Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Tersengat Mesin Listrik

Dugaan korupsi pengadaan mesin listrik dan pembelian helikopter di Aceh mulai diusut serius. Gubernur Aceh, Abdullah Puteh semakin terpojok.

31 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, bisa jadi akan mendapat "gelar" tambahan. Dia tak hanya menyandang jabatan "penguasa darurat sipil" di provinsinya, tapi bisa mendapat status lain yang kurang mengenakkan, yakni sebagai tersangka kasus korupsi.

Dari Markas Besar Kepolisian RI, telah muncul isyarat yang semakin jelas pada Jumat pekan lalu. Kepolisian menyatakan telah menerima surat izin dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memeriksa bekas ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) itu. "Kami akan memeriksa segera mungkin," kata Inspektur Jenderal Paiman, juru bicara Mabes Polri.

Tentu saja ini sebuah awal dari gebrakan besar. Sebab sejauh ini, sebagian masyarakat menilai, sejak menjabat Gubernur Aceh tahun 2001, Abdullah Puteh bagai tidak bisa disentuh aparat hukum. Padahal sejumlah kasus korupsi kerap ditudingkan kepada lelaki 56 tahun tersebut.

Salah satu kasus yang banyak dibicarakan, dan yang kini sedang ditangani Mabes Polri, yakni adanya dugaan korupsi dalam pembelian genset (mesin pembangkit listrik) Lueng Bata di Banda Aceh. Proyek senilai Rp 30 miliar ini diniatkan untuk membantu penerangan rumah warga. Gara-garanya, PT Perusahaan Listrik Negara tak mampu lagi memasok aliran listrik untuk masyarakat akibat terbakarnya beberapa gardu saat konflik TNI dengan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Pengadaan mesin listrik dipercayakan kepada kontraktor listrik William Taylor, yang juga kuasa hukum CV Sari Alam Company, pada 27 September 2002. Lalu dari mana uangnya? Uang yang dipakai untuk membeli genset bukan berasal dari bank sebagaimana lazimnya, tapi dana itu langsung dikucurkan dari anggaran pemerintah daerah. Jadi, pemerintah yang seolah-olah sebagai pemberi kredit. Ini yang dianggap sebagai keganjilan.

Pemberian kredit lunak kepada CV Sari Alam disetujui DPRD Aceh sebulan kemudian. Kredit disalurkan ke perusahaan ini lewat Bank Pemerintah Daerah Aceh. Dana cadangan pemerintah yang dipakai untuk proyek ini semula dianggarkan buat dana bantuan pendidikan.

Proses pencairan kredit lunak pun berjalan mulus. Mula-mula, atas perintah Gubernur Puteh, dicairkan dana Rp 14 miliar, Rp 3 miliar di antaranya disalurkan ke Direktur Utama PT Seulawah Air NAD, perusahaan penerbangan milik Pemda Aceh. Dua pekan berikutnya dana Rp 8,5 miliar ditarik Taylor. Inilah dua kali pencairan yang sejauh ini terungkap. Ada dugaan bahwa sebagian dana itu juga mengalir ke rekening sejumlah pejabat di Aceh.

Kendati uang sudah keluar, dan 24 genset sudah dipasang, sebagian besar rumah warga tetap gelap-gulita. Ini gara-gara mesin listrik yang dipasang umumnya tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dan dana yang dikeluarkan. Itu sebabnya masyarakat melaporkannya ke Penguasa Darurat Militer Daerah. Kebetulan saat itu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih dalam status darurat militer.

Bau korupsi diendus serius oleh aparat dengan memeriksa sejumlah saksi. William Taylor akhirnya mengakui bahwa kapasitas genset yang dipasang tak sesuai dengan nilai proyek. Bahkan, menurut Taylor kepada polisi, beberapa di antaranya sampai terbakar.

Penguasa Darurat Militer langsung bertindak. T.M. Lizam, Kepala Biro Keuangan Pemda Aceh, dicokok pada 10 April 2004. Sehari kemudian giliran William Taylor. Bagaikan efek domino, semua pejabat yang disebut menerima uang diperiksa. Lizam, yang sempat ditahan, akhirnya dibebaskan. Tapi belakangan Taylor ditetapkan sebagai tersangka.

Gubernur Puteh, yang bertanggungjawab atas pencairan dana dari anggaran pemerintah daerah itu tentunya menjadi target pengusutan berikutnya. Beberapa saat Puteh sempat nampak tak tenang. Dia baru sedikit tenang setelah status darurat militer diturunkan menjadi darurat sipil beberapa waktu lalu. Dengan status yang terakhir, sebagai gubernur otomatis Puteh menjadi penguasa darurat sipil dan untuk pengusutan dugaan yang ditimpakan padanya perlu proses yang cukup panjang, termasuk izin presiden. Hanya, ketenangan tersebut tidak berlangsung lama, karena pemeriksaan perkara korupsi itu ternyata tidak dihentikan. Perkara yang semula hanya ditangani kepolisian daerah itu kini malah diambil alih Markas Besar Kepolisian RI. Berita terakhir menyebutkan presiden Megawati telah memberi izin terhadap usulan pihak kepolisian untuk memeriksa Gubernur Abdullah Puteh.

Menurut Koordinator Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi (Samak), J. Kamal Farza, diduga sang gubernur tidak hanya terlibat dalam kasus genset. Dari penelusuran lembaga ini, disinyalir ia juga terlibat dalam kasus penyimpangan dana. Berbagai kasus yang disodorkan Samak antara lain penyimpangan dana pembelian perkebunan di Kecamatan Tamiang Hulu dan Julok, Aceh Timur, dana bantuan kemanusiaan, dan dana bantuan dari Pertamina. Dan jangan lupa, Gubernur Puteh juga dituduh terlibat dalam mark-up pembelian helikopter dari Rusia.

Sejauh ini polisi memang baru menangani korupsi dalam proyek pengadaan mesin listrik. Menurut Irjen Polisi Paiman, kasus inilah yang sedang diusut serius dan buktinya sudah cukup lengkap. "Kalau kasus korupsi yang lainnya, nantilah sesuai dengan perkembangan penyidikan," katanya. Kalau kasus helikopter? "Kan sudah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujar Paiman lagi.

Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, mengakui lembaganya kini sedang menyelidiki skandal pembelian helikopter di Aceh. "Pekan ini, 3 anggota DPRD dan 4 pejabat Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan kami periksa, " katanya.

Langkah yang diambil KPK akan membuat Abdullah Puteh kian terpojok. Soalnya, kewenangan KPK jauh lebih besar dibanding kepolisian dan kejaksaan. Tidak seperti kepolisian dan kejaksaan, lembaga ini bisa memeriksa bahkan menangkap pejabat penting tanpa perlu izin dari presiden.

Pada 2002 Pemerintah Provinsi Aceh memang membeli sebuah pesawat helikopter jenis Mi-2 dari Rusia. Dengan harga US$ 1,2 juta atau setara Rp 12 miliar (dengan kurs ketika itu Rp 10 ribu), helikopter antipeluru ini dibeli lewat PT Putra Pobiagan Mandiri. Gubernur Abdullah Puteh membebankannya pada anggaran provinsi sebesar Rp 3,5 miliar dan sisanya dipikul bersama 13 kabupaten di Aceh. Tiap kabupaten dikenai iuran Rp 700 juta. Ternyata harga heli tersebut dua kali lipat lebih mahal dari harga pasar.

Penanganan kasus korupsi pengadaan mesin listrik dan helikopter sempat mengundang tarik-menarik antara kepolisian dan KPK. Akhirnya kesepakatan muncul lewat rapat kabinet terbatas pada Kamis pekan lalu. Diputuskan, kepolisian yang menangani kasus genset. Sedangkan KPK mengusut mark-up pembelian helikopter. "Ini kasus pertama kami, yang cukup lengkap buktinya. Tapi kami baru bisa menelusuri transfer dana setelah menyatakan si pelaku sebagai tersangka," kata Erry Riyana.

Langkah polisi dan KPK mendapat sambutan positif dari kalangan DPRD Aceh. Seorang anggota DPRD, M. Nasir Djamil, meminta agar kasus tersebut diusut tuntas. "Kami mengharapkan izin yang diberikan Presiden bisa digunakan polisi untuk memeriksa Abdullah Puteh dengan sungguh-sungguh," katanya.

Sejauh ini Gubernur Puteh mengaku belum tahu soal turunnya izin dari Presiden kepada Mabes Polri untuk memeriksa dirinya. "Saya belum diberi tahu akan diperiksa sebagai saksi atau tersangka," katanya. Dia juga mengungkap bahwa sejak dulu dia siap diperiksa kapan saja dan di mana saja, di Aceh atau Jakarta. Bahkan Puteh berharap pemeriksaan bisa dilakukan secepatnya. "Saya ingin segera menjelaskan semua tuduhan, agar cepat selesai dan tidak menjalar ke mana-mana," ujarnya.

Hanya, Puteh tak mau menjelaskan kasus per kasus yang membelit dirinya seperti yang dituduhkan polisi, KPK, atau sejumlah organisasi swadaya masyarakat. "Saya siap melakukan pembuktian terbalik kasus per kasus nanti di hadapan penyidik. Kalau enggak dijelaskan, nanti malah orang akan tambah curiga," katanya.

Selama ini kasus korupsi yang dituduhkan kepada Puteh sulit diungkap karena ia masih menjabat gubernur sekaligus penguasa darurat sipil. Itulah sebabnya sejumlah mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengirim surat ke Presiden Megawati. Isinya, meminta agar Gubernur Puteh diberhentikan sementara. "Ini agar pemeriksaan kasus korupsi tersebut bisa berjalan fair dan transparan," kata Zulfikar, aktivis mahasiswa Universitas Syiah Kuala.

Ahmad Taufik, Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus