacat oleh banyak pihak, adalah
berlakunya acara pidana khusus yang mengatur undang-undang
subversi, ekonomi atau korupsi. "Berarti UU yang baik itu akan
berjalan bersama dengan perkosaan hukum," ujar Buyung. Karena
dengan alasan khusus itu, Kopkamtib tanpa mengindahkan HAP bisa
saja melakukan penahanan.
Alasan ini pula yang membuat Fraksi PDI dan PPP di DPR
bersitegang, sehingga terjadi debat yang keras dengan wakil
pemerintah, Ali Said. "Undang-undang khusus itu justru bisa
merongrong HAP," ujar Da Costa. Sebab menurut wakil PDI ini,
dengan diberlakukannya hukum acara pidana khusus itu, akan
menyebabkan tidak terjaminnya hak asasi.
Sebetulnya yang menjadi "momok" bagi wakil-wakil parpol kata Ali
Said, adalah undang-undang subversi. "Momok inilah yang ingin
dihilangkan terutama oleh wakil PPP," ujarnya. Padahal yang
diatur oleh acara khusus bukan hanya subversi, tetapi juga
undang-undang lain seperti korupsi, ekonomi, imigrasi, senjata
api dan sebagainya.
Perdebatan yang sengit ini akhirnya bisa diatasi dengan
kesepakatan tetap memberlakukan undang-undang khusus itu dalam
pasal Ketentuan Pera!ihan. Hanya saja dengan catatan:
undang-undang khusus itu akan diubah dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Penyidik tunggal di tangan polisi memang tidak menjadi
perdebatan hangat di kalangan tim Sigab. Sebab ide itu sudah
tercantum dalam RUU HAP, "sehingga wakil dari kejaksaan juga
tidak protes," ujar seorang anggota tim. Banyak pihak yang
menilai tugas kejaksaan akan banyak berkurang dengan berlakunya
undang-undang baru ini.
Jaksa Agung Ismail Saleh, tidak sepenuhnya sependapat. "Itu
tergantung cara melihatnya," jawab Ismail Saleh. Sebab menurut
penafsirannya, dengan undang-undang baru itu jaksa bertugas
mengawasi pemeriksaan yang dilakukan polisi, dan juga memberikan
petunjuk. "Itu kan tambahan pekerjaan, padahal selama ini bisa
lebih cepat karena ditangani sendiri," ujarnya. Apalagi untuk
undang-undang khusus masih diberlakukan yang lama.
HANYA kekhawatiran perkara akan bolak-balik antara jaksa dengan
polisi, juga akan diatasi dalam pelaksanaannya. Jaksa Agung
Ismail Saleh bersama Kapolri Awaluddin Djamin, akan mengadakan
"penataran bersama". "Pelaksanaan HAP akan tercapai kalau
masing-masing instansi mengandalkan prestasi bukan prestise,"
kata Ismail Saleh lagi.
Ganjalan yang belum pasti mendapat jawaban, adalah peranan
instansi Kopkamtib setelah IIAP menetapkan penyidik tunggal.
"Kopkamtib itu termasuk undang-undang khusus," ujar Albert
Hasibuan dari IKP. Namun sumber TEMPO membenarkan, hal itu
menjadi persoalan, dan banyak pihak dari penegak hukum
menghendaki instansi penyidik itu diserahkan kepada polisi saja,
termasuk yang menyangkut keamanan negara.
Kekhawatiran lain adalah penyidik tunggal polisi yang statusnya
militer dan tunduk kepada hukum militer. "Seharusnya senjata
polisi bukan bedil, tapi KUHP," kata Buyung yang merasa belum
pas dengan status polisi ini. Status yang diinginkan Buyung,
polisi dikembalikan menjadi sipil yang sama-sama runduk kepada
hukum bagi orang yang dul rusnya.
Usul Buyung ini, dibenarkan seorang pejabat tinggi hukum.
Pejabat itu mengusulkan polisi tidak perlu dilepaskan dari
Hankam, tetapi cukup diberi status sipil penuh, sehingga hukum
sipilnya berlaku. Ia memisalkan, di Hankam yang juga ada pegawai
sipilnya, bahkan dalam Angkatan Perang. "Jika penyidik hanya
bisa diadili secara militer sementara yang diperiksa sipil,
tidak ada asas kebersamaan," ujar pejabat itu.
Terlepas dari berbagai ganjalan, HAP yang baru disepakati semua
pihak sebagai langkah kemajuan. Setelah disahkan DPR, HAP akan
diserahkan kepada pemerintah, untuk diundangkan. "Diharapkan
dalam waktu tiga bulan sudah menjadi undang-undang," kata
seorang anggota Tim Sigab.
Tiga bulan mendatang, IIIR (Herzien Inlandsch Reglement) bisa
diharapkan sudah tinggal kenangan. Bikinan kolonial itu, memang
sudah dirasakan tidak layak lagi, untuk bangsa yang sudah
merdeka 36 tahun lalu. Namun kerja keras menunggu anggota DPR
yang akan dipilih nanti untuk menyusun undang-undang baru
pendamping HAP. Yaitu UU Bantuan Hukum, Peradilan Anak, Pidana,
Peradilan Administrasi yang kini telah menjadi kebutuhan mutlak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini